Liputan6.com, Jakarta - Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal menilai kebijakan luar negeri Donald Trump yang mengutamakan Amerika Serikat dan menjauhi keterlibatan global dapat memicu ketidakpastian ekonomi global.
"Sebagaimana yang dikatakan Trump, I want peace. Jadi, dia sebetulnya agak selfish. Jadi yang penting Amerika saja. Tidak usah terlalu banyak menguruskan urusan negara-negara lain," kata Faisal dalam Gambir Trade Talk, di Jakarta, Selasa (19/11/2024).
Advertisement
Baca Juga
Faisal menjelaskan, sosok Donald Trump dikenal dengan pendekatannya yang berbeda terhadap hubungan luar negeri. Trump sering kali menekankan prinsip "America First", yang berarti memprioritaskan kepentingan nasional Amerika Serikat di atas segala hal, bahkan jika itu berarti mengurangi keterlibatan negara tersebut dalam konflik global.
Advertisement
Dilihat dari janji-janji kampanye Trump memang menonjolkan niat untuk mengurangi keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik-konflik internasional, yang menurutnya hanya membebani anggaran negara.
Salah satu contoh nyata adalah sikap Trump terhadap Ukraina, Timur Tengah, dan Taiwan. Dalam konteks Ukraina, meski invasi Rusia memicu krisis besar, Trump berpendapat Amerika Serikat tidak seharusnya terlalu banyak terlibat dalam urusan tersebut.
Ia lebih mengutamakan kestabilan domestik dan mengurangi pemborosan sumber daya negara untuk mendukung pihak-pihak lain. Pendekatan ini sejalan dengan sikap Trump terhadap Timur Tengah, yang selama ini melibatkan Amerika Serikat dalam banyak operasi militer.
Trump berusaha menarik pasukan Amerika keluar dari kawasan tersebut, dengan alasan bahwa negara-negara yang terlibat dalam konflik seharusnya mengambil tanggung jawab lebih besar atas masalah mereka sendiri.
Bahkan, dalam hal Taiwan, Trump menyarankan agar negara tersebut membayar lebih banyak biaya untuk pertahanan yang selama ini dijalankan oleh Amerika Serikat, menyarankan bahwa bantuan tersebut tidak seharusnya menjadi beban sepenuhnya bagi AS.
Kebijakan Isolationist
"Bahkan Taiwan juga katanya kalau urusan sama China, selama ini banyak dibantu oleh Amerika dari sisi pertahanan keamanan. Ini katanya, wah, mestinya Taiwan itu bayar itu sama Amerika," ujarnya.
Secara keseluruhan, kebijakan luar negeri Trump dapat digambarkan sebagai "isolationist" atau kebijakan yang menghindari keterlibatan dalam masalah luar negeri.
"Nah, jadi agak kebijakannya agak sedikit istilahnya, kalau IMF bilang itu isolationist. Nah, jadi ini kurang lebih plus minusnya daripada kebijakan Trump," ujarnya. Tentunya, kebijakan mengundang berbagai kritik. Sebab pengurangan keterlibatan Amerika di panggung dunia dapat memicu ketidakpastian ekonomi global. Ketika Amerika mundur dari berbagai peran internasional, ada kekhawatiran bahwa kekosongan ini bisa diisi oleh kekuatan lain.
Advertisement
Bos Bank Sentral Prancis Sebut Kebijakan Donald Trump Bakal Hambat Ekonomi Global
Sebelumnya, Kepala bank sentral Prancis (Bank of France) dan anggota Bank Sentral Eropa (ECB), Francois Villeroy de Galhau mengingatkan agenda ekonomi Presiden terpilih AS Donald Trump berisiko mengembalikan inflasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi global.
"Program tersebut berisiko mengembalikan inflasi Amerika Serikat," kata Villeroy kepada radio France Inter, dikutip dari US News, Kamis (14/11/2024).
"Ini berisiko menurunkan pertumbuhan sedikit, di seluruh dunia. Masih harus dilihat apakah pengurangan tersebut akan lebih terasa di Amerika Serikat, Tiongkok, atau di Eropa,” ungkap Kepala Bank Sentral Prancis Galhau.
Trump telah melontarkan gagasan tarif impor sebesar 10% atau lebih pada semua barang yang diimpor ke AS, yang menurut dia akan meredam defisit perdagangannya.
