Liputan6.com, Jakarta - Sejak menjadi produsen utama kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dunia pada 2006, Indonesia menghadapi berbagai tantangan global. Seiring dengan peningkatan produksi CPO Indonesia, muncul kampanye negatif di tingkat global yang menuduh kelapa sawit sebagai penyebab perubahan iklim.
Untuk itu, Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) menyampaikan agar industri sawit harus tangguh menghadapi dinamika serta situasi terkini baik di dalam maupun luar negeri. Salah satunya diskriminasi dengan pengesahan Undang-Undang European Union Deforestation-Free Products Regulation (EUDR).
Baca Juga
"Perkebunan sawit Indonesia jangan sampai gamang menghadapi tekanan multidimensi seperti politik dagang negara maju, kesenjangan hasil yang masih tinggi secara agronomis," kata Ketua Umum Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI), Andi Muhammad Syakir, saat monthly focus group discussion (FGD) PERAGI di Bogor, ditulis Rabu (9/8/2023).
Advertisement
Menurutnya Indonesia sebagai pusat produksi sawit terbaik dan melimpah harus mampu mempertahankan posisi sebagai penghasil minyak sawit nomor 1 dunia dengan ekspor lebih ke 150 negara.
Apalagi perkebunan kelapa sawit memberikan kontribusi secara signifikan terhadap perekonomian Indonesia termasuk petani sawit rakyat maupun pengusaha besar. Proporsi kepemilikan sawit di Indonesia antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat 60:40 atau hampir berimbang.
"Perkebunan sawit saat ini paling tangguh dibanding komoditi perkebunan dan sektor pertanian lainnya. Jangan sampai lesu hanya gara-gara politik dagang dan terpaan iklim global," harap Syakir.
Menurut Syakir, perkebunan sawit Indonesia memiliki keuntungan karena berada di wilayah tropis. Daya dukung lingkungan yang khas tersebut menjadi jaminan bagi komoditi ini untuk tumbuh optimal dibandingkan di negara-negara lainnya.
"Sawit bukan asli tanaman Indonesia melainkan dari Afrika, tetapi Indonesia menjadi pusat produksi sawit terbesar di dunia bersama Malaysia, mengalahkan Afrika dan Amerika Latin yang merupakan pusat keragaman keluarga sawit dan palmae lainnya," ucap Syakir.
Â
Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil
Direktur Pengolahan & Pemasaran Hasil Perkebunan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Prayudi Syamsuri mengungkap Pemerintah Indonesia terus merespon kebijakan khusus menghadapi politik dagang yaitu aturan anti deforestasi melalui EUDR.
"Indonesia berjuang agar sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) diakui Uni Eropa sehingga dapat masuk ke pasar sana. Kami juga berjuang agar ISPO dapat diterapkan oleh para petani sawit Indonesia," kata Prayudi.
Menurutnya, hal itu penting mengingat sawit memberikan kontribusi secara signifikan, salah satunya menyerap 12 juta lapangan kerja tak langsung di Indonesia. Jumlah itu setara dengan penduduk DKI Jakarta.
Sementara itu, Dwi Asmono, Direktur Eksekutif PERAGI Institut, mengungkapkan setiap negara memiliki komoditi utama yang menjadi andalan di pasar dunia. Indonesia unggul sebagai produsen minyak sawit, Brazil dengan minyak kedelai. Uni Eropa dengan minyak rapeseed dan Ukraina dengan minyak biji matahari. Anehnya, hanya sawit yang selalu menjadi sasaran isu negatif terkait kelestarian lingkungan.
"Padahal luas panen untuk minyak kedelai mencapai 127 juta ha, sementara luas panen untuk sawit hanya 22,5% dari luasan tersebut," ujar Direktur Penelitian, Pengembangan dan Keberlanjutan PT. Sampoerna Agro Tbk ini.
Â
Â
Advertisement
Sawit Paling Efisien dan Ramah Lingkungan
Produktivitas minyak sawit merupakan penghasil minyak nabati yang tertinggi. Sawit dapat menghasilkan minyak 5 ton per ha, dibandingkan minyak rapeseed hanya 0,8-0,9 ton per ha, minyak biji matahari 0,7-0,8 dan kedelai yang hanya 0,5-0,6 ton per ha.
"Tidak ada negara selain Indonesia dan komoditi selain sawit yang mampu menghasilkan minyak paling efisien dan paling ramah lingkungan," ujar Dwi.
Departemen Penelitian & Pengembangan Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Riyadi Mustofa menyebutkan luas perkebunan sawit rakyat di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2021 luasnya 6,04 juta ha, lalu tahun 2022 luasnya menjadi 6,15 juta ha, dan pada 2023 meningkat lagi menjadi 6,3-juta ha.
"Sepertiga dari perkebunan rakyat tersebut berada di Riau," kata Riyadi.
Â
Multiflier Effect Economy Lebih Tinggi
Data Direktorat Jenderal Perkebunan mencatat luas perkebunan sawit rakyat di Riau adalah 1,7-juta ha, sementara data dari Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan luasnya mencapai 2,6-juta ha.
Menurutnya, rakyat lebih memilih berkebun sawit dibandingkan komoditas lain karena multiflier effect economy (MEE) sawit relatif lebih tinggi yaitu mencapai 2,03, sementara komoditi lain umumnya kurang dari 2.
"Kondisi pemilik kebun sawit rakyat terlihat lebih sejahtera di pedesaan dibandingkan petani lainnya," kata Riyadi.
Â
Advertisement