Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas meminta pemerintah menunda kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12 persen. Menurutnya, kenaikan PPN akan berdampak buruk ke kesejahteraan masyarakat.
Dia melihat pandangan pelaku usaha dan masyarakat soal rencana kenaikan PPN. Menurutnya, pendapatan pelaku usaha akan menurun, sementara harga barang dan jasa ikut naik. Dengan begitu, daya beli masyarakat ikut tertahan.
Advertisement
Baca Juga
"Jika daya beli masyarakat menurun maka tingkat keuntungan pengusaha dan kesejahteraan serta kemakmuran masyarakat tentu juga akan menurun," kata Anwar dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Sabtu (28/12/2024).
Advertisement
Menurutnya, hal itu tidak sesuai dengat amanat konstitusi yang mengharuskan kebijakan yang diambil pemerintah berorientasi pada kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Atas hitungan prediksi penurunan pendapatan pengusaha dan daya beli masyarakat, Anwar meminta pemerintah menunda PPN 12 persen.
"Mengingat masalah kenaikan PPN ini sangat terkait erat dengan kehidupan rakyat banyak maka untuk kebaikan semua pihak, sebaiknya pemerintah menunda pelaksanaan kenaikan PPN 12 persen tersebut sampai keadaan dunia usaha dan ekonomi masyarakat mendukung untuk itu," terangnya.
Anwar menegaskan, penundaan PPN itu harus dilakukan mengingat perintah Presiden Prabowo Subianto soal kebijakan yang diambil pemerintah harus mendukung kesejahteraan masyarakat. Pada saat yang sama, daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih.
"Kita tahu Prabowo sebagai presiden dalam berbagai kesempatan telah berkali-kali menyampaikan sikapnya bahwa kebijakan yang akan dia buat adalah kebijakan yang memberdayakan dan pro rakyat bukan sebaliknya," ujarnya.
"Sementara kebanyakan para ahli dan warga masyarakat menilai menaikkan PPN menjadi 12 persen di saat trust masyarakat kepada pemerintah belum begitu kuat dan disaat kehidupan dunia usaha sedang lesu karena daya beli masyarakat sedang menurun jelas tidak tepat," pungkas Anwar.
Bola Panas PPN 12% Kini Ada di Tangan Presiden Prabowo
Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi PPN 12% per 1 Januari 2025 memicu reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat.
Presiden Prabowo Subianto kini dihadapkan pada tekanan besar untuk merespons isu yang dianggap dapat memperberat beban ekonomi rakyat.
Salah satu langkah yang dapat ditempuh Presiden adalah menggunakan kewenangannya untuk mengajukan pembatalan kenaikan tarif tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Pemerintah memiliki ruang untuk mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Penyesuaian jika ada perubahan kebijakan fiskal.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengusulkan agar Presiden Prabowo mempertimbangkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menunda kenaikan tarif ini. Menurutnya, langkah ini tidak hanya legal tetapi juga realistis, mengingat kondisi ekonomi saat ini yang masih lesu.
“Ini soal kemauan politik. Penerbitan Perppu memungkinkan pemerintah menunda kebijakan tersebut karena daya beli masyarakat belum pulih. Jika dipaksakan, kenaikan PPN justru bisa memperlambat pemulihan ekonomi,” jelas Esther kepada wartawan, ditulis Kamis (26/12/2024).
Advertisement
Kapan Kenaikan Tarif PPN Ideal Dilakukan?
Esther menegaskan bahwa kenaikan tarif PPN sebaiknya dilakukan ketika daya beli masyarakat telah stabil dan ekonomi nasional menunjukkan pemulihan yang signifikan. Jika tidak, kebijakan ini berisiko mengganggu pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).
“Presiden punya peran besar untuk memutuskan apakah kenaikan ini perlu ditunda. Saya kira, jika ekonomi belum benar-benar pulih, kebijakan ini sebaiknya ditunda hingga situasi lebih kondusif,” tambahnya.
Esther juga mengingatkan pemerintah untuk belajar dari pengalaman Malaysia. Negara tersebut pernah menaikkan tarif PPN, tetapi kebijakan itu berdampak buruk pada perekonomian, termasuk penurunan volume ekspor. Akhirnya, Malaysia memutuskan untuk menurunkan kembali tarif PPN guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Kasus Malaysia menjadi pelajaran penting. Kenaikan tarif pajak tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi bisa berakibat fatal. Pemerintah harus berhati-hati dalam mengambil langkah ini,” ujar Esther.