Liputan6.com, Jakarta - Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) Heru Pudyo Nugroho mengatakan, peserta Tapera bisa mencairkan tabungan tersebut dalam kondisi tertentu. Misalnya, karena berhenti bekerja hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Bisa (dicairkan Tapera) jika reaign, diberhentikan, di PHK, itu semua nanti bisa,” kata Heru saat ditemui di di Kantor Staf Kepresidenan, ditulis Senin (3/6/2024).
Heru menjelaskan, sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), dana tabungan yang tak terpakai akan dikembalikan kepada peserta jika sudah masuk usia pensiun, atau peserta bisa mencairkan dana tersebut ketika menghadapi keadaan tertentu.
Advertisement
"Jadi itu skema tabungan dan sesuai PP 25 tahun 2020 tentang penyelenggaraan Tapera, itu akan dikembalikan pada saat berakhir masa kepesertaan karena pensiun masuk usia 58 untuk pekerja mandiri atau sebab-sebab lain yang menyebabkan berakhirnya masa kepesertaan,” ujar dia.
Lebih lanjut, kata Heru, peserta iuran Tapera baru bisa mengajukan kredit untuk pembiayaan perumahan setelah menabung minimal 12 bulan.
"Kalau PP nya itu bisa, nabung selama 12 bulan baru bisa KPR. Dan masa tunggunya itu bisa kita simulasikan, itu yang penting sudah satu tahun dulu lho yaa baru bisa ajukan KPR,” katanya.
Dia menuturkan, jika semakin banyak peserta Tapera yang menyetor, prinsip gotong-royong untuk membantu pekerja swasta maupun pekerja mandiri mendapatkan rumah bisa lebih cepat.
"Semakin banyak peserta maka prinsip gotong-royongnya akan semakin jalan, karena likuiditasnya makin gede, sehingga housing-nya akan semakin main," pungkasnya.
Gambaran Perihnya Biaya Hidup Buruh dengan Iuran Tapera
Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendesak pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 24 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (PP Tapera).
Presiden KSPI Said Iqbal, meneybut setidaknya ada 6 (enam) alasan mengapa iuran Tapera harus dicabut.
Pertama, ketidakpastian memiliki rumah. Menurutnyam dengan potongan iuran sebesar 3% (tiga persen) dari upah buruh, dalam sepuluh hingga dua puluh tahun kepesertaannya, buruh tidak akan bisa membeli rumah.
"Bahkan hanya untuk uang muka saja tidak akan mencukupi," kata Said dalam keterangannya, Minggu (2/6/2024).
Kedua, pemerintah dinilai lepas dari tanggung jawab. Dalam PP Tapera, tidak ada satu klausul pun yang menjelaskan bahwa pemerintah ikut mengiur dalam penyediaan rumah untuk buruh dan peserta Tapera lainnya.
"Iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha saja, tanpa ada anggaran dari APBN dan APBD yang disisihkan oleh pemerintah untuk Tapera. Dengan demikian, Pemerintah lepas dari tanggungjawabnya untuk memastikan setiap warga negara memiliki rumah yang menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat, disamping sandang dan pangan," ujarnya.
Advertisement
Bebani Buruh
Ketiga, membebani biaya hidup buruh. Di tengah daya beli buruh yang turun 30% (tiga puluh) persen dan upah minimum yang sangat rendah akibat UU Cipta Kerja, potongan iuran Tapera sebesar 2,5 (dua koma lima persen) yang harus dibayar buruh akan menambah beban dalam membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.
Potongan yang dikenakan kepada buruh hampir mendekati 12% (dua belas persen) dari upah yang diterima, antara lain Pajak Penghasilan 5% (lima persen), iuran Jaminan Kesehatan 1% (satu persen), iuran Jaminan Pensiun 1% (satu persen), iuran Jaminan Hari Tua 2% (dua persen), dan rencana iuran Tapera sebesar 2,5% (dua koma lima persen).
"Belum lagi jika buruh memiliki hutang koperasi atau di perusahaan, ini akan semakin semakin membebani biaya hidup buruh," katanya.
Rawan Korupsi
Keempat, Dana Tapera rawan dikorupsi. Dalam sistem anggaran Tapera, terdapat kerancuan yang berpotensi besar untuk disalahgunakan. Karena di dunia ini hanya ada sistem jaminan sosial (social security) atau bantuan sosial (social assistance).
Jika jaminan sosial, maka dananya berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah. Sedangkan bantuan sosial dananya berasal dari APBN dan APBD dengan penyelenggaranya adalah pemerintah.
"Model Tapera bukanlah keduanya, karena dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak mengiur, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah," jelasnya.
Kelima, Tapera merupakan tabungan yang memaksa. Karena pemerintah menyebut bahwa dana Tapera adalah tabungan, maka seharusnya bersifat sukarela, bukan memaksa.
"Dan karena Tapera adalah tabungan sosial, tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antar peserta, seperti halnya tabungan sosial di program Jaminan Hari Tua (JHT), BPJS Ketenagakerjaan," ujarnya.
Advertisement
Usul KSPI
Menurut Said, subsidi antar peserta hanya diperbolehkan bila program tersebut adalah jaminan sosial yang bersifat asuransi sosial, bukan tabungan sosial.
Misalnya program jaminan kesehatan yang bersifat asuransi sosial, maka diperbolehkan penggunaan dana subsidi silang antar peserta BPJS Kesehatan.
Alasan keenam, yaitu ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana Tapera. Untuk PNS, TNI, dan Polri, keberlanjutan dana Tapera mungkin berjangka panjang karena tidak ada PHK. Tetapi untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya PHK sangat tinggi.
Oleh karena itu, dana Tapera bagi buruh yang ter-PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera.
“Atas dasar enam alasan tersebut, Partai Buruh dan KSPI akan mempersiapkan aksi besar yang akan diikuti ribuan buruh pada hari Kamis tanggal 6 Juni di Istana Negara, Jakarta, dengan tuntutan untuk mencabut PP No. 2124 tentang Tapera dan merevisi UU Tapera,” pungkasnya.