Mau Jadi Raja Baterai Listrik Dunia, Pemerintah Tak Serius Dorong Kebijakan Nikel

Sampai saat ini pemerintah belum mencantumkan nikel sebagai syarat dari pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Tanah Air.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 23 Jan 2024, 11:30 WIB
Diterbitkan 23 Jan 2024, 11:30 WIB
Ilustrasi bijih nikel. (Deon/Liputan6.com)
Pemerintah Indonesia tampaknya juga belum cukup serius untuk mendorong nikel sebagai komponen utama baterai kendaraan listrik. Ilustrasi bijih nikel. (Deon/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan hilirisasi nikel dengan menghentikan ekspor bijih nikel kini sudah berjalan selama 4 tahun. Itu bertujuan untuk mendongkrak nilai tambah nikel, salah satunya menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.

Hal itu kemudian sempat ditekankan Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2, Gibran Rakabuming Raka yang menyebut Indonesia punya cadangan nikel terbesar dunia.

Namun, pabrikan kendaraan listrik dunia kini cenderung lebih bergerak ke arah pemakaian lithium ferrophosphate (LFP). Bahan baku tersebut diklaim memiliki tingkat keamanan lebih tinggi dan lebih murah.

Di sisi lain, Pemerintah Indonesia tampaknya juga belum cukup serius untuk mendorong nikel sebagai komponen utama baterai kendaraan listrik.

Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, mengatakan bahwa pemerintah belum mencantumkan nikel sebagai syarat dari pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Tanah Air.

Seperti tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2023. Regulasi tersebut belum mensyaratkan pemakaian nikel untuk kendaraan listrik, dan memberi sejumlah insentif bagi pelaku usaha yang melakukan importasi kendaraan listrik utuh, atau completely built up (CBU).

"Karena kalau kita misalnya kita mengambil bagian daripada mengedepankan nikel untuk kendaraan listrik, seharusnya itu sudah tertuang di regulasi, di Perpres yang sudah diteken presiden," kata Andry kepada Liputan6.com, Selasa (23/1/2024).

"Tapi nyatanya, yang diinginkan oleh Pemerintah Indonesia pada hari ini adalah bagaimana penetrasi dari kendaraan listrik, bukan penetrasi kendaraan listrik yang berbasis nikel," serunya.

 


Penjualan Mobil Listrik

Ilustrasi bijih nikel. (Deon/Liputan6.com)
Ilustrasi bijih nikel. (Deon/Liputan6.com)

Andry juga menyoroti data angka penjualan mobil listrik terbesar di 2022, masih didominasi lebih dari 75 persen oleh Wuling Air EV. Mobil listrik produk China itu jelas berbasis LFP.

"Buktinya pada hari ini ranah regulasi dan juga insentif yang diberikan kepada pengembangan baterai berbasis nikel tidak lebih besar dibandingkan kendaraan yang berbasis LFP," sambung Andry.

Saat ditanya apakah Indonesia punya peluang untuk ikut bermain di pasar LFP, ia sedikit sanksi. Pasalnya, China saat ini sudah jadi pemain utama dalam pengolahan LFP.

"Persoalannya, apakah China mau membangun basis manufakturingnya di Indonesia, itu kan sesuatu hal yang menurut saya agak sulit, karena mereka sudah ready. Mungkin lebih untung untuk mengekspor dibanding investasi di Indonesia," tuturnya.

Kalau untuk pengembangan LFP saya rasa kita agak tertinggal. Karena pertama, untuk iron sendiri paling banyak berada di wilayah Amerika Selatan. Jadi untuk dari segi resource memang tidak banyak," ujar Andry.


Cak Imin di Debat Cawapres: Kita Ugal-ugalan Eksplorasi Nikel, Tapi Pemasukan Negara Kecil

Momen Ketiga Cawapres pada Pemilu 2024 Saling Beradu Argumen
Calon Wakil Presiden nomor urut 3 Mahfud Md dan Calon Wakil Presiden nomor urut 1 Muhaimin Iskandar (kiri ke kanan) saat debat keempat Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Calon Wakil Presiden atau Cawapres Muhaimin Iskandar menyatakan selama ini pemerintah ugal-ugalan dalam eksplorasi nikel. Meski sudah dieksplorasi, ternyata penerimaan negara dari nikel ternyata masih minim.

Hal tersebut diungkapkan Cak Imin dalam dalam Debat Cawapres 2024 di JCC Senayan, Jakarta, Minggu (21/1/2024).

 "Gara-gara negara kita mengeksplorasi nikel ugal-ugalan, lalu hilirisasi tanpa pertimbangan ekologi, mempertimbangkan sosialnya. Buruh kita diabaikan malah pakai tenaga kerja asing. dan juga yang terjadi korban kecelakaan," jelas dia.

"Di sisi lain, pemasukan dari nikel juga kecil. Ini menjadi pertimbangan," lanjut Cak Imin.

Selain itu, Cak Imin juga menyoroti produksi nikel yang berlebihan. Akibatnya, Indonesia menjadi tidak memiliki daya tawar untuk mengangkat harga nikel.

"Yang paling parah, nikel kita berlebih produksinya. Bukan harga tawar kita naik, tapi kita jadi korban dari policy kita sendiri," ungkapnya.

Sementara itu, dengan eksplorasi nikel yang ugal-ugalan, pemerintah malah mengorbankan masalah lingkungan dan menimbulkan konflik sosial.

"Sementara masa depan kita tidak jelas, di sisi lain kita mengorbankan lingkungan dan sosial kita sekaligus keuntungan yang sangat berbatas bagi negara. Oleh karena itu bukan soal gegabah, ini soal keberanian dan keberpihakan," tutup dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya