Liputan6.com, Jakarta - Luar biasa lega. Setelah 120 menit disuguhi tontonan mendebarkan dari Stadion My Dinh, Hanoi, Vietnam, ada kelegaan teramat sangat begitu wasit asal Tiongkok, Fu Ming, meniup peluit panjang yang menyudahi pertandingan Vietnam vs Timnas Indonesia pada Rabu (7/12/2016) itu. Semua kegusaran, kegelisahan, dan ketegangan terlepaskan. Sebabnya, Indonesia lolos ke final Piala AFF berkat hasil imbang 2-2 pada laga yang harus diselesaikan lewat perpanjangan waktu tersebut.
Baca Juga
Sebenarnya penampilan Boaz Solossa dkk. malam itu tidaklah bagus. Sepanjang pertandingan, tuan rumah lebih sering menekan dan mengancam gawang Kurnia Meiga. Statistik pertandingan menunjukkan dominasi Le Cong Vinh cs. hampir di semua hal. Timnas Indonesia hanya unggul dalam jumlah penyelamatan oleh kiper, pelanggaran, dan kartu kuning.
Berbekal kemenangan 2-1 di Stadion Pakansari, Bogor, lima hari sebelumnya, sangat masuk akal ketika pelatih Alfred Riedl memasang dua jangkar, Bayu Pradana dan Manahati Lestusen, dalam laga di My Dinh. Secara nyata, ini menunjukkan bahwa misi Indonesia di My Dinh adalah mempertahankan keunggulan. Caranya dengan bermain lebih defensif.
Tambahan satu gelandang bertahan bisa diartikan bahwa Indonesia siap mematahkan alur serangan Vietnam dari lini tengah. Cong Vinh dkk. tak akan dibiarkan mendekati kotak penalti. Namun, di lapangan, dengan strategi defensif itu, Timnas Indonesia seperti menginginkan digempur habis-habisan.
Vietnam tak segan menerima "undangan" itu. Sembilan belas tembakan dilepaskan anak-anak asuh Nguyen Huu Thang. Sembilan di antaranya meluncur ke gawang Kurnia Meiga. Saking derasnya serangan lawan sampai-sampai muncul istilah "digempur tujuh hari tujuh malam".
Inilah yang menimbulkan ketegangan dan menumbuhkan kecemasan. Bagaimanapun, sangat sulit bertahan total selama 90 menit dari gempuran yang tiada henti. Mustahil bermain sempurna, tanpa error, sepanjang pertandingan. Gelombang serangan lawan pada akhirnya pasti berbuah gol karena bertahan total justru sangat menguras fisik dan mental.
Hal yang sangat menjengkelkan, Indonesia seperti bermain dengan prinsip "asal buang". Bukan hanya saat menghalau serangan lawan, setiap mendapatkan bola pun para pemain Tim Garuda pasti langsung membuangnya jauh ke depan tanpa jelas arah dan rekan yang dituju. Ini secara otomatis membuat Vietnam bisa segera kembali menyerang.
Bahkan ketika sudah unggul 1-0 dengan sisa laga hanya sepuluh menit, pasukan Riedl tetap menjalankan taktik asal buang itu. Padahal, bertahan juga bisa dilakukan dengan penguasaan bola. "Bila kita menguasai bola, lawan tak akan bisa menyerang," kata Johan Cruyff, maestro sepak bola asal Belanda. Entah karena tak bisa atau tak biasa, Indonesia tak melakukan hal itu. Akibatnya, Vietnam mampu membalikkan keadaan dan memaksakan perpanjangan waktu lewat gol pada injury time.
Advertisement
Menjadi Pragmatis
Bagi penikmat sepak bola, apalagi pencinta sepak bola indah, penampilan Indonesia di My Dinh sangatlah mengecewakan dan sepatutnya dihujat habis-habisan. Bertahan total dan asal buang saat mendapatkan bola adalah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip keindahan dalam sepak bola.
Akan tetapi, usai laga, tak ada sumpah serapah. Hanya ucapan syukur yang tercurah. Setidaknya, begitulah reaksi umum orang-orang Indonesia di media sosial. Itu tak terlepas dari dua faktor. Pertama, subjektivitas. Seperti kata komodor laut AS abad ke-19, Stephen Decatur, saat berhadapan dengan negara lain, negara sendiri selalu ada di posisi yang benar.
Hal itu kiranya berlaku pula pada hal-hal yang disukai, dicintai, dikagumi. Cinta itu buta, kekaguman juga membutakan. Kita cenderung menganggap benar apa pun yang dilakukan pihak yang kita sukai, cintai, atau kagumi. Kita bahkan siap melawan arus demi membelanya habis-habisan.
Bahkan para pakar sepak bola negeri ini pun tak serta-merta mengkritik pedas permainan Boaz dkk. Mereka tahu persis Vietnam bermain lebih baik dan Indonesia tampil buruk. Tapi, rasa kebangsaan mencegah mereka berkomentar miring. Bagaimanapun, armada Riedl sudah berjuang mati-matian.
