Liputan6.com, Jakarta Data terbaru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa dari total 128 cekungan migas yang ada di Indonesia, sebanyak 68 cekungan atau sekitar 53 persen belum pernah dieksplorasi sama sekali.
Sesditjen Migas Kementerian ESDM Maompang Harapan mengatakan, data tersebut jadi bukti bahwa perut bumi Indonesia masih memiliki potensi besar yang dapat dieksploitasi.
Baca Juga
Secara hitungan, cekungan-cekungan yang belum terjamah ini menyimpan potensi cadangan minyak sebesar 2,41 miliar barel dengan masa produksi diperkirakan mencapai 11 tahun. Sementara untuk cadangan gas bumi diperkirakan mencapai 35,3 triliun cubic feet (TCF) dengan masa produksi sekitar 15 tahun.
Advertisement
"Angka-angka ini menunjukkan potensi besar yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi migas dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor," ujar Maompang dalam keterangan resmi Kementerian ESDM, Jumat (9/8/2024).
Maompang memaparkan, dari total 166 Wilayah Kerja Migas (WK Migas) yang ada, 104 sudah berada di tahap produksi, dan 62 WK Migas lainnya masih dalam tahap eksplorasi. "Ini menunjukkan bahwa eksplorasi terus berlangsung untuk menemukan cadangan baru dan memperpanjang usia produksi di lapangan-lapangan yang sudah ada," imbuhnya.
Merujuk data terakhir, pada periode 2027-2028 diperkirakan akan terjadi peningkatan produksi gas bumi yang signifikan. Terutama berasal dari lapangan-lapangan seperti Geng North, IDD Gandang Gendalo, dan Andaman.
Tambahan Produksi
Geng North diproyeksikan akan menghasilkan tambahan produksi sebesar 1.000 MMSCFD dengan cadangan mencapai 4,1 TCF. Lapangan ini diperkirakan akan mulai berproduksi pada 2027.
Sementara IDD Gandang Gendalo dengan target produksi 4.900 MMSCFD dan cadangan 6,3 TCF, lapangan ini juga memiliki potensi besar untuk meningkatkan produksi gas nasional. Lalu Andaman, meskipun masih dalam tahap eksplorasi, lapangan ini diperkirakan memiliki potensi produksi sebesar 527 MMSCFD dengan cadangan sekitar 10 TCF.
Prospek Cerah
Meskipun punya prospek cerah, Maompang mengingatkan, pengembangan lapangan gas baru juga dihadapkan pada sejumlah tantangan. Mulai dari isu perizinan, ketersediaan infrastruktur, dan fluktuasi harga energi global.
Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah dan perusahaan migas perlu bekerja sama, seperti melakukan pengeboran eksplorasi Targeting Giant Prospect pada rata-rata 54 sumur tiap tahun, dan kerjasama Migas Non Konvensional dengan big player dunia seperti EOG Resources hingga CNPC.
"Diharapkan eksplorasi lebih lanjut di cekungan ini akan menemukan cadangan migas baru, yang akan meningkatkan produksi migas nasional dan memperpanjang masa depan industri migas Indonesia," pungkas Maompang.
Advertisement
Mengejar Produksi 1 Juta Barel Minyak di Tengah Kampanye Net Zero Emission
Indonesia berkomitmen untuk mengejar target emisi nol bersih atau net zero emission di 2060. Sehingga penggunaan energi fosil seperti minyak bumi dan batu bara akan dibatasi, digantikan dengan energi baru terbarukan (EBT).
Sesditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Maompang Harahap menjelaskan, proyeksi tingkat emisi sesuai dengan skenario 2060 sebesar 1.927,4 juta ton CO2 equivalen. Kemudian target emisi yang diharapkan di 2060 adalah 129 juta ton CO2 equivalen, sehingga ada penurunan sekitar 93 persen.
"Untuk mencapai strategi ini langkah yang dilakukan adalah mengoptimalkan pemanfaatan EBT dari sisi pasokan dan demand dengan melakukan langkah konservasi energi," kata dia dalam sesi webinar, Kamis (8/8/2024).
Untuk itu, elektrifikasi jadi kunci utama mencapai net zero emission. Mulai dari pemakaian kendaraan listrik, kompor induksi, pengembangan EBT, moratorium dan pensiun dini PLTU batu bara yang sudah ada, penerapan CCS/CCUS, hingga sumber energi baru berasal dari hydrogen dan amonia.
"Nah, di roadmap menuju net zero emission kalau kita lihat di 2060, nantinya suplai semua listrik dihasilkan dari PLT EBT. Emisi yang tersisa adalah 7 persen dari 1.927,4 juta ton CO2 equivalen. Kemudian demand-nya juga nanti akan didominasi oleh kompor induksi," jelasnya.
Namun begitu, tak bisa dipungkiri peran energi fosil saat ini masih strategis dan penting di tengah program transisi energi. Khususnya sebagai sumber energi, bahan baku industri, devisa, sampai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Terlebih, pemerintah juga target mengejar angka produksi minyak setara 1 juta barel per hari (BOPD) dan gas 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD) di 2030.
Berkesinambungan
Kementerian ESDM lantas membuat strategi agar pemakaian energi fosil bisa berkesinambungan dengan target net zero emission 2060. Selain eksplorasi penemuan baru optimalisasi lapangan eksisting, penggunaan pembangkit sebagai energi transisi sebelum EBT masuk 100 persen hingga penerapan CCS/CCUS turut didorong.
"Juga di mineral dan batu bara supaya perannya bisa lanjut, intinya adalah melakukan nilai tambah di dalam batubara. Jadi pengurangan batubara sebagai sumber energi pembangkit dan PLTU menggunakan teknologi CCS/CCUS," tuturnya.
"Kemudian konversi batubara menjadi dimethyl ether (DME, sebagai pengganti LPG), pengembangan baterai yang terintegrasi, dan meningkatkan nilai tambah," pungkas Maompang.
Advertisement