Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono, mencatat hingga Agustus 2023 industri kelapa sawit telah memberikan kontribusi sekitar USD 20,6 miliar terhadap devisa Indonesia.
Kontribusi devisa tersebut berasal dari ekspor kelapa sawit termasuk biodiesel dan oleokimia yang totalnya lebih dari 23,4 juta ton.
Baca Juga
"Hingga Agustus 2023, produksi mencapai 36,3 juta ton dengan ekspor termasuk biodiesel dan oleokimia lebih dari 23,4 juta ton yang memberikan kontribusi sekitar Rp 20,6 miliar terhadap devisa Indonesia," kata Eddy dalam sambutannya dalam Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2023, di BICC, The Westin Resort Nusa Dua Bali, Kamis (2/11/2023).
Advertisement
Sementara itu, kata Eddy sepanjang tahun 2023, kinerja industri kelapa sawit tidak lebih baik dibandingkan tahun lalu.
Â
"Dari segi harga, harga pada tahun ini tidak sebaik tahun lalu. Meskipun kami memperkirakan harga akan bullish pada tahun 2024 karena beberapa faktor, salah satunya El Nino yang kami alami tahun ini akan mempengaruhi produksi tahun depan," ujarnya.
Di sisi lain, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar mengalami stagnasi produksi dalam beberapa tahun terakhir akibat lambatnya kemajuan dalam penanaman kembali oleh petani kecil.
"El Nino tahun ini diperkirakan juga akan mempengaruhi produksi tahun depan," ujarnya.
Menurut Eddy, meskipun pemerintah akan terus menerapkan B35 dan peningkatan konsumsi pangan dan industri dalam negeri, stok minyak sawit Indonesia pasti akan rendah.
Pelemahan Daya Beli
Adapun dalam beberapa bulan terakhir, GAPKI melihat penurunan harga minyak sawit global dipicu oleh melemahnya daya beli akibat perlambatan ekonomi di berbagai negara dan melimpahnya stok di negara-negara produsen.
"Menyikapi hal tersebut, pengusaha sawit berharap pemerintah Indonesia dapat mengambil langkah-langkah yang bijaksana untuk menjaga daya saing industri kelapa sawit Indonesia, dengan memperkuat produksi minyak sawit berkelanjutan dan tidak mengeluarkan peraturan yang kontraproduktif serta memperjuangkan perdagangan bebas dan adil apapun hambatan perdagangannya," pungkasnya.
Â
Petani Sawit Ngeluh Dukungan Negara Masih Minim
Sebelumnya, Pemerintah diminta untuk memberikan dukungan penuh terhadap petani termasuk petani kelapa sawit yang kini tengah terimpit oleh adanya benturan regulasi di level pemerintah pusat
Dewan Pakar DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Tri Chandra Aprianto mengatakan, petani sangat sulit merasakan kehadiran negara dalam sengketa kawasan lahan sawit dengan kawasan hutan.
Padahal menurutnya para petani punya izin usaha yang legal dan menjadi pegangan untuk memproduktidkan lahan sejak pukuhan tahun silam. Namun legalitas itu dibenturkan dengan regulasi lain sehingga dianggap tidak sah secara sepihak.
"Kami sudah dua generasi. Petani seharusnya dicerahkan, dicerdaskan, dan dibina. Ini tidak terjadi sama sekali," katanya, Selasa (24/10/2023).
Tri menambahkan, para petani sawit seolah-olah dianggap sebagai orang hutan, karena lahan sawit secara tiba-tiba dimasukkan ke dalam kawasan hutan yang tanpa kejelasan batas, dan tidak menggunakan metode pengukuran yang jelas.
"Kami sudah dua generasi mengolah sawit. Tiba-tiba kami dimasukkan sebagai orang hutan. Ini kan sesuatu yang menurut kami irasional," ujarnya.
Advertisement
Lahan Kelapa Sawit
Pakar Hukum Kehutanan Sadino menambahkan, regulasi menjadi akar persoalah lahan kelapa sawit sehingga pemerintah menganggap izin usaha yang telah dikantongi petani sebagai sebuah pelanggaran karena adanya benturan aturan.
"Ini problem yang kita hadapi adalah basis pengaturan regulasi yang karut marut secara norma hukum," tegasnya.
Seperti yang diketahui, sengketa sawit terjadi karena penambahan beleid baru dalam Undang-undang Cipta Kerja yang terkait dengan perizinan usaha sawit, secara spesifik di Pasal 110 A dan 110 B.
Persoalannya aturan baru itu bertabrakan antara Hak Guna Usaha (HGU) yang puluhan tahun dimiliki baik itu perusahaan maupun masyarakat, dengan penunjukkan kawasan hutan oleh pemerintah.Â