Masalah Pangan Jadi Penyebab Kemiskinan, Ini Buktinya

ISEI mengingatkan bahwa penduduk miskin di Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan harga, Khususnya harga kelompok pangan.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 25 Okt 2023, 14:40 WIB
Diterbitkan 25 Okt 2023, 14:40 WIB
Panen Raya Padi Ibu Kota
Petani saat menggiling padi di persawahan kawasan Rorotan, Jakarta, Kamis (30/7/2020). Terdapat sekitar 270 petani yang menggantungkan hidup di sawah Rorotan, mereka rata-rata ialah pendatang dari Indramayu. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) mengingatkan bahwa penduduk miskin di Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan harga, Khususnya harga kelompok pangan.

Wakil Ketua Bidang II ISEI, Dr. Iskandar Simorangkir memaparkan bahwa, secara nasional makanan menyumbang 74,21 persen distribusi garis kemiskinan per maret 2023, dengan non makanan menyumbang 25,79 persen.

“Masyarakat mash bergantung terhadap konsumsi beras ditandai dengan besarnya sumbangan beras dalam menentukan gars kemiskinan di perkotaan dan pedesaan yaitu masing-masing 19,35 persen dan 23.73 persen,” demikian paparan Iskandar dalam seminar Tantangan Perdagangan Pangan Global pada Rabu (25/10/2023).

“Jadi dengan adanya gejolak harga beras dapat dipastikan kemiskinan akan mengalami peningkatan,” ujarnya.

Perdagangan Terbuka

Oleh karena itu, Iskandar menyarakan, penting untuk dilakukan kebijakan perdagangan terbuka.

“Karena dengan perdagangan terbuka itu justru akan membantu ketahanan pangannya,” jelas Iskandar.

 

Dampak Larangan Ekspor CPO

Ilustrasi CPO 5 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi CPO 5 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Iskandar membeberkan contoh ketika Indonesia melarang ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang menimbulkan tekanan pada India.

“Bahkan saat itu Perdana Menteri India (Narenda Modi) sempat nelpon bos kita ya, di mana sebagian besar makanan India digoreng dan semua itu kan impor. Maka kalau kita lihat dampaknya terhadap perekonomiannya India itu luar biasa negatif, bahkan terhadap perekonomian dunia,” imbuhnya.

Kemudian saat India melakukan restriksi ekspor beras, dampaknya juga terasa ke berbagai negara termasuk Indonesia, di mana pemerintah mulai membuat program bantuan beras kepada kelompok rentan.

Maka dari itu, “Saya mempercayai bahwa perdagangan terbuka tanpa restriksi khususnya pangan itu adalah yang terbaik. Tetapi tentunya Jangan hanya terbuka, setiap negara juga harus mempunyai program ketahanan pangan yang terus mendorong terus menerus mendorong peningkatan produksi,” kata Iskandar.

ISEI Beri Peringatan Pemerintah: Waspada Inflasi Pangan

BI Prediksi Inflasi Oktober Capai 0,05 Persen
Pedagang beraktivitas di salah satu pasar tradisional di Jakarta, Rabu (26/10/2022). Realisasi inflasi tersebut lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sejalan dengan dampak penyesuaian harga BBM terhadap kenaikan inflasi kelompok pangan bergejolak dan inflasi kelompok harga diatur Pemerintah yang tidak sebesar prakiraan awal. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) mengingatkan bahwa kenaikan inflasi pangan masih berlangsung secara global.

Wakil Ketua Bidang II ISEI, Dr. Iskandar Simorangkir mengutip data trading economics yang menunjukkan bahwa Indonesia mengalami inflasi pangan hingga 4,17 persen pada September 2023.

Angka tersebut tergolong cukup kecil, joka dibandingkan Turki dengan inflasi pangan 75,14 persen dan Argentina 150 persen.

Meskipun demikian, Iskandar mengingatkan Indonesia masih harus berhati-hati dalam menjaga ketahanan pangannya.

Dia menyoroti, inflasi pangan ini dipicu oleh beberapa faktor di antaranya adalah kenaikan harga akibat disrupsi pasokan yang berasal dari El Nino, pelarangan ekspor, pembatasan ekspor dari negara produsen, atau karena fragmentasi ekonomi.

“Jadi mereka (mengekspor) di blok-bloknya aja, yang mau jual berasnya misalkan untuk ke bloknya mereka, yang melakukan perdagangan di bloknya mereka. Jadi yang kita harapkan semua terbuka tidak menjadi terbuka,” ujar Iskandar dalam seminar Tantangan Perdagangan Pangan Global yang disiarkan pada Rabu (25/10/2023).

“Kalau kita lihat data keseluruhan, negara yang mengalami inflasi pangan di atas 5 persen (adalah) negara berpendapatan rendah,” paparnya.

“86,4 persen dari negara kelas menengah ke bawah, setidaknya harga pangan naik 5 persen. Bahkan 67,3 persen negara berpendapatan tinggi saja itu inflasi pangannya juga di atas 5 persen,” jelas Iskandar.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya