Liputan6.com, Jakarta - Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi mengatakan, potensi karbon kredit di Indonesia sangat besar. Inarno menyebut, dalam 5 tahun terakhir berbagai bursa karbon telah didirikan di sejumlah negara antara lain Malaysia, China, Korea Selatan, Inggris dan Uni Eropa.
Tak tinggal diam, Indonesia yang telah memiliki komitmen mitigasi terhadap perubahan iklim tentu melihat berbagai perkembangan tersebut. Oleh karena itu, pada 26 September 2023, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) telah meresmikan perdagangan karbon melalui Bursa Karbon Indonesia atau IDX Karbon yang merupakan salah satu upaya Indonesia untuk mendukung target pemenuhan Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia pada 2060.
Baca Juga
"Hal ini menjadi penting mengingat Indonesia memiliki potensi karbon kredit yang besar baik dalam hal suplai, maupun demand, khususnya bagi sektor yang menjadi target pemenuhan NDC," kata Inarno saat webinar Perdagangan dan Bursa Karbon Indonesia, Selasa (23/7/2024).
Advertisement
Inarno menyampaikan hingga 22 Juni 2024, transaksi perdagangan karbon melalui Bursa Karbon terus berkembang positif. Di mana tiga proyek telah didaftarkan, yaitu proyek Lahendong Unit 5 dan Unit 6, Pertamina Geothermal Energy, proyek pembangkit listrik bahan bakar gas, Bumi Muara Karang, serta proyek pembangkit listrik tenaga air, Mini Hydro Gunung Wugul.
"Dari unit karbon yang tersedia atas proyek-proyek tersebut telah terjadi transaksi, yaitu sebesar 609 ribu ton CO2 ekuivalen atau senilai Rp 36,8 miliar dengan total frekuensi sebesar 85 kali dan jumlah unit karbon yang telah diretir sebesar 417 ribu ton CO2 ekuivalen," ujarnya.
Pengguna Jasa Karbon
Sedangkan, untuk pengguna jasa karbon yang telah terdaftar di IDX Karbon sudah mencapai 68 entitas institusi. Perdagangan unit karbon di Bursa Karbon tersebut menunjukkan perkembangan yang cukup mengembirakan, jika dibandingkan dengan perkembangan Bursa Karbon di kawasan, seperti Malaysia maupun Jepang yang memerlukan waktu.
"Tapi tentunya dibandingkan dengan hal tersebut masih tetap kecil dan masih tetap harus perlu upaya-upaya untuk meningkatkan hal tersebut," ujar dia.
Kendati demikian, berbagai upaya terus dilakukan untuk mendorong peningkatan perdagangan unit karbon dan pengembangan ekosistem perdagangan karbon di Indonesia. Dia menuturkan, hal itu tidak dapat terwujud dengan baik tanpa peran dan dukungan para pemangku kepentingan terkait, seperti kementerian atau lembaga dan juga pemerintah daerah.
Advertisement
Total Transaksi Bursa Karbon
Sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat total transaksi bursa karbon selama semester I-2024 mencapai Rp5,9 miliar dengan volume perdagangan 114,5 ribu ton CO2 ekuivalen.
"Pemerintah juga telah meluncurkan Bursa Karbon IDX Karbon pada September 2023, di mana nilai perdagangan karbon di Bursa Karbon sejak Januari 2024 sampai 30 Juni 2024 tercatat sebesar Rp 5,9 miliar dengan volume perdagangan 114,5 ribu ton CO2 ekuivalen," kata Deputi III Bidang Pengembangan Usaha dan BUMN Riset dan Inovasi Kemenko Perekomian Elen Setiadi, dalam webinar Perdagangan dan Bursa Karbon Indonesia, Selasa (23/7/2024).
Sejak peluncuran bursa karbon sejak September 2023-Juni 2024 nilai transaksinya telah mencapai Rp36,7 miliar dengan volume yang mencapai 608 ribu ton CO2 ekuivalen.
"Perdagangan karbon ini diharapkan akan menjadi instrumen vital dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai target dekarbonisasi," ujarnya.
Melalui skema perdagangan karbon, pemerintah telah meluncurkan pula Emission Trading System pada sektor pembangkit listrik pada 22 Februari 2023 dengan capai transaksi perdagangan karbon sebanyak 2,4 juta ton CO2 ekuivalen atau senilai Rp24 miliar sampai dengan Desember 2023.
Adapun adanya perdagangan karbon sejalan dengan komitmen Indonesia menurunkan emisi karbon sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,20% dengan dukungan internasional.
"Upaya tersebut tentunya membutuhkan dukungan finansial yang sangat tidak sedikit. Oleh karena itu, pemerintah telah menerbitkan beberapa regulasidiantaranya adalah Perpres 98 Tahun 2021 tentang nilai ekonomi karbon," ujarnya.
Dia menuturkan, pelaksanaan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon atau NEK dilakukan melalui mekanisme perdagangan karbon, pembiayaan berbasis kinerja, dan pungutan atas karbon.
Mengintip Potensi Pasar Perdagangan Karbon Kredit di Indonesia
Sebelumnya, Anggota Badan Hubungan Legislatif Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia), Dede Indra Permana Soediro, menyampaikan pernyataan terkait potensi perdagangan karbon kredit di bursa karbon international.
Mekanisme perdagangan karbon kredit saat ini telah dilakukan oleh negara-negara maju, dengan adanya insentif berbasis pasar bagi pihak yang berhasil melakukan upaya-upaya penurunan karbon. Di bursa karbon dunia pada tahun 2023 mencatat nilai perdagangan hingga USD 480 miliar atau setara Rp 8.000 triliun.
Dede menjelaskan Indonesia mempunyai hutan tropis ketiga terbesar di dunia dengan luas area 125,9 juta hektar mampu menyerap 25 miliar ton emisi karbon.
“Apabila Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dapat memanfaatkan potensi perdagangan karbon kredit maka bisa dibayangkan berapa besar pemasukan negara melalui pajak dan PNBP," kata Dede dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (21/7/2024).
Jangan Tertinggal
Dede Indra Permana yang juga menjabat sebagai Anggota Komisi III DPR RI ini menambahkan, potensi pasar internasional untuk perdagangan karbon kredit ini sangat masif, sayangnya regulasi kita belum memperbolehkan perdagangan karbon kredit di perdagangan internasional.
“Harapan kami akan ada pembahasan terkait regulasi perdagangan karbon kredit untuk pasar internasional sehingga kita tidak tertinggal dari negara-negara maju yang telah lebih dulu memasuki perdagangan kredit karbon ini,” jelasnya.
Tak hanya itu, Dede menegaskan dengan adanya regulasi ini pastinya akan menambah nilai tambah Pemerintah karena konsen dengan isu yang sedang berkembang.
"Potensi karbon kredit kita terlalu besar untuk hanya diperdagangkan dalam bursa karbon dalam negeri. Alangkah baiknya kita mempunyai payung hukum yang lebih kuat terkait perdagangan karbon kredit di perdagangan internasional." pungkasnya.
Advertisement