Iuran Tapera Ancam 466 Ribu Pekerja Pengangguran, Kok Bisa?

CELIOS memperkirakan kebijakan Tapera dapat menyebabkan penurunan PDB sebesar Rp. 1,21 triliun.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 03 Jun 2024, 18:30 WIB
Diterbitkan 03 Jun 2024, 18:30 WIB
Rumah KPR
Kementerian PUPR menyerahkan tongkat estafet penyaluran dana bantuan pembiayaan perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) kepada BP Tapera.

Liputan6.com, Jakarta Kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera tengah menjadi perbincangan luas baru-baru ini.

Polemik terkait iuran tapera mencuat setelah Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.

Pasalnya, kebijakan tersebut dianggap memberatkan pekerja yang diwajibkan ikut dalam kepesertaan Tapera, yang ditetapkan cukup besar dari gaji atau upah.

Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda mengungkapkan bahwa kebijakan Tapera berdasarkan hasil simulasi ekonomi dapat menyebabkan penurunan PDB sebesar Rp 1,21 triliun.

Hal dikhawatirkan menimbulkan risiko dampak negatif pada keseluruhan output ekonomi nasional.

"Perhitungan menggunakan model Input-Output juga menunjukkan surplus keuntungan dunia usaha turut mengalami penurunan sebesar Rp 1,03 triliun dan pendapatan pekerja turut terdampak, dengan kontraksi sebesar Rp200 miliar, yang berarti daya beli masyarakat juga berkurang dan menurunkan permintaan berbagai jenis sektor usaha," ungkap Huda dalam keterangan resmi di Jakarta, dikutip Senin (3/6/2024).

Adapun Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan bahwa efek paling signifikan terlihat pada pengurangan tenaga kerja, di mana kebijakan ini berisiko menyebabkan hilangnya 466,83 ribu pekerjaan, dengan begitu jumlah pengangguran semakin banyak.

"Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan iuran wajib Tapera berdampak negatif pada lapangan kerja, karena terjadi pengurangan konsumsi dan investasi oleh perusahaan. Meskipun ada sedikit peningkatan dalam penerimaan negara bersih sebesar Rp 20 miliar, jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan kerugian ekonomi yang terjadi di sektor-sektor lain," jelas Bhima.

Tak Bisa Atasi Backlog Perumahan

Huda juga mencermati dampak selama kebijakan Tapera berjalan, masalah backlog perumahan juga belum dapat diatasi. Bahkan jika ditarik lebih jauh ke model Taperum, masalah backlog perumahan ini masih belum terselesaikan.

"Adapun alasan backlog sempat alami penurunan lebih disebabkan oleh perubahan gaya anak muda yang memilih tidak tinggal di hunian permanen atau berpindah-pindah dari satu rumah sewa ke rumah lainnya," tambah Huda.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


7 Rekomendasi Perbaikan Isu Tapera

Rumah KPR
Kementerian PUPR menyerahkan tongkat estafet penyaluran dana bantuan pembiayaan perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) kepada BP Tapera.

Menyoroti fenomena polemik Tapera, CELIOS sebagai lembaga riset ekonomi dan kebijakan publik meluncurkan Policy Brief berjudul "Tapera untuk Siapa? Menghitung Untung Rugi Kebijakan Tapera".

Dalam policy brief yang diterbitkan oleh CELIOS, terdapat setidaknya 7 rekomendasi untuk perbaikan Tapera antara lain.

Rekomendasi pertama, adalah melakukan perubahan agar tabungan Tapera hanya diperuntukkan untuk ASN, TNI/Polri, sedangkan pekerja formal dan mandiri bersifat sukarela.

Kedua, mendorong transparansi pengelolaan dana Tapera termasuk asesmen imbal hasil (yield) dari tiap instrumen penempatan dana.

Rekomendasi ketiga, adalah memperkuat tata kelola dana Tapera dengan pelibatan aktif KPK, dan BPK. Kemudian rekomendasi keempat, meningkatkan daya beli masyarakat agar kenaikan harga rumah bisa di imbangi dengan naiknya pendapatan rata-rata kelas menengah dan bawah.

 


Selanjutnya

Ilustrasi iuran tapera
Ilustrasi iuran tapera (dok: by AI)

Kelima, mengendalikan spekulasi tanah yang menjadi dasar kenaikan ekstrem harga hunian.

Selanjutnya, CELIOS menyarankan, adalah menurunkan tingkat suku bunga KPR baik fixed (tetap) maupun floating (mengambang) dengan efisiensi NIM perbankan dan intervensi kebijakan moneter Bank Indonesia. Terakhir, memprioritaskan dana APBN untuk perumahan rakyat dibandingkan mega-proyek yang berdampak kecil terhadap ketersediaan hunian seperti proyek IKN.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya