Daftar 10 Perusahaan Migas Terbesar di Dunia 2024, Pertamina Tak Masuk

Perusahaan migas asal Inggris, Shell, dinobatkan menjadi perusahaan yang memiliki nilai perusahaan terbesar di dunia.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 16 Apr 2024, 14:00 WIB
Diterbitkan 16 Apr 2024, 14:00 WIB
Raksasa minyak mencatat rekor keuntungan tahunan
Perusahaan migas asal Inggris, Shell, dinobatkan menjadi perusahaan yang memiliki nilai perusahaan terbesar di dunia.. (AP Photo/Kirsty Wigglesworth)

Liputan6.com, Jakarta Industri minyak dan gas (migas) menjadi salah satu industri terpenting di dunia saat ini. Tak heran jika setiap negara memiliki perusahaan yang memiliki bisnis di sektor migas ini.

Seperti diketahui, sektor migas turut andil dalam pemenuhan energi dan bahan baku industri di berbagai negara di dunia. Tak heran, produksi minyak kerap diandalkan oleh sejumlah negara dan menjadi kekayaan tersendiri.

Bicara mengenai perusahaan migas ini, penasaran nggak sih perusahaan migas terbesar di dunia?

Dikutip dari data Brand Finance oil and Gas 50 2024, Selasa (16/4/2024), perusahaan migas asal Inggris, Shell, dinobatkan menjadi perusahaan yang memiliki nilai perusahaan terbesar di dunia.

Data tersebut mencatat, Shell yang bermarkas di Inggris ini memilik nilai Rp 792 triliun.

Nomor dua diduduki perusahaan migas asal Arab Saudi, Saudi Aramco. Aramco tercatat memiliki nilai Rp 654,5 triliun.

Aramco berada di atas PetroChina. Perusahaan migas terbesar di China ini menempati posisi ketiga dengan nilai perusahaan mencapai Rp 448,8 triliun.

Sayangnya, dari daftar 10 perusahaan migas paling bernilai di dunia tersebut, tidak ada nama Pertamina yang menjadi perusahaan migas kebanggan Indonesia. Justru perusahaan migas asal Malaysia, Petronas berada di posisi ke-10.

Daftar Perusahaan

Berikut daftar perusahaan migas terbesar di dunia:

  1. Shell (Inggris), nilai perusahaan Rp 792,1 triliun
  2. Aramco (Arab Saudi), nilai perusahaan Rp 654,5 triliun
  3. PetroChina (China), nilai perusahaan Rp 448,8 triliun
  4. Sinopec (China), nilai perusahaan Rp 419,6 triliun
  5. BP (Inggris), nilai perusahaan Rp 291,8 triliun
  6. Total Energies (Prancis), nilai perusahaan Rp 267,8 triliun
  7. Equinor (Norwegia), nilai perusahaan Rp 263,8 triliun
  8. ADNOC (UEA), nilai perusahaan Rp 239,7 triliun
  9. Chevron (USA), nilai perusahaan Rp 233,1 triliun
  10. Petronas (Malaysia), nilai perusahaan Rp 229,3 triliun

Harga Minyak hingga Emas Siap-Siap Melambung Tinggi Jika Konflik Iran-Israel Berlanjut

Ketika Rudal dan Drone Iran Beterbangan Menuju Israel
Dalam pernyataan resminya, Kedutaan Besar Iran untuk Indonesia menyebutkan bahwa hal ini berkaitan dengan upaya membela diri. (AFPTV/AFP)

Ekonom Mari Elka Pangestu memperingatkan harga emas dan minyak berpotensi melonjak jika konflik Iran dan Israel berlanjut. Menurutnya, bila kedua negara lanjut berperang, maka rantai pasok dunia akan terganggu, sehingga terjadi kenaikan harga komoditas pangan. Kemudian disusul oleh kenaikan harga minyak. 

“Gejolak harga minyak, inflasi, dan gejolak harga komoditi yang lain juga akan memengaruhi Indonesia,” kata Marie dalam webinar Ngobrol Seru Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI, Eisenhower Fellowships Indonesia Alumni Chapter, Senin (15/4/2024). 

Mari menambahkan, dampak konflik tersebut disebutnya tentu akan berpengaruh pada nilai tukar Rupiah yang kini sudah melemah dan lebih jauh lagi akan berdampak pada penurunan bond yield dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

 “Dengan harga minyak di luar hal terkait dengan inflasi dan harga produksi naik, tentunya masalah kepada anggaran dan fiskal. Defisit anggaran dan fiskal karena kalau harga naik tentunya subsidi BBM juga akan naik ya kecuali harga BBM-nya mau dinaikkan,” jelasnya.

Selain itu, The Fed juga berpotensi tahan penurunan suku bunga, imbas serangan Iran ke Israel pada Sabtu, 13 April 2024.

Menurut, Marie perlambatan penurunan suku bunga ini menjadi efek domino lain dari konflik Iran-Israel seperti naiknya harga minyak dunia, harga emas, hingga menguatnya dolar AS. 

"Jadi ini skenario di mana diperkirakan harga minyak akan naik, production cost naik, inflasi naik dan ini akan memengaruhi pemulihan di AS, memperlambat penurunan suku bunga yang harusnya terjadi di second half of this year,"  pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya