Pertemuan APEC pada awal Oktober 2013 dinilai lebih banyak menguntungkan negara-negara maju. Ekonom Rizal Ramli, menuturkan, bagi negara berkembang yang dibutuhkan adalah sistem perdagangan yang adil, bukan sekadar liberalisasi yang menuntut dibukanya perdagangan secara bebas (free trade).
"Pertemuan skala global seperti APEC biasanya lebih banyak menghasilkan kesepakatan menyangkut percepatan liberalisasi ekonomi dan perdagangan dunia berupa dihapuskannya berbagai barrier dalam bentuk tarif dan non tarif. Ketentuan ini lebih banyak menguntungkan negara-negara maju, karena mereka lebih siap untuk memasarkan produk dan jasanya di negara-negara berkembang," ujar Rizal, dalam keterangan yang diterbitkan, Minggu (20/10/2013).
Mayoritas negara berkembang lebih memerlukan sistem perdagangan dan investasi yang adil. Rizal mengatakan, negara berkembang menghendaki adanya liberalisasi bertahap, ada ruang dan waktu untuk meningkatkan produktivitas dan daya saingnya.
"Sayangnya sebagai negara berkembang, pemerintah Indonesia justru lebih banyak menyuarakan kepentingan negara-negara maju. Berbeda dengan Brazil, Argentina, dan India. Mereka gigih memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang. Faktor inilah yang menjelaskan kenapa Indonesia kalah dari Brazil ketika terjadi persaingan pemilihan Sekjen World Trade Organization (WTO) beberapa waktu lalu," tutur Rizal.
Rizal mengatakan, pertemuan APEC pada awal Oktober hanya ajang berkumpulnya negara-negara maju untuk menyusun percepatan liberalisasi pasar bagi para pemegang modal pada krisis ekonomi. Di negara-negara maju, banyak barang yang dihasilkan sudah overproduksi. Namun karena krisis yang menimpa, pasar dalam negeri negara maju mengalami pelemahan daya beli.
APEC dinilai semakin mengukuhkan semangat liberalisasi perdagangan yang dapat mengancam sistem ekonomi kerakyatan seperti yang diamanatkan konstitusi. Hal ini disebabkan komitmen ekonomi yang dihasilkan dalam APEC dimaksudkan untuk memperluas agenda liberalisasi serta mempercepat fasilitasi perdagangan dan investasi. (Ahm)
"Pertemuan skala global seperti APEC biasanya lebih banyak menghasilkan kesepakatan menyangkut percepatan liberalisasi ekonomi dan perdagangan dunia berupa dihapuskannya berbagai barrier dalam bentuk tarif dan non tarif. Ketentuan ini lebih banyak menguntungkan negara-negara maju, karena mereka lebih siap untuk memasarkan produk dan jasanya di negara-negara berkembang," ujar Rizal, dalam keterangan yang diterbitkan, Minggu (20/10/2013).
Mayoritas negara berkembang lebih memerlukan sistem perdagangan dan investasi yang adil. Rizal mengatakan, negara berkembang menghendaki adanya liberalisasi bertahap, ada ruang dan waktu untuk meningkatkan produktivitas dan daya saingnya.
"Sayangnya sebagai negara berkembang, pemerintah Indonesia justru lebih banyak menyuarakan kepentingan negara-negara maju. Berbeda dengan Brazil, Argentina, dan India. Mereka gigih memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang. Faktor inilah yang menjelaskan kenapa Indonesia kalah dari Brazil ketika terjadi persaingan pemilihan Sekjen World Trade Organization (WTO) beberapa waktu lalu," tutur Rizal.
Rizal mengatakan, pertemuan APEC pada awal Oktober hanya ajang berkumpulnya negara-negara maju untuk menyusun percepatan liberalisasi pasar bagi para pemegang modal pada krisis ekonomi. Di negara-negara maju, banyak barang yang dihasilkan sudah overproduksi. Namun karena krisis yang menimpa, pasar dalam negeri negara maju mengalami pelemahan daya beli.
APEC dinilai semakin mengukuhkan semangat liberalisasi perdagangan yang dapat mengancam sistem ekonomi kerakyatan seperti yang diamanatkan konstitusi. Hal ini disebabkan komitmen ekonomi yang dihasilkan dalam APEC dimaksudkan untuk memperluas agenda liberalisasi serta mempercepat fasilitasi perdagangan dan investasi. (Ahm)