Penentapan tarif listrik tidak tetap pada empat golongan pelanggan yang sudah disepakati pemerintah dan Komisi VII DPR dinilai menyalahkan Undang-Undang.
Pengamat listrik dari Universitas Indonesia Iwa Garniwa mengatakan, kebijakan menaikkan atau menurunkan tarif listrik yang dilakukan pemerintah harus berdasarkan persetujuan DPR.
"Kapan naik-turun itu diperbincangkan, karena naik turun itu harus atas persetujuan DPR," kata Iwa saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Selasa (28/1/2014).
Menurut dia, sudah diamanatkan dalam Undang-Undang, namun jika tarif listrik ditetapkan tidak tetap atau berubah setiap bulan maka harus ada pembicaraan dengan DPR.
"Kepada Undang-Undang ketenagalistrikan bahwa Undang-Undang itu berdasarkan Peraturan Pemerintah apabila disetujui DPR," tutur dia.
Dengan perubahan tarif yang tidak dilaporkan DPR tersebut, maka pemerintah telah menyalahi UU yang telah ditetapkan.
"Jadi hanya kata-kata aja, berarti di situ harus ada tabel tarif dasar listrik di tanda tangan pemerintah. Jadi menurut saya dia menyalahi UU kalau begitu mekanismenya," tegas dia.
Pemerintah dan Komisi VII DPR sepakat menggunakan mekanisme tarif listrik tidak tetap untuk empat golongan pelanggan yang sudah dicabut subsidinya tahun lalu. Nantinya tarif keempat golongan ini akan berubah setiap bulannya.
Keempat golongan pelanggan tersebut adalah rumah tangga besar (R3) dengan daya 6.600 VA ke atas, bisnis menengah (B2) dengan daya 6.600 sampai 200 kVA, bisnis besar (B3) dengan daya di atas 200 kVA, dan kantor pemerintah sedang (P1) dengan daya 6.600 hingga 200 kVA.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman mengatakan, tarif listrik keempat golongan tersebut menggunakan skema penyesuaian secara otomatis (automatic tariff adjustment) mulai Mei 2014.
"Untuk periode adjustment listrik bagi empat golongan yang sudah tidak disubsidi akan di lakukan setiap bulan," kata Jarman. (Pew/Nrm)