Liputan6.com, Jakarta Indonesia harus memutar otak untuk bisa mencari pendanaan guna mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batu bara. Pasalnya, kajian IESR bersama Universitas Maryland menyebut, Indonesia butuh dukungan biaya dari pendanaan internasional sekitar USD 4,6 miliar untuk mengakhiri operasional 9,2 GW PLTU batu bara pada 2030.
Dana itu dibutuhkan lantaran pemerintah melalui PT PLN (Persero) sudah banyak membubuhkan tanda tangan kontrak dengan pengembang listrik swasta, atau Independen Power Producer (IPP) bertenaga batu bara.
Baca Juga
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Indonesia (UI) Berly Martawardaya mengatakan, dirinya menunggu perjanjian pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang disepakati di KTT G20 Bali 2022. Kesepakatan pendanaan itu merupakan kombinasi antara pinjaman dan hibah (grant).
Advertisement
"Makanya kemarin yang kita agak tunggu tuh dari Just Energy Transition dari G20. Itu kan kombinasi antara pinjaman sama grant. Tapi saya belum tahu grant-nya berapa persen. Apalagi Indonesia hampir middle income country, jadi kita enggak bisa ngaku miskin lagi. Itu dilema juga," ujarnya kepada Liputan6.com, Rabu (28/6/2023).
Menurut dia, pemerintah seharusnya bisa turut memanfaatkan pendapatan super besar hasil ekspor batu bara ke Eropa pada periode 2022 lalu.
"Jadi sekarang kita diminta mengurangi, perlu mempensiunkan cepat, tapi enggak dikasih duitnya. Padahal kita harus point out juga, selama 2 tahun ini di Eropa justru meningkat proporsi batu baranya," kata Berly.
Oleh karenanya, ia memandang modal dana untuk mempensiunkan PLTU batu bara saat ini hanya bisa didapat dari APBN, atau berharap dana hibah dari sektor swasta, namun bukan dalam bentuk pinjaman.
"Berarti kan practically ada 2,5 cara, dari pemerintah atau dari donor, setengah lagi mungkin filantropi. Tapi kemungkinan itu kecil. Bukan (dari) pelaku usaha, siapa yang mau bayar untuk tidak beroperasi," ungkapnya.
"Pemerintah bisa saja minjam, tapi nantinya harus bayar. Minjem kan harus bayar juga. Siapa yang harus bayar, ya APBN juga. Jadi minjem jangan dimasukin skema," pungkas Berly.
Sri Mulyani: 99 PLTU Ikut Perdagangan Karbon Tahun Ini
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap akan ada 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara yang berpotensi ikut perdagangan karbon tahun ini. Jumlah ini setara dengan 86 persen dari total PLTU Batu Bara yang beroperasi di Indonesia.
Skema yang dijalankan adalah emission trading system (ETS) yang sudah disusun sebelumnya. Sri Mulyani yang merupakan Bendahara Negara ini menyebut, perdagangan karbon jadi satu upaya untuk menurunkan tingkat emisi karbon, dengan dimulai dari sektor energi.
"Peraturan Menteri ESDM nomor 16/2022 sudah dikeluarkan untuk menetapkan hal itu. Pada tahun 2023 ini ada 99 PLTU berbasis coal yang berpotensi untuk mengikuti emission trading system atau ETS dimana total kapasitas dari PLTU tersebut adalah 33.565 MW," ujarnya dalam Bisnis Indonesia Green Forum 2023, Selasa (6/6/2023).
Sri Mulyani menilai, dengan porsi yang cukup besar ini akan berkontribusi pada upaya menurunkan emisi karbon kedepannya. Mengingat, sektor pembangkit listrik jadi salah satu target utama dalam menekan emisi karbon.
"Ini adalah kemajuan, karena berarti para PLTU ini memahami bahwa mereka menghasilkan energi yang dibutuhkan ekonomi dan masyarakat namun mereka juga menghasilkan CO2 yang memperburuk kondisi perubahan iklim dunia," kata dia.
"Oleh karena itu, secara bertahap untuk mampu memasukkan faktor CO2 ini adalah dengan mandatory carbon trading melalui emission trading system yang sudah ditetapkan pemerintah," sambungnya.
Menkeu Sri Mulyani mengatakan, upaya ini sejalan untuk mengejar target Nol Emisi Karbon atau Net Zero Emission di 2060 mendatang. Setelah diterapkan di sektor energi atau pembangkit listrik, baru perdagangan karbon selanjutnya akan menyasar sektor lain.
Advertisement
Skema Perdagangan Karbon
Lebih lanjut, Sri Mulyani mengungkap, 99 PLTU tadi akan melakukan perdagangan karbon secara tertutup. Artinya, transaksi dilakukan antar perusahaan PLTU.
Transaksi ini akan mengacu pada batas-batas emisi karbon yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Langkah ini dilakukan sambil menunggu bursa karbon untuk ditetapkan di Indonesia.
"Perdagangan karbon tersebut dilakukan secara langsung antara PLTU dimana mereka sudah ditetapkan berapa mandatory CO2 nya yang diperbolehkan," ungkapnya.
"Mereka melakukan transaksi dengan membuat atau berpartisipasi dalam aplikasi penghitungan dan pelaporan emisi ketenagalistriklah atau Apel Gatrik belum melalui bursa karbon yang akan di launch di capital msrket kita. Jadi ini adalah trading yang sifatnya tertutup antar para pelaku PLTU," kata Sri Mulyani menjelaskan.
Dia menegaskan saat ini sistem perdagangan karbon yang mandatory atau emission trading system baru diterapkan di sektor energi. Salah satu yang jadi perhatian adalah dampaknya terhadap ekonomi sosial masyarakat.
"Jangan lupa untuk melakukan transformasi energi ke hijau itu tidak semudah membalikkan tangan, meskipun tujuannya baik yaitu untuk meningkatkan perekonomian agar konsisten dengan komitmen, penurunan CO2 ini tetap harus dilakukan secara hati-hati karena sebuah perubahan pasti menimbulkan shock," bebernya.