Namun, Villeroy memperkirakan konsumen AS akan menanggung beban utama dari kenaikan tarif impor tersebut.
"Proteksionisme hampir selalu berarti berkurangnya daya beli konsumen," ucap Villeroy.
Diwartakan sebelumnya, ekonom mengingatkan bahwa jika Donald Trump memberlakukan kebijakan tarif perdagangan yang lebih tinggi, pengeboran minyak yang lebih banyak, hingga tuntutan yang lebih besar terhadap mitra NATO, dapat menimbulkam tekanan pada keuangan pemerintah, inflasi, hingga pertumbuhan ekonomi.
"Janji fiskal Trump benar-benar memperberat, bagi ekonomi AS dan pasar keuangan global, karena menjanjikan akan memperluas defisit yang sudah berlebihan pada saat yang sama ketika ia mengancam akan melemahkan lembaga-lembaga utama," ujar Erik Nielsen, Kepala Penasihat Ekonomi Grup di UniCredit.
Adapun Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan dampak ekonomi dari kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS 2024.
Ia melihat, sentimen pelaku pasar keuangan terhadap Trump terfokus pada kebijakannya yang berpotensi mengubah fiskal pemerintahan AS.
"Pada saat yang sama nanti akan menimbulkan policy yang berubah karena Trump didukung Republic sedangkan saat ini Biden dari Demokrat," ujar Sri Mulyani, dalam Konferensi Pers APBN Kita di Kantor Kemenkeu di Jakarta, Jumat, 8 November 2024.
Selain China, Negara Ini Bakal Terkena Dampak Kebijakan Donald Trump
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menilai kebijakan ekonomi Presiden Terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan menerapkan proteksionisme dengan menaikkan tarif impor. Hal itu akan berdampak terhadap negara-negara mitra dagang.
Sri Mulyani menuturkan, Donald Trump merupakan sosok yang dikenal proteksionisme dalam melindungi neraca dagang negaranya. Sehingga, Sri Mulyani tak segan mengenakan tambahan bea impor bagi negara mitra yang membukukan surplus perdagangan.
"Kebijakan presiden incoming yaitu Presiden Trump tentang terutama di bagian penurunan pajak korporasi, ekspansi belanja untuk beberapa yang sifatnya strategis, dan proteksionisme dengan menaikkan tarif impor," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (13/11/2024).
Sri Mulyani mencontohkan, China sebagai salah satu negara mitra dagang yang membukukan surplus harus dikenakan tambahan tarif bea masuk impor oleh Trump.
"Selama ini mungkin targetnya adalah Amerika Serikat terhadap RRT yang membukukan surplus," tutur dia.
Bahkan Presiden Donald Trump juga diyakini akan memperluas kebijakan tambahan tarif impor usai terpilih kembali menjadi Presiden AS. Sri Mulyani menuturkan, negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) juga terancam dikenai kebijakan serupa.
"Jadi, mungkin tidak hanya RRT saja yang kena, dalam hal ini ASEAN seperti Vietnam dan beberapa lain mungkin akan dijadikan poin untuk fokus dan perhatian pengenaan tarif impor ini," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Budi Santoso mengaku tak menutup telinga terkait isu akan adanya ancaman potensi penambahan bea masuk usai Trump kembali menjadi Presiden AS.
"Memang isunya akan ada biaya masuk tambahan ya," kata Mendag Budi di Kawasan Pergudangan Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat, 8 November 2024.
Advertisement
Data Perdagangan
Di sisi lain, data perdagangan Indonesia ke Amerika Serikat justru mengalami kenaikan saat Donald Trump menjabat sebagai Presiden AS.
Berkaca dari hal tersebut, Budi mengaku tidak masalah usai Trump terpilih kembali menjadi orang nomor satu di AS.
"Tapi saya pikir kalau dulu kan kita juga ekspor kita meningkat terus waktu Donald Trump. Jadi mudah-mudahan tidak ada masalah ya," tegasnya.
Sebaliknya, kepemimpinan Trump ini dapat dijadikan momentum untuk meningkatkan transaksi perdagangan Indonesia ke AS. Apalagi, tidak ada permasalahan serius pada perdagangan Indonesia di era kepemimpinan Trump.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com