Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) lesu pada pembukaan perdagangan Kamis (13/2/2025). Rupiah susut 7 poin atau 0,04 persen menjadi 16.383 per dolar AS dari sebelumnya 16.376 per dolar AS.
Lalu bagaimana prediksi rupiah terhadap dolar AS pada Kamis pekan ini?
Baca Juga
Mengutip Antara, Ekonom Bank Permata Josua Pardede prediksi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS cenderung sideways (dalam rentang sempit). Hal ini seiring investor menanti data ekonomi AS.
Advertisement
“Nilai tukar rupiah cenderung bergerak sideways pada perdagangan Rabu malam, 12 Februari 2025, seiring investor yang masih menunggu rilis data inflasi AS (Amerika Serikat) semalam. Konsensus memperkirakan inflasi inti AS akan melambat, meskipun inflasi umum diperkirakan tetap stabil,” ujarnya kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.
Rilis data inflasi AS pada Januari 2025 mencatatkan inflasi headline bulanan AS naik menjadi 0,5 persen month over month (MoM) dari 0,4 persen MoM, melampaui estimasi 0,3 persen MoM.
Secara tahunan, inflasi headline AS disebut menguat terbatas menjadi 3,0 persen year on year (yoy) dari 2,9 persen yoy. Penyebab utama kenaikan inflasi adalah inflasi inti AS yang melonjak menjadi 3,3 persen yoy dari 3,2 persen yoy.
“Tekanan inflasi yang lebih tinggi mendorong ketidakpastian mengenai prospek inflasi AS pada tahun 2025, sehingga menurunkan kemungkinan penurunan suku bunga Fed yang lebih agresif. Akibatnya, permintaan dolar AS meningkat, mendorong Indeks Dolar AS naik hingga 108,3 pada Selasa, 11 Februari 2025,” kata Josua.
Pengamat: Perang Rusia-Ukraina Berakhir Tak Cukup Perkuat Rupiah
Sebelumnya, pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi menilai berakhirnya perang Rusia-Ukraina tidak akan menjadi pendorong yang kuat bagi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Lantaran, ekonomi global, tak terkecuali Indonesia tengah dihantui dengan dampak pengenaan tarif dagang Amerika Serikat terhadap China. Baru-baru ini, AS mengumumkan pengenaan tarif impor sebesar 25% pada China.
"Saat ini Rupiah condong mengalami perlemahan karena perang dagang,” kata Ibrahim kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (12/2/2025).
Ibrahim melihat, perang dagang AS-China menimbulkan risiko pada pasar tembaga dan aluminium.
"Kita mengetahui bahwa tembaga dan aluminium itu adalah salah satu bahan dasar untuk infrastruktur yang cukup luar biasa. Bahkan negara-negara seperti Eropa,” ujar dia.
Sementara itu, di Asia, perang dagang AS-China juga berisiko memberatkan industri di Jepang hingga Korea Selatan.
"Kenapa? Kalau biaya impornya 25 persen, berarti harga pun juga akan dinaikkan 25 persen,” ucap Ibrahim.
Sedangkan negara-negara yang terdampak perang akan melakukan rekonstruksi. Rekonstruksi ini, adalah rekonsiliasi dengan melakukan pembangunan-pembangunan baik di Gaza, Palestina maupun di Rusia dan Ukraina.
“Rekonstruksi membutuhkan bahan infrastruktur cukup besar. Maka kalau seandainya biaya impor untuk baja dan aluminium ini naik sampai 25 persen, ini akan berdampak negatif terhadap pasar,” imbuh Ibrahim.
Dengan demikian, dolar AS berpotensi terus menguat, sedangkan rupiah ini sedikit tertahan.
"Kalau seandainya hari ini rupiah mengalami penguatan, ini dampak karena taking profit ya, sudah terlalu jenuh..kemudian taking profit dan Rupiah kembali lagi mengalami penguatan,” kata dia.
"Namun, harus diingat juga bahwa tadi malam pun Bank Sentral Amerika Serikat dalam pertemuannya masih akan tetap mempertahankan suku bunga tinggi karena kondisi ekonomi, serta perang dagang membuat inflasi naik,” ia menambahkan.
Advertisement
Rupiah Perkasa terhadap Dolar AS di Tengah Gonjang Ganjing Tarif Dagang AS
Sebelumnya, Rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Rabu, 12 Februari 2025.
Pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi mengungkapkan Rupiah ditutup menguat 7 poin terhadap dolar AS setelah sempat menguat 35 poin di level Rp 16.376 dari penutupan sebelumnya di level Rp 16.327.
“Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang Rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp.16.360 - Rp.16.430,” ungkap Ibrahim dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (12/2/2025).
“Investor masih mencerna pengenaan tarif perdagangan yang lebih tinggi oleh Presiden Donald Trump minggu ini, yang diperkirakan berpotensi mendukung inflasi dan membebani pertumbuhan ekonomi dalam beberapa bulan mendatang,” ia menambahkan.
Presiden AS Donald Trump telah mengisyaratkan niatnya untuk mengenakan lebih banyak tarif.
The Fed Turunkan Ekspektasi Pemangkasan Suku Bunga
Sementara itu, Ketua Federal Reserve Jerome Powell semakin menurunkan ekspektasi untuk penurunan suku bunga. Kepada Komite Perbankan Senat, Powell mengatakan, bank sentral AS tidak terburu-buru untuk memangkas suku bunga, mengingat bahwa Fed telah memangkas suku bunga sebesar 1% pada 2024, dan bahwa ekonomi tetap kuat.
Komentar Powell menggemakan komentar dari pertemuan kebijakan Januari, di mana bank sentral mempertahankan suku bunga tetap dan mengisyaratkan sedikit niat untuk memangkas suku bunga lebih lanjut dalam waktu dekat.
Pada Rabu, 12 Februari 2025, Ketua The Fed akan bersaksi di hadapan Kongres AS, di mana ia kemungkinan akan ditanyai tentang dampak kebijakan Trump terhadap ekonomi dan inflasi.
Beberapa anggota Fed telah memperingatkan tarif Donald Trump dapat mendukung inflasi.
"Sebelum kesaksian Powell, data inflasi indeks harga konsumen untuk bulan Januari juga akan dirilis pada hari Rabu. Analis Goldman Sachs mengatakan mereka memperkirakan CPI inti akan sedikit di atas konsensus, yang menunjukkan bahwa inflasi tetap stabil,” Ibrahim menyoroti.
Advertisement