Liputan6.com, Jakarta Situasi di Rakhine State di Myanmar makin memburuk. Sekitar seperempat juta etnis Rohingya terancam kelaparan. Sejumlah politikus di Indonesia memanfaatkan isu krisis kemanusiaan tersebut untuk menyerang pemerintah dan Presiden Joko Widodo.
Di tengah krisis kemanusiaan di Myanmar, sejumlah tokoh oposisi mengkritik respons Jokowi dan pemerintah atas tragedi Rohingya. Misalnya, pada Minggu, 3 September 2017, Hidayat Nur Wahid menyebut kepala negara kalah tegas daripada saat menanggapi serangan teror di Paris dan London.
Lewat akun Twitternya pada 3 September 2017, politikus Gerindra Fadli Zon juga melontarkan kritikan. Tweet-nya antara lain menyatakan, "Rezim ini kelihatan tak mendukung masyarakat #rohingya yg jadi korban pengusiran n pembantaian..."
Advertisement
Fakta?
Namun, menurut Anggota Komisi Luar Negeri DPR dari PDIP, Andreas Hugo Pareira, "Pemerintah sudah melakukan langkah-langkah yang tepat."
Terkait kritik Fadli Zon dan para politikus lain, Andreas mengatakan, "Saya kira kritik ini tidak beralasan. Hanya sekadar mau beda. Karena realitanya pemerintahan Jokowi sangat responsif terhadap kasus Rohingya."
Ia mencontohkan, melalui jalan diplomasi, pemerintahan Jokowi mengirim Menteri Luar Negeri Retno Marsudi ke Myanmar untuk membicarakan kasus tersebut dengan para pemimpin negara tersebut untuk mencari solusi. "Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar dengan keberagaman agama dan budaya dengan pengalaman resolusi konflik horizontal, Menlu bisa berbagi pengalaman dengan pemimpin-pemimpin Myanmar," kata Andreas.
Selain jalur diplomasi, pemerintah dan masyarakat Indonesia juga secara cepat memberikan respons melalui bantuan kemanusiaan terhadap para pengungsi Rohingnya.
Presiden Jokowi memang baru mengeluarkan pernyataan persnya--bahwa perlu tindakan nyata untuk mengatasi krisis kemanusiaan yang dialami Muslim Rohingya, bukan hanya sekedar kecaman--pada Minggu malam 3 September 2017.
Namun, jauh sebelum pernyataan itu, Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah mengambil beberapa langkah. Pertama,  pada 29 Agustus 2017, di Kompleks Istana Negara, Menlu Retno menyampaikan komitmennya membantu penyelesaikan konflik di Myanmar. Menlu juga telah menghubungi Dubes RI di Yangoon dan terus berusaha menjalin komunikasi dengan Menlu Bangladesh, meminta negara itu membuka perbatasannya bagi pengungsi Rohingya,Â
Kedua, pada 30 Agustus 2017, Presiden Jokowi juga menyetujui langkah untuk terus menjaga kedekatan dengan Pemerintah Myanmar. Strategi itu penting agar Indonesia dapat didengar dan mengambil langkah guna mengatasi konflik yang menimpa warga Rohingya. Menlu RI pun menyatakan akan segera terbang ke Myanmar.Â
Ketiga, Menlu RI menjalin komunikasi dengan sejumlah pihak, termasuk Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres. Pembicaraan selama 16 menit itu dilakukan pada Jumat, 1 September 2017. Gutteres kala itu meminta Indonesia terus menjalankan perannya sebagai juru damai. "Sekjen PBB mengapresiasi peran Indonesia dan mengharapkan Indonesia lanjutkan perannya dalam membantu penyelesaian krisis kemanusiaan di Rakhine State," kata Menlu Retno.
Keempat, Komunikasi juga dilakukan dengan Menteri Luar Negeri Belanda, Bert Koenders pada 2 September 2017. Dari percakapan tersebut, Eropa menunjukkan dukungannya atas apa yang dilakukan Indonesia
Indonesia juga sudah mengirim berbagai bentuk bantuan kepada warga Rohingya di Rakhine State, Myanmar.
Bantuan tidak hanya sebatas makanan, obat-obatan, pakaian, dan sejenisnya. Indonesia bahkan sudah membangun enam sekolah di sana. Saat ini, Indonesia tengah berupaya membangun rumah sakit di Rakhine State.Â
Â
Aksi terbaru pemerintah Indonesia pada Senin petang, 4 September 2017. Menlu Retno, menemui dan bicara langsung dengan Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi. Dalam pertemuan tersebut, Indonesia menawarkan formula 4+1, termasuk poin untuk menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan dan perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine State, tanpa memandang suku dan agama. Menlu juga minta, akses bantuan kemanusiaan dibuka.
Saat bertemu Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Senior Ming Aung Hlaing, Menlu Retno menekankan bahwa Indonesia dan dunia sangat mengkhawatirkan perkembangan situasi di Rakhine State. "Otoritas keamanan Myanmar perlu segera menghentikan segala bentuk kekerasan yang terjadi di Rakhine State dan memberi perlindungan kepada seluruh masyarakat termasuk masyarakat Muslim," tegas dia.
Menlu Retno adalah pejabat asing pertama yang bertemu dengan Pemerintahan Naypyidaw pasca--konflik yang bermula dari serangan militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) terhadap aparat keamanan Myanmar pada 25 Agustus 2017, yang berbuntut persekusi pada warga Rohingya.
Sepak terjang Indonesia mengatasi konflik di Myanmar menjadi sorotan dunia diberitakan media asing dari penjuru benua, hasilnya dipantau banyak organisasi internasional. Apalagi, Myanmar hanya mau mendengar dan menerima Indonesia. Dari Channel News Asia, media Singapura itu menuliskan artikel berjudul "Indonesian foreign minister Retno Marsudi to meet Aung San Suu Kyi in Myanmar".
"Menlu Retno ke Myanmar untuk bertemu dengan State Counselor and Foreign Minister Aung San Suu Kyi pada hari Senin," tulis media itu pada Senin (4/9/2017). Media dari Singapura lainnya, The Straits Times, mengangkatnya dengan "Indonesia minister to urge Myanmar to end Rohingya plight". Dari Inggris, Reuters, sebuah artikel diberi tajuk "Indonesian envoy to urge Myanmar to halt violence against Rohingya Muslims". "
Pakar Hukum Internasional, Profesor Melda Kamil Ariadno mengatakan, apa yang dilakukan Pemerintah Indonesia bisa dikatakan sebagai bentuk mediasi yang lembut (soft mediation), untuk mendesak Pemerintah Myanmar agar menghentikan diskriminasi pada etnis Rohingya. "Apa yang terjadi di sana bisa dikategorikan sebagai gross violation of human rights, meski begitu belum tepat kalau disebut sebagai genosida, karena tidak terjadi pada satu etnis saja."
Menurut dia, ada etnis lain di Rakhine yang juga terdampak konflik. Imelda juga mengatakan, ada alasan mengapa Myanmar hanya menerima Indonesia. Sebab, ada sejarah bilateral yang positif. Misalnya, saat krisis, Indonesia terus mendukung Aung San Suu Kyi. Indonesia juga bisa representasi ASEAN, karena RI adalah salah satu pendiri organisasi negara-negara Asia Tenggara itu. "Indonesia adalah driving force. Kita jadi penggerak."
Kesimpulan: TIDAK BENAR