MUI Pertanyakan Urgensi PPN Naik Jadi 12%

Terdapat dampak buruk dari penerapan PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025. Misalnya, peluang penurunan daya beli masyarakat karena tingginya harga barang-barang.

oleh Arief Rahman H diperbarui 28 Des 2024, 16:00 WIB
Diterbitkan 28 Des 2024, 16:00 WIB
Tolak Penerapan PPN 12 Persen, BEM SI Kerakyatan Berunjuk Rasa di Kawasan Patung Kuda Jakarta
Sebelumnya, pemerintah telah mengumumkan penerapan PPN 12 persen per 1 Januari 2025. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mempertanyakan urgensi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Dia menilai rencana tersebut telah menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.

Anwar menyadari kenaikan PPN Jadi 12 persen tertusng dalam Undang-Undang anomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dengan demikian, kenaikan PPN 1 persen merupakan anamat UU yang harus dijalankan oleh pemerintah.

Kendati demikian, ada sederet pertanyaan yang membayangi rencana penerapan PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025 nanti.

"Tetapi pertanyaannya, apakah dari perspektif hukum tuntutan dari UU tersebut sesuai dengan amanat konstitusi atau tidak? Kedua, apakah dari perspektif sosial ekonomi ketentuan tersebut sudah tepat atau belum untuk dilaksanakan saat ini? Disinilah letak masalah dan kontroversinya," tutur Anwar dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Sabtu (28/12/2024).

Pada dasarnya, pemerintah perlu menjalankan perintah Undang-Undang tadi. Anwar melihat dua alasan kuat; pertama aturan yang sudah ditetapkan dan kedua kebutuhan dana untuk menunjang rencana belanja pemerintah.

"Pertama, karena hal demikian sudah merupakan tuntutan dari UU HPP. Kalau tidak dilaksanakan maka pemerintah tentu akan dicap telah melanggar UU. Kedua karena pemerintah saat ini memang sedang memerlukan dana yang besar bagi membiayai semua pengeluaran pemerintah termasuk pengeluaran untuk pembangunan," tuturnya.

Anwar menyoroti pula siasat pemerintah dalal memuluskan rencana itu. Misalnya, dengan mengeliminasi sejumlah kelompok barang kebutuhan pokok agar tidak dipungut PPN.

"Untuk itu sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam melaksanaan kenaikan PPN 12 persen tersebut, pemerintah juga sudah menyiapkan berbagai langkah seperti mengecualikan kenaikan PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok, obat-obatan dan layanan pendidikan," bebernya.

 

Daya Beli Turun

Kaleidoskop 2024: Rekaman Peristiwa di Indonesia dalam Bingkai Foto
Penolakan PPN 12 Persen. Massa aksi dari generasi Z dan millenial berunjuk rasa menolak kenaikan PPN 12 persen di kawasan Selayang Pandang, depan Istana Negara, Kamis (19/12/2024). Para generasi Z menilai penerapan PPN 12 persen sangat memberatkan dan mencekik rakyat menengah ke bawah. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Di sisi lain, Anwar melihat dampak buruk dari penerapan PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025. Misalnya, peluang penurunan daya beli masyarakat karena tingginya harga barang-barang.

Dia menilai, dunia usaha dan masyarakat luas sudah mulai menyuarakan penolakannya terhadap rencana kenaikan PPN itu.

"Tetapi disisi lain masyarakat dan dunia usaha tampak resah dan sangat keberatan dengan pemberlakuan UU tersebut karena dengan adanya kenaikan PPN sebesar 12 persen hal demikian jelas akan mendorong terjadinya kenaikan harga barang dan jasa," urainya.

"Bila hal demikian yang terjadi maka tentu daya beli masyarakat akan menurun," sambung Anwar.

Presiden Prabowo Bisa Ajukan APBN-P 2025 untuk Penundaan PPN 12 Persen

PPN 12 Persen Hanya untuk Barang Mewah, Bagaimana Detailnya?
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Sebelumnya, Pengamat Ekonomi Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Surya Vandiantara menilai, Presiden Prabowo Subianto perlu turun tangan menunda kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen.

Kenaikan tarif PPN mulai 1 Januari 2025 memang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun, ketentuan itu bisa dengan mudah diubah jika ada kemauan politik dari Presiden Prabowo lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2025.

"Tersedia ruang untuk pemerintah mengajukan RAPBN Penyesuaian apabila ada perubahan kebijakan-kebijakan fiskal," kata Surya, Kamis (26/12/2024).

UU HPP yang disahkan pada era Presiden Joko Widodo pun telah memberi ruang bagi perubahan tarif PPN. Dalam pasal 7 ayat (3) UU HPP, diatur bahwa tarif PPN dapat diubah paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.

 

Hanya Butuh Kemauan Politik

PPN 12 Persen Hanya untuk Barang Mewah, Bagaimana Detailnya?
Presiden Prabowo Subianto sudah mengumumkan kebijakan terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Selanjutnya, dalam pasal 7 ayat (4) UU HPP dijelaskan bahwa perubahan tarif PPN diatur dengan peraturan pemerintah, setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan RAPBN.

"Pemerintahan Presiden Prabowo dapat menyesuaikan tarif PPN 12 persen melalui mekanisme APBN Perubahan," kata Surya. 

Surya menambahkan, dalam UU APBN 2025 juga tersedia ruang bagi pemerintah untuk mengajukan RAPBN perubahan, apabila terdapat perubahan-perubahan kebijakan fiskal. Hal itu secara tegas diatur dalam Pasal 42 UU APBN 2025. Ia pun meyakini, Presiden Prabowo akan mendapat dukungan penuh dari DPR jika mengajukan perubahan ini. 

Sebab, hampir seluruh fraksi di DPR kini adalah bagian dari koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran.  Setelah RAPBN disetujui menjadi UU APBN, maka pemerintah tinggal menerbitkan PP tentang tarif PPN.

"Artinya hanya butuh kemauan politik dari Presiden Prabowo untuk membatalkan kenaikan PPN," tegas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya