Mayoritas Driver Ojol Ingin Jadi Pekerjaan Kantoran, Ini Buktinya

Sekitar 66 persen pekerja gig, atau pekerja yang biasanya bekerja dalam jangka waktu relatif pendek termasuk driver ojek online (ojol), sebenarnya ingin beralih ke pekerjaan formal.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 09 Sep 2024, 16:30 WIB
Diterbitkan 09 Sep 2024, 16:30 WIB
Pengemudi Ojol Demo di Patung Kuda Tuntut Payung Hukum
Pengemudi ojek online atau ojol yang tergabung dalam Koalisi Ojol Nasional (KON) berorasi saat melakukan unjuk rasa di Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

 

Liputan6.com, Jakarta Dosen School of Business & Management (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB), Muhammad Yorga Permana, mengungkapkan bahwa sekitar 66 persen pekerja gig, atau pekerja yang biasanya bekerja dalam jangka waktu relatif pendek termasuk driver ojek online (ojol), sebenarnya ingin beralih ke pekerjaan formal.

Meskipun demikian, Yorga menyebut mereka terpaksa bertahan di sektor gig karena keterbatasan opsi pekerjaan lain yang tersedia.

"Jadi, ini studi saya. Saya sempat merilis opini di blog LSE tentang terjebak di ekonomi gig. Fokus studi saya adalah para driver ojol, dan kesimpulannya adalah mereka sebenarnya ingin bekerja di sektor formal, tetapi mereka tidak bisa," kata Yorga dalam diskusi Indef 'Kelas Menengah Turun Kelas', Senin (9/9/2024).

Yorga menjelaskan bahwa penurunan kelas menengah dan krisis pekerjaan layak telah menjadi masalah sejak sebelum pandemi COVID-19.

Ia mencatat bahwa sejak tahun 2014, telah terjadi penurunan signifikan dalam kelas menengah dan peningkatan jumlah pekerjaan di sektor gig sebagai respons terhadap kekurangan pekerjaan formal.

Ketika pandemi COVID-19 melanda, situasi ini semakin memburuk, namun masalah mendasar telah ada jauh sebelum itu.

"Ini menjadi ancaman karena tentu saja pekerja di sektor gig ini rentan. Tidak ada gaji bulanan, tidak ada stabilitas pendapatan, sehingga mereka bahkan masuk ke kelompok rentan," terangnya.

Jadi Motor Ekonomi Jakarta

Yorga menyoroti bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan pekerjaan baru di DKI Jakarta sebagian besar didorong oleh sektor transportasi berbasis aplikasi, sementara pekerjaan di sektor formal stagnan.

Lebih lanjut, Yorga menekankan bahwa pekerjaan di sektor gig, seperti menjadi driver ojol, rentan terhadap ketidakstabilan pendapatan dan kurangnya jaminan sosial.

Hal ini menciptakan kelompok pekerja yang terjebak dalam kondisi yang kurang menguntungkan, dan menggarisbawahi perlunya reformasi untuk menciptakan pekerjaan yang lebih layak dan stabil di Indonesia.

"Salah satu kesimpulannya adalah kita bisa melihat skema kemitraan yang tidak adil, eksploitasi platform besar-besaran, ekonomi gig, tanpa kita melihat lebih jauh bahwa di Indonesia ada krisis pekerjaan layak. Sehingga banyak orang yang beralih menjadi driver ojol karena tidak ada pekerjaan lain," pungkasnya.

 

Reporter: Siti Ayu Rachma

Sumber: Merdeka.com

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Negara-Negara di Dunia yang Tak Punya Kelas Menengah, Indonesia Jangan Ikutan

Jelang lebaran pasar tanah abang diserbu warga
Pakaian muslim, serta baju anak menjadi buruan utama para pengunjung. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ekonom Senior INDEF, Bustanul Arifin, mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia harus banyak belajar dari pengalaman negara lain dalam menangani permasalahan kelas menengah agar tidak terjadi revolusi seperti di Amerika Latin.

"Dalam beberapa pengalaman negara lain, terutama di Amerika Latin, kekosongan kelas menengah juga berdampak buruk. Jika menurun terlalu jauh dan menjadi kosong, kita khawatir akan terjadi revolusi," kata Bustanul dalam diskusi publik bertajuk "Kelas Menengah Turun Kelas," Senin (9/9/2024).

Bustanul menjelaskan bahwa negara-negara di Amerika Latin dengan struktur kelas yang sangat timpang sering mengalami tekanan dan guncangan akibat kekosongan kelas menengah.

"Lihat sejarah di Amerika Latin, seperti di Kolombia, Panama, dan Venezuela. Di sana, kelas menengahnya kosong. Jumlah tuan tanah besar, tetapi kelas menengahnya sedikit, dan mereka melompat ke kelas bawah yang informal. Ini sangat berbahaya," ujarnya.

 


Dampak Buruk ke Ekonomi

Suasana Jam Pulang Kantor Pekerja di Jakarta
Sejumlah orang berjalan di trotoar pada saat jam pulang kantor di Kawasan Sudirman, Jakarta, Senin (8/6/2020). Aktivitas perkantoran dimulai kembali pada pekan kedua penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menurutnya, jika struktur perekonomian mengalami kekosongan kelas menengah, hal tersebut akan berdampak buruk terhadap perekonomian secara keseluruhan.

"Indonesia harus belajar banyak dari konteks negara-negara Amerika Latin. Demokrasi mereka semu. Apakah kita akan menuju ke sana dengan oligarki yang turun ke bawah?" tambahnya.

Oleh karena itu, permasalahan penurunan kelas menengah ini harus menjadi perhatian bersama. Kelas menengah memiliki peran penting dalam perekonomian.

"Mengapa kita harus peduli? Kelas menengah ini adalah faktor penting dalam sosial, ekonomi, dan menjadi peletak dasar kualitas tata kelola. Jika kelas menengahnya acuh, ini akan menjadi masalah. Namun, jika terlalu terlibat juga tidak baik," ujarnya.

Selain itu, kelas menengah berperan penting dalam menentukan perubahan perekonomian Indonesia. Kelas menengah juga memainkan peran sosial dan politik yang signifikan, memengaruhi atau menentukan tata kelola, kualitas kebijakan, dan pertumbuhan ekonomi

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya