Liputan6.com, Jakarta Program bagi-bagi izin kelola tambang berlanjut. Setelah sebelumnya di era Presiden Joko Widodo, Ormas Keagamaan mendapatkan bagian izin kelola tambang, kini era Presiden Prabowo Subianto diwacanakan perguruan tinggi juga bisa mengikuti. Dari mana awalnya?
Adalah Badan Legislasi (Baleg) DPR RI memberikan sinyal positif bagi perguruan tinggi dan usaha kecil dan menengah (UKM) untuk mendapatkan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK).
Advertisement
Baca Juga
Kebijakan ini diusulkan sebagai langkah untuk memberikan manfaat langsung kepada masyarakat di sekitar wilayah pertambangan.
Advertisement
Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan menyampaikan, selama ini pembahasan sering kali menitikberatkan pada prioritas untuk organisasi masyarakat (ormas) keagamaan dalam pengelolaan pertambangan. Namun, pihaknya juga menilai pentingnya melibatkan perguruan tinggi dan UKM.
Bob Hasan menjelaskan, pemberian WIUPK kepada perguruan tinggi, UKM, dan ormas keagamaan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar tambang.
"Dengan pemberian WIUPK, masyarakat di sekitar wilayah pertambangan tidak lagi hanya terkena debu batu bara atau dampak negatif lainnya dari eksploitasi mineral dan batu bara. Ini merupakan peluang bagi masyarakat untuk terlibat langsung," ujar dia dalam rapat pleno penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Baleg DPR RI berencana menambahkan pasal baru dalam revisi UU Minerba, yaitu Pasal 51A. Pasal ini mengatur bahwa WIUP mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi secara prioritas. Selain itu, terdapat ketentuan tambahan terkait pemberian WIUP:
- Pasal 51A ayat (1): WIUP mineral logam diprioritaskan untuk perguruan tinggi.
- Pasal 51A ayat (2): Pertimbangan pemberian WIUP kepada perguruan tinggi akan diatur lebih rinci.
- Pasal 51A ayat (3): Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian WIUP akan diatur melalui peraturan pemerintah (PP).
Selain itu, Baleg DPR juga berencana menetapkan aturan bahwa izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas di bawah 2.500 hektare akan diprioritaskan untuk UKM lokal.
Bob Hasan menambahkan, percepatan revisi ini juga sejalan dengan transformasi Indonesia dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Dengan adanya hilirisasi, diharapkan masyarakat tidak hanya menjadi penonton tetapi juga pelaku aktif dalam industri pertambangan.
"Hal inilah yang menjadi pertimbangan, sehingga perlunya percepatan revisi ini," kata Bob Hasan.
Revisi UU Minerba ini diharapkan dapat mendorong keterlibatan lebih luas dari berbagai elemen masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan.
Dikaji Kementerian ESDM
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih mengkaji, apakah izin kelola tambang untuk perguruan tinggi nantinya sama dengan apa yang diberikan kepada ormas keagamaan. Sekaligus menyeleksi kampus mana saja yang secara kriteria berhak mengurusi pertambangan.
"Ini masih pembahasan, termasuk kriteria juga," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana kepada Liputan6.com, Selasa (28/1/2025).
Kementerian ESDM sendiri berencana membahas kriteria universitas yang bisa mendapat izin kelola tambang dengan DPR RI. Ada beberapa aspek yang bakal diperhatikan.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan, kriteria perguruan tinggi bisa kelola tambang itu belum dibahas dengan DPR RI. Dia bilang, kriteria itu akan merujuk pada kebutuhan perguruan tingginya.
"Ini kita belum bahas dengan DPR, jadi kalau ini sudah dibahas dengan DPR, bagaimana kriteria yang ditetapkan oleh DPR, ya tentu itu nanti akan kita lihat bagaimana kebutuhan perguruan tinggi, ya termasuk dalam rangka kampus merdeka," kata Yuliot di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, hal itu juga akan disesuaikan dengan program studi (prodi) yang ada di kampus calon pengelola tambang. Hanya saja, hal itu bakal dibahas nanti antara Kementerian ESDM dan DPR RI.
"Jadi, kita akan lihat, apakah ada prodinya, ya kemudian dekat dengan tambang, ya mungkin kriterianya itu akan kita bahas dengan DPR," ucap dia.
Yuliot menyampaikan, Kementerian ESDM belum membahas secara internal. Pasalnya, usulan perguruan tinggi bisa kelola tambang datang dari DPR RI.
Forum Rektor Langsung Mendukung
Forum Rektor Indonesia mendukung usulan DPR RI agar perguruan tinggi mendapatkan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK). Forum Rektor menilai biaya kuliah atau UKT dapat turun apabila perguruan tinggi ikut mengelola pertambangan.
Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia Didin Muhafidin menyampaikan perguruan tinggi yang berstatus perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH) dan perguruan tinggi swasta (PTS) ternama, sudah memiliki unit usaha. Sehingga, kata dia, tambang yang dikelola dapat memberikan tambahan keuangan bagi perguruan tinggi.
"Dengan adanya tambahan pemasukan diharapkan PTN-BH tadi tidak menaikkan SPP lagi, syukur-syukur bisa menurunkan UKT karena adanya tambahan penghasilan dari pengelolaan tambang," jelas Didin saat dihubungi Liputan6.com.
Dia menyampaikan pengelolaan tambang juga akan menguntungkan mahasiswa perguruan tinggi swasta. Terlebih, perguruan tinggi swasta tak akan mampu apabila hanya mengandalkan pendapatannya dari biaya kuliah para mahasiswa.
"Untuk PTS besar yang sudah punya badan usaha itu akan sangat membantu. Karena kalau PTS mengandalkan pendapatan dari mahasiswa itu kan sangat kecil, ujung-ujungnya pasti akan menaikkan UKT atau SPP," katanya.
"Dengan adanya penambahan penghasilan ini, diharapkan PTS pun tidak akan menaikkan SPP. Secara tidak langsung, ini juga meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat," sambung Didin.
Masyarakat Diminta Tak Khawatir
Didin mengatakan masyarakat tak perlu khawatir apabila PTN-BH dan PTS ikut mengelola pertambangan. Menurut dia, PTN-BH memiliki Majelis Wali Amanah dan akuntan publik untuk mengawasi pengelolaan keuangan.
"Ini akan mengawasi pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh perguruan tinggi atau badan usaha yang dimiliki PTN-BH tersebut disamping setelah PTN-BH kan akan diperiksa oleh akuntan publik maupun oleh Majelis Wali Amanah," ujarnya.
Namun, Didin mengusulkan agar hanya PTN-BH dan perguruan tinggi swasta besar yang dapat mengelola tambang. Sebab, PTN-BH memiliki kewenangan untuk mengelola keuangan secara mandiri dari investasi, penanaman modal, maupun kegiatan berusaha.
"Kenapa PTN yang BLU (Badan Layanan Umum) atau Satker BLM, karena yang mutlak diberikan kewenangan otonom baru pada PTN-BH. Boleh PTS tapi punya (unit usaha), terutama PTS yang besar, di Indonesia kan juga banyak PTS yang punya unit usaha," tutur Didin.
Dia menuturkan PTS juga memiliki yayasan yang mengawasi unit usaha, termasuk pengelolaan pertambangan. Nantinya, bukan perguruan tinggi yang mengelola pertambangan, melainkan unit usahanya.
"Untuk PTS tidak perlu khawatir, karena diawasi yayasan. Jadi bukan PTS yang menyelenggarakan, tapi unit usaha yang diselenggarakan yayasan yang punya perguruan tinggi besar, bukan PTS-nya, termasuk PTN-BH. Bukan PTN-BH yang mengelola tapi unit usaha yang dimiliki PTN-BH dengan pengawasam penuh dari majelis dan akuntan publik," pungkas Didin.
Syarat Perguruan Tinggi Bisa Kelola Tambang
Sementara itu, Dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Ir Ridho Kresna Wattimena, menjawab bahwa perguruan tinggi yang layak untuk menerima Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah perguruan tinggi yang telah memperoleh akreditasi unggul dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).
Berdasarkan data yang diperolehnya, ada sekitar 3.360 perguruan tinggi dengan akreditasi "Baik", 472 perguruan tinggi terakreditasi "Amat Baik", dan 149 perguruan tinggi yang memiliki akreditasi "Unggul".
"Kalau saya boleh usul, yang diberikan adalah perguruan tinggi dengan akreditasi unggul, dan itu ada 149 perguruan tinggi," jawab Ridho.
Meski demikian, Ridho menegaskan bahwa selain akreditasi, aspek lain juga perlu dipertimbangkan, terutama terkait dengan ketersediaan program studi yang relevan dengan sektor pertambangan.
"Cuma bapak-ibu, belum tentu dia (perguruan tinggi) unggul, belum tentu punya program studi geologi tambang maupun metalurgi. Jadi mungkin selain akreditasi, kita lihat juga program studi tambang, metalurgi, geologi untuk amdalnya, dan teknik lingkungan untuk amdalnya," ujar Ridho.
Advertisement
Risiko Perguruan Tinggi Kelola Tambang
Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PAN, Eddy Soeparno buka suara soal rencana pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi.
Terkait hal ini, Eddy tidak yakin perguruan tinggi akan serta merta berebut untuk meminta izin pengelolaan tambang. Dia menilai, dalam mengelola tambang membutuhkan modal yang tidak kecil dan perlu adanya mitra dengan pihak lain.
"Mereka tentu akan kerja sama dengan mitra swasta, tapi mencari mitra yang tepat, yang punya rekam jejak baik, mampu mengelola tambang berkelanjutan ibarat cari jodoh tidak mudah. Ini juga tidak bisa sebentar, sehingga itu menjadi kendala pertama,” kata Eddy kepada Liputan6.com, Selasa (28/1/2025).
Eddy menambahkan, perguruan tinggi umumnya diisi oleh para akademisi yang melakukan analisis berbasis sains, data, dan rasionalitas. Hal ini membuat para akademisi belum tentu akan tergiur dengan prospek pertambangan yang jika dikaji lebih dalam akan lebih banyak menimbulkan dampak negatif dibandingkan manfaatnya.
Adapun jika perguruan tinggi diizinkan mengelola tambang, Eddy menilai langkah ini akan menjauhkan tujuan utama dari perguruan tinggi sebagai pilar pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Selain itu, pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi dinilai dapat merusak reputasi nama dan rekam jejak perguruan tinggi tersebut.
Menambah Masalah Baru
Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) yang juga mantan anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto menyebut pemberian prioritas IUP kepada perguruan tinggi itu tidak menyelesaikan masalah sektor pertambangan yang ada, malah akan menambah masalah baru.
Dia mengatakan, dengan memberi prioritas pengelolaan pertambangan kepada perguruan tinggi, artinya kedua lembaga ini dilepas untuk secara mandiri mencari dana sendiri di sektor pertambangan.
"Kalau benar-benar ide ini diimplementasikan salah-salah bisa hancur perguruan tinggi kita, karena mereka asyik mengurus tambang ketimbang menjalankan tugas pokoknya dalam mendidik bangsa ini.,” kata Mulyanto dalam keterangan resmi, Selasa (28/1/2025).
Mulyanto menambahkan sektor pertambangan ini adalah sektor yang sedang ditimpa banyak masalah, utamanya adalah tambang ilegal dan korupsi. Kasus korupsi timah misalnya, kerugian negara mencapai sebesar Rp. 300 triliun; kasus tambang emas ilegal oleh WNA China yang menyebabkan negara rugi Rp 1 triliun lebih.
"Belum lagi persoalan governansi lingkungan dan sosial yang amburadul di sektor ini, yang seringkali memarjinalkan masyarakat kecil," ujarnya.
Menurut Mulyanto, dengan pemberian prioritas izin tambang kepada perguruan tinggi, ibarat Pemerintah menyelesaikan suatu masalah dengan menambah masalah baru yang lebih berat.
Respon Pengusaha Tambang
Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo) Anggawira menyoroti dari sisi keselarasan dengan tujuan pendidikan. Menurut dia, Mengelola tambang adalah aktivitas industri yang kompleks dan berorientasi pada profit. Hal ini berpotensi menggeser fokus universitas dari fungsi utamanya sebagai lembaga pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
"Alih-alih menjadi pusat pembelajaran, universitas dapat menjadi lebih berorientasi pada keuntungan," kata Anggawira kepada Liputan6.com, Selasa (28/1/2025).
Selain itu, Anggawira juga menyoroti kemampuan dan sumber daya universitas. Di mana tidak semua universitas memiliki infrastruktur, tenaga ahli, atau pengalaman yang cukup untuk mengelola tambang.
Hal ini dapat menimbulkan risiko buruknya pengelolaan lingkungan atau ketidakefisienan operasional, yang pada akhirnya dapat merusak reputasi universitas.
Wacana pemberian konsesi tambang kepada institusi pendidikan juga menimbulkan potensi konflik kepentingan. Universitas yang berperan sebagai pengelola tambang dapat menghadapi konflik kepentingan, terutama jika kebijakan atau penelitian mereka bias terhadap kepentingan tambang yang dikelola. "Hal ini dapat mengurangi objektivitas universitas sebagai institusi akademis," imbuh Anggawira.
Tak kalah penting, adanya risiko kerusakan lingkungan. Menurut Anggawira, pengelolaan tambang yang kurang profesional dapat memperburuk dampak lingkungan. Universitas yang tidak berpengalaman berisiko terlibat dalam eksploitasi sumber daya yang merusak ekosistem sekitar.
Pengusaha Tambang Nikel Menolak
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey tidak setuju dengan kebijakan yang diusulkan oleh DPR dengan memberikan dan perguruan tinggi (universitas) dan UKM untuk mengelola lahan tambang.
“Betul (menolak). Jangan pernah ada kata prioritas, saya minta yang adil. Kalau mau gandeng semuanya, oke. Tapi lelang terbuka,” ucap Meidy dikutip dari Antara.
Meidy menyampaikan bahwa ormas keagamaan dan perguruan tinggi memiliki kapabilitas yang berbeda dalam mengelola lahan pertambangan.
AdvertisementApabila ormas keagamaan dan perguruan tinggi ingin dilibatkan dalam mengelola lahan tambang, maka sebaiknya dibuat klasifikasi dan spesifikasi lelang sesuai dengan kemampuan masing-masing.
“Misalkan, batasannya A, luasan 100 hektar, harus punya kemampuan apa saja, alat beratnya harus berapa,” ucap Meidy.
Dengan demikian, para pihak yang ingin dilibatkan oleh pemerintah dapat mengelola lahan tambang sesuai dengan kemampuan mereka.
Advertisement
Berpotensi Konflik Kepentingan
Pakar Manajemen Lingkungan Universtias Diponegoro (Undip) Profesor Sudharto Hadi memberikan pandangan terkait izin menambang untuk perguruan tinggi.
Menurut dia, dari segi pengorganisasian mungkin bisa dilakukan karena semua Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) memiliki badan usaha, namun demikian ketersediaan tenaga ahli yang komplet mengelola tambang tidak semua perguruan tinggi memiliki.
Karakteristik pertambangan di antaranya high-tech dan biasanya di daerah yang terpencil. Dengan ciri seperti itu, nilai tambahan lokal terbatas, hubungan hulu (pemasok dari masyarakat) dan hilir (pertambangan) minim. Isu-isu pertambangan mulai dari kerusakan lingkungan, reklamasi, sampai dampak sosial budaya memerlukan tenaga yang kompeten dan handal.
"Kegiatan pertambangan dimulai dari eksplorasi, kemudian eksploitasi, dan eksplorasi belum tentu ada hasil," kata Prof Sudharto melalui sambungan telepon dengan Liputan6.com, Selasa (28/1/2025).
Berikutnya, Rektor Universitas Diponegoro (Undip) 2010–2015 ini juga menilai perguruan tinggi secara fungsi dan tugasnya adalah menyiapkan lulusan handal dan iptek yang berdaya guna dan berhasil guna. Tugas yang melekat bagi perguruan tinggi adalah menjadi pusat pemikiran.
“Perguruan tinggi harus memberikan pandangan kritis tentang pembangunan termasuk pertambangan. Jadi masalah-masalah kritis pertambangan termasuk hilirisasi yang masih menyisakan banyak masalah lingkungan dan sosial memerlukan pemikiran perguruan tinggi."
“Maka dari itu, perguruan tinggi mempunyai tugas untuk memberikan pemikiran kritis dan masukan dalam bentuk good mining practice dan bagaimana pertambangan bisa memberikan kemanfaatan kepada masyarakat. Kalau perguruan tinggi menjadi pelaku, itu yang repot, akan terjadi konflik peran,” ujar Prof Sudharto Hadi menambahkan.
Catatan Penting Kebijakan
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistra menilai terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memberikan izin kelola tambang pada perguruan tinggi.
"Mengelola tambang menyimpang jauh dari tridarma perguruan tinggi yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan dan pengabdian kepada masyarakat. Artinya sejak berdiri core business kampus bukan mengelola tambang karena sama sekali berbeda dengan tujuannya," ungkap Bhima kepada Liputan6.com, Selasa (28/1/2025).
Ia menyoroti bahwa tidak semua perguruan tinggi memiliki jurusan, di mana hanya 30 termasuk didalamnya sekolah tinggi. Sementara PTN hanya 8 yang punya jurusan teknik pertambangan.
"Kebijakan membungkam suara akademik termasuk dosen dan mahasiswa dalam mengkritisi tata kelola tambang yang merusak lingkungan hidup. Ketika terjadi konflik dengan masyarakat sekitar kampus akan jadi petugas keamanan yang siap membela eksistensi tambang," jelas Bhima.
Selain itu, suatu perguruan tinggi juga memerlukan biaya modal yang sangat besar bahkan untuk skala kecil dengan luas 500 ha, kebutuhan biaya upfront minimal Rp.500 miliar yang meliputi biaya uji kelayakan, biaya eksplorasi, biaya mine development, biaya transportasi, reklamasi lahan paska tambang, pajak dan royalti, serta biaya CSR.
"Kampus itu begitu disuruh buat uji lab dan uji kelayakan sudah jebol keuangannya. Khawatir banyak kampus jadi broker tambang karena secara finansial tidak mampu. Pengelolaan tambangnya diserahkan ke perusahaan lain atau kontraktor dengan bagi hasil yang minim ke kampus," papar Bhima.