Kedua, Indonesia lolos ke final. Andai saja laga di My Dinh itu berakhir dengan kekalahan dan Indonesia tersingkir, hujatan pasti berhamburan ke arah Riedl. Di media sosial, pelatih gaek asal Austria itu pasti "digoblok-goblokin" oleh mereka yang merasa kecewa dan tak bisa menerima kekalahan begitu saja. Bukankah sudah jamak bagi kita mencari-cari kambing hitam dari sebuah kegagalan?
Semua orang tiba-tiba saja sepakat bahwa, pada akhirnya, hal terpenting adalah kemenangan dan statistik terpenting adalah gol. Tak masalah gol-gol yang tercipta sangat beraroma keberuntungan. Tiba-tiba saja, segenap pencinta sepak bola negeri ini seperti berbaris di mazhab yang sama, pragmatisme.
Seorang pencinta sepak bola indah yang begitu suka berbicara taktik pun tak sungkan menulis "good game" di akun Twitter-nya. Tentu bagus dalam hasil karena dia pun menulis, game dimenangi dengan gol lebih banyak dari lawan.
Advertisement
Kekuatan Kebersamaan
Saat ini, memang tak ada gunanya mengkritisi Riedl dan Boaz cs. habis-habisan. Garuda sedang terbang tinggi, menuju puncak prestasi. Menghujatnya, mengkritiknya habis-habisan, sama saja dengan menembaknya jatuh ke bumi.
Saat ini, meski tak perlu berlebihan yang justru bisa jadi beban, hanya dukungan yang perlu diberikan. Siapa tahu, ada mukjizat yang dibawa Dewi Fortuna dalam final nanti. Lagi pula, Riedl sudah menegaskan tak ambil pusing dengan segala komentar miring dan kritik publik yang hanya akan mengganggu konsentrasinya.
Memang betul, sedari awal, Indonesia tak tampil rancak nan ciamik, tak memanjakan kita dengan sepak bola menawan, tak digdaya dari laga ke laga. Tapi, Boaz cs. telah menunaikan harapan lain. Harapan yang diulas dalam tulisan di kolom ini tiga pekan silam. Mereka telah menjadi teladan bagi kita dalam hal kebersamaan, perjuangan, dan kebangsaan.
Di tengah kekhawatiran banyak pihak, termasuk penguasa negeri ini, terhadap bahaya perpecahan bangsa, timnas Indonesia adalah penyejuk. Dalam balutan kostum yang sama, perbedaan warna kulit, suku bangsa, pandangan politik, dan keyakinan tak menjadi sekat.
Di My Dinh, Stefano Lilipaly dan Manahati Lestusen melakukan selebrasi yang kental nuansa keyakinan masing-masing. Lilipaly, bersama kapten Boaz, mengarahkan dua telunjuk ke langit. Sementara itu, Manahati bersama beberapa pemain lain melakukan sujud syukur. Meski begitu, kegembiraan tetaplah menjadi milik segenap penggawa tim. Cara selebrasi tak lantas memecah belah. Semua gembira, semua berpelukan. Perbedaan itu ada, tapi tak perlu dipertajam dan dipertentangkan.
Simpul yang mengikat mereka adalah kesamaan-kesamaan yang ada. Mereka sama-sama membela nama Indonesia, memakai kostum dengan Garuda Pancasila di dada, memiliki tekad yang sama, punya mimpi dan tujuan yang sama, serta menghadapi musuh yang sama pula. Seperti kata pepatah, hal yang menyatukan sejumlah orang atau sebuah bangsa hanya ada dua. Pertama, kesamaan tujuan. Kedua, musuh yang sama.
Boaz dkk. telah membuktikan bahwa dalam keberagaman yang begitu kompleks, kita masih bisa merajut kebersamaan. Mereka juga menunjukkan bahwa kebersamaan adalah kekuatan mahadahsyat. Berbekal kebersamaan, mereka mampu melakukan hal yang sebelumnya dianggap mustahil.
Saat Piala AFF 2016 dimulai, boleh jadi tak ada yang memprediksi Indonesia akan melaju ke final. Usai laga semifinal kedua di Hanoi itu, bahkan ada yang mengatakan, lolos dari grup adalah bonus, lolos ke final adalah keajaiban, kalau juara, itu adalah mukjizat.
Apa pun namanya, istilahnya, sebutannya, langkah ke final tidak dilakukan dengan lenggang kangkung. Ada kerja keras, perjuangan melelahkan, dan pengorbanan besar yang dilakukan Boaz cs. Apa pun hasilnya di final nanti, apresiasi terhadap hal itulah yang perlu digaungkan. Tak usah terlontar kata-kata yang menyakitkan. Kalah atau menang, gagal atau sukses, mereka adalah kita: INDONESIA!
*Penulis adalah komentator dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.