Meski Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang mengamanahkan perusahaan pertambangan wajib membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) banyak menimbulkan kontra, namun enam perusahaan justru sudah mulai konstruksi smelter. Â
Menteri Perindustrian MS Hidayat memastikan sekitar lima atau enam sudah mulai bergerak membangun smelter di Indonesia, diantaranya adalah Harita Group dan China South.
"China South sudah mulai membangun secara fisik smelter nikel di Sulawesi Tenggara, dan Harita Grup untuk pengolahan bauksit di Kalimantan yang akan ground breaking 17 Juli ini. Hampir semua (perusahaan) dari China," kata dia di Jakarta, seperti ditulis Jumat (12/7/2013).
Hidayat menambahkan, total nilai proyek tersebut bisa mencapai sekitar US$ 5 miliar. Pasalnya untuk membangun smelter membutuhkan investasi minimal US$ 1 miliar.
"Mereka (perusahaan) juga harus membangun power plant, sehingga kami akan mempertimbangkan pemberian insentif tax allowance. Intinya walaupun di luar banyak yang menentang (mendirikan smelter) tapi ada juga yang sudah bekerja," tegasnya.
Menurut UU tersebut, perusahaan tambang wajib membangun smelter dengan batas waktu selambat-lambatnya tahun depan. Hal ini dilatar belakangi kondisi peningkatan ekspor bijih mineral yang selalu meningkat setiap tahun tanpa nilai tambah apapun.
"Prinsipnya perusahaan harus bekerja dulu meski membangun smelter tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Orang yang mendapat konsesi, mengekspor bahan baku lalu di suplai ke industri pemrosesannya," ucap Hidayat.
Khusus untuk PT Freeport Indonesia, dia mengaku, ada studi khusus tembaga yang belum feasible. Pasalnya selain investasi besar, perusahan tersebut juga harus menggunakan teknologi yang belum ada di Indonesia.
"Tapi itu bukan berarti tidak bisa dilakukan. Kalau nanti ada investor lain di luar Freeport bersedia membangun smelter, dia harus mendukung untuk bangun smelter tembaga juga," pungkas Hidayat. (Fik/Ndw)
Menteri Perindustrian MS Hidayat memastikan sekitar lima atau enam sudah mulai bergerak membangun smelter di Indonesia, diantaranya adalah Harita Group dan China South.
"China South sudah mulai membangun secara fisik smelter nikel di Sulawesi Tenggara, dan Harita Grup untuk pengolahan bauksit di Kalimantan yang akan ground breaking 17 Juli ini. Hampir semua (perusahaan) dari China," kata dia di Jakarta, seperti ditulis Jumat (12/7/2013).
Hidayat menambahkan, total nilai proyek tersebut bisa mencapai sekitar US$ 5 miliar. Pasalnya untuk membangun smelter membutuhkan investasi minimal US$ 1 miliar.
"Mereka (perusahaan) juga harus membangun power plant, sehingga kami akan mempertimbangkan pemberian insentif tax allowance. Intinya walaupun di luar banyak yang menentang (mendirikan smelter) tapi ada juga yang sudah bekerja," tegasnya.
Menurut UU tersebut, perusahaan tambang wajib membangun smelter dengan batas waktu selambat-lambatnya tahun depan. Hal ini dilatar belakangi kondisi peningkatan ekspor bijih mineral yang selalu meningkat setiap tahun tanpa nilai tambah apapun.
"Prinsipnya perusahaan harus bekerja dulu meski membangun smelter tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Orang yang mendapat konsesi, mengekspor bahan baku lalu di suplai ke industri pemrosesannya," ucap Hidayat.
Khusus untuk PT Freeport Indonesia, dia mengaku, ada studi khusus tembaga yang belum feasible. Pasalnya selain investasi besar, perusahan tersebut juga harus menggunakan teknologi yang belum ada di Indonesia.
"Tapi itu bukan berarti tidak bisa dilakukan. Kalau nanti ada investor lain di luar Freeport bersedia membangun smelter, dia harus mendukung untuk bangun smelter tembaga juga," pungkas Hidayat. (Fik/Ndw)