Bayar Utang Luar Negeri, Cadangan Devisa Indonesia Melorot ke USD 145,1 Miliar

Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2024 sebesar USD 145,1 miliar. Angka ini menurun dibandingkan dengan posisi pada akhir Desember 2023 sebesar USD 146,4 miliar.

oleh Septian Deny diperbarui 07 Feb 2024, 12:29 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2024, 12:29 WIB
Bank Indonesia melaporkan Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir September 2022 mencapai USD 130,8 miliar. Foto: BI
Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2024 sebesar USD 145,1 miliar. Angka ini menurun dibandingkan dengan posisi pada akhir Desember 2023 sebesar USD 146,4 miliar. Foto: BI

Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2024 sebesar USD 145,1 miliar. Angka ini menurun dibandingkan dengan posisi pada akhir Desember 2023 sebesar USD 146,4 miliar.

"Penurunan posisi cadangan devisa tersebut antara lain dipengaruhi jatuh tempo pembayaran utang luar negeri pemerintah," kata Asisten Gubernur Departemen Komunikasi Erwin Haryono dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (7/2/2024).

Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

Ke depan, Bank Indonesia memandang cadangan devisa akan tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan sinergi respons bauran kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

 

 

Utang Indonesia Naik 4 Kali Lipat

Ilustrasi utang Indonesia (Liputan6.com / Abdillah)
Ilustrasi utang Indonesia (Liputan6.com / Abdillah)

Selama 10 tahun terakhir periode 2014-2023 utang Pemerintah Pusat menunjukkan tren kenaikan yang signifikan.

Wakil Rektor II Universitas Paramadina Handi Risza, menjelaskan, pada awal kepemimpinan Presiden Jokowi periode pertama, utang yang diwariskan Presiden sebelumnya yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebesar Rp 2.608 triliun. Namun, menjelang akhir Pemerintahan Jokowi periode kedua kini utang mencapai Rp 8.041 triliun.

"Dulu awal Pemerintahan Jokowi diwariskan pak SBY, itu utangnya sekitar Rp 2.608 triliun, diakhir masa Pemerintahan Jokowi sekitar 8-9 bulan sebelum posisi Jokowi berakhir posisi utang kita mencapai angka Rp 8.041 triliun, jadi naiknya 4 kali lipat dalam 10 tahun terakhir," kata Handi dalam Diskusi Universitas Paramadina 'Masalah APBN, Utang dan Tax Rativo Rendah. PR Presiden Yang Akan Datang', Senin (5/2/2024).

Bahkan, jika digabung dengan utang BUMN maka utang negara Indonesia bisa mencapai Rp 10.000 triliun. Handi pun memprediksi akan terjadi peningkatan utang menjelang berakhirnya kepemimpinan Presiden Jokowi di tahun 2024 ini.

"Bisa jadi diprediksi bisa membengkak. Bahkan kalau kita gabung dengan utang BUMN nilainya bia di atas Rp 10.000 triliun," ujarnya.

 

Utang Pemerintah Pusat

Ilustrasi Utang. Dok Kemenkeu
Ilustrasi Utang. Dok Kemenkeu

Meskipun utang Pemerintah pusat menunjukkan tren kenaikan yang signifikan. Puncaknya terjadi ketika pandemi covid-19, dimana Pemerintah memerlukan anggaran untuk penanganan dampak pandemi baik dari segi kesehatan hingga sosial.

"Puncaknya ketika kita terkena covid 2020-2021 pertumbuhan utang kita mencapai 27,02 persen, karena ada biaya yang kita tanggung. Selain itu, juga pembiayaan untuk membiayai PEN itu juga membuat utang kita cukup membengkak," katanya.

Namun pertumbuhan utang tersebut juga menunjukkan tren penurunan pada dua tahun terakhir periode 2022-2023. Tercatat tren pertumbuhan utang pada 2022 tercatat 7,7 persen dan tahun 2023 sebesar 3,96 persen. Sedangkan pada 2020tembus 27,02 persen, dan tahun 2021 utang tumbuh 20,9 persen.

"Tapi dalam dua tahun terkahir sudah mengalami penyusutan, mungkin gara-gara menjelang pemilu angkanya dibuat lebih baik dulu, sehingga terkesan neracanya lebih baiklah turun nilainya," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya