Bertenggernya rupiah di atas level 11 ribu per dolar AS menjadi persoalan tersendiri yang harus dipecahkan pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Di pihak lain, solusi kebijakan suku bunga BI rate yang tinggi justru memicu masalah tersendiri bagi debitur maupun pelaku industri perbankan karena harus bayar kredit lebih tinggi.
Sebagai informasi, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) saat ini berada di level 11.561 per dolar AS. Rupah mulai terpuruk ke level di atas 10 ribu per dolar AS terhitung sejak 15 Juli 2013 ketika menyentuh 10.024 per dolar AS.
Sementara itu, BI rate kini sudah 175 basis point (BPS) lebih tinggi dari posisi awal Mei di level 5,75%. Suku bunga acuan yang digunakan bank dalam menentuk bunga kredit kini berada di level 7,5%, atau sama dengan posisi empat tahun yang lalu.
Mana yang lebih mengancam ekonomi, rupiah melemah atau suku bunga naik?
Kepala Ekonom Standard Chartered Indonesia, Fauzi Ichsan dalam perbincangan dengan Liputan6.com menilai perdebatan antara rupiah dan Bi rate adalah soal pilihan. "Mau rupiah terpuruk atau suku bunga naik? pada akhirnya memang harus memilih," katanya.
Fauzi menjelaskan, baik pelemahan rupiah maupun kenaikan BI rata sama-sama berdampak negatif bagi publik maupun ekonomi nasional.
Pelemahan rupiah diakui bakal berdampak negatif pada masyarakat dengan meningkatnya harga barang. Hal ini bisa dimaklumi mengingat masih banyak bahan kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi dari impor.
Menguatnya dolar terhadap mata uang asing secara otomatis mengangkat nilai jual produk pangan dunia. Hampir semua bahan pangan impor yang diperlukan Indonesia mulai dari beras, cabai, hingga sayur mayur umumnya telah menggunakan patokan harga dolar AS.
Tak hanya harga barang, pelemahan rupiah juga memicu berkurangnya minat investasi pemodal lokal dan asing. Asing umumnya akan berpikir keras sebelumnya menanamkan uangnya di sejumlah produk investasi pasar modal maupun pasar keuangan.
Sementara keputusan menaikkan suku bunga acuan, diakui Fauzi memang bakal memberatkan publik. Tapi tidak separah pelemahan rupiah. Beberapa pihak saja yang terkena dampak kenaikan suku bunga seperti perbankan, properti, leasing dan para nasabah bank.
Menurut Fauzi, instrumen BI rate memang menjadi salah satu senjata bagi bank sentral untuk meredam pelemahan nilai tukar rupiah. Hal ini dikarenakan, Indonesia tak bisa mengandalkan pemasukan dari ekspor yang tengah mengalami penurunan harga komoditas cukup tajam.
"Kalau tak bisa meningkatkan ekspor, pertumbuhan ekonomi harus direm, impor harus direm," jelasnya.
Dengan kondisi tersebut, mau tidak mau pemerintah dan BI hanya bisa menyehatkan neraca transaksi berjalan lewat masuknya dana asing. Kenaikan BI rate diharapkan bisa menjadi pemikat bagi pemodal asing untuk menyimpan dananya di tanah air.
"Mau rupiah terpuruk atau suku bunga naik? Pilihan yang lebih bisa diterima adalah suku bunga naik," tegas Fauzi.
Pelemahan rupiah yang makin dalam justri dikhawatirkan akan kembali menghadapkan Indonesia pada krisis ekonomi jilid II. "Ingat, krisis 1997/1998 terjadi karena rupiah anjlok," ujarnya. (Shd/Igw)
Sebagai informasi, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) saat ini berada di level 11.561 per dolar AS. Rupah mulai terpuruk ke level di atas 10 ribu per dolar AS terhitung sejak 15 Juli 2013 ketika menyentuh 10.024 per dolar AS.
Sementara itu, BI rate kini sudah 175 basis point (BPS) lebih tinggi dari posisi awal Mei di level 5,75%. Suku bunga acuan yang digunakan bank dalam menentuk bunga kredit kini berada di level 7,5%, atau sama dengan posisi empat tahun yang lalu.
Mana yang lebih mengancam ekonomi, rupiah melemah atau suku bunga naik?
Kepala Ekonom Standard Chartered Indonesia, Fauzi Ichsan dalam perbincangan dengan Liputan6.com menilai perdebatan antara rupiah dan Bi rate adalah soal pilihan. "Mau rupiah terpuruk atau suku bunga naik? pada akhirnya memang harus memilih," katanya.
Fauzi menjelaskan, baik pelemahan rupiah maupun kenaikan BI rata sama-sama berdampak negatif bagi publik maupun ekonomi nasional.
Pelemahan rupiah diakui bakal berdampak negatif pada masyarakat dengan meningkatnya harga barang. Hal ini bisa dimaklumi mengingat masih banyak bahan kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi dari impor.
Menguatnya dolar terhadap mata uang asing secara otomatis mengangkat nilai jual produk pangan dunia. Hampir semua bahan pangan impor yang diperlukan Indonesia mulai dari beras, cabai, hingga sayur mayur umumnya telah menggunakan patokan harga dolar AS.
Tak hanya harga barang, pelemahan rupiah juga memicu berkurangnya minat investasi pemodal lokal dan asing. Asing umumnya akan berpikir keras sebelumnya menanamkan uangnya di sejumlah produk investasi pasar modal maupun pasar keuangan.
Sementara keputusan menaikkan suku bunga acuan, diakui Fauzi memang bakal memberatkan publik. Tapi tidak separah pelemahan rupiah. Beberapa pihak saja yang terkena dampak kenaikan suku bunga seperti perbankan, properti, leasing dan para nasabah bank.
Menurut Fauzi, instrumen BI rate memang menjadi salah satu senjata bagi bank sentral untuk meredam pelemahan nilai tukar rupiah. Hal ini dikarenakan, Indonesia tak bisa mengandalkan pemasukan dari ekspor yang tengah mengalami penurunan harga komoditas cukup tajam.
"Kalau tak bisa meningkatkan ekspor, pertumbuhan ekonomi harus direm, impor harus direm," jelasnya.
Dengan kondisi tersebut, mau tidak mau pemerintah dan BI hanya bisa menyehatkan neraca transaksi berjalan lewat masuknya dana asing. Kenaikan BI rate diharapkan bisa menjadi pemikat bagi pemodal asing untuk menyimpan dananya di tanah air.
"Mau rupiah terpuruk atau suku bunga naik? Pilihan yang lebih bisa diterima adalah suku bunga naik," tegas Fauzi.
Pelemahan rupiah yang makin dalam justri dikhawatirkan akan kembali menghadapkan Indonesia pada krisis ekonomi jilid II. "Ingat, krisis 1997/1998 terjadi karena rupiah anjlok," ujarnya. (Shd/Igw)