Pemerintah RI dan WHO Sepakati Larangan Pengobatan Alternatif? Hoaks atau Fakta

Beredar klaim pandemy Treaty yang di tandatangani oleh pejabat Indonesia berujung pada pelarangan pengobatan alternatif, lalu bagaimana fakta sebenarnya? Simak artikel berikut ini.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 06 Jun 2024, 21:00 WIB
Diterbitkan 06 Jun 2024, 21:00 WIB
Ilustrasi hoaks
Ilustrasi hoaks

Liputan6.com, Jakarta- Kementerian Kesehatan membatahan informasi Pandemic Treaty/Pandemic Agreement melarang pengobatan alternatif, informasi tersebut pun beredar di tengah masyarakat lewat media sosial.

Informasi yang beredar menyebutkan WHO Pandemy Treaty yang di tandatangani oleh pejabat Indonesia berujung pada pelarangan pengobatan herbal, bekam, pijat, pengobatan alami dan dianggap melanggar hukum di penjara atau denda Rp 500 juta.

Kementerian Kesehatan menyatakan informasi tersebut tidak benar, Perjanjian Pandemi Treaty disusun untuk mencegah pandemi yang berpotensi terjadi di masa depan.

"Dalam perjanjian tersebut, tidak ada sama sekali pembahasan tentang pelarangan maupun penerapan denda pada pengobatan alternatif," jelas Kemenkes dikutip dari unggahan akun Instagram resmi Kemenkes, Kamis (6/6/2024).

Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. M Syahril mengungkapkan Pandemic Treaty diharapkan dapat mendorong negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mendapatkan akses terhadap vaksin, obat, dan alat diagnostik (VTD) yang setara dengan negara maju.

“Proses negosiasi sudah berlangsung sejak Desember 2021, tetapi karena belum mencapai kesepakatan, sidang World Health Assembly ke-77 memutuskan untuk memperpanjang negosiasi hingga sidang WHA berikutnya,” kata Syahril, dikutip dari situs resmi Kementerian Kesehatan.

Dalam proses negosiasi tersebut, Indonesia berpartisipasi secara aktif dalam perundingan Pandemic Treaty pada Intergovernmental Negotiating Body (INB) dan memperjuangkan kepentingan nasional, terutama untuk isu-isu strategis seperti sistem surveilans, transfer teknologi, dan kesetaraan akses dalam menghadapi pandemi.

Negosiasi yang sangat alot telah dilakukan lebih dari 10 kali hingga batas waktu pada tanggal 24 Mei 2024. Namun, masih ada beberapa pasal yang belum disepakati, terutama mengenai Pathogen Access and Benefit Sharing (PABS), pencegahan dan instrumen One Health, transfer teknologi dan ilmu pengetahuan, no-fault compensation, dan pendanaan.

“Pemerintah Indonesia akan tetap memperjuangkan prinsip kesetaraan antara negara maju dan negara berkembang agar dapat masuk dalam Pandemic Treaty,” lanjut Syahril.

Secara spesifik, ada empat poin yang menjadi perhatian Pemerintah Indonesia dalam komponen Pandemic Treaty, yakni Pathogen Access and Benefit-Sharing (PABS), instrumen One Health, transfer teknologi, dan pendanaan. Empat poin ini terkait dengan kesenjangan antara negara maju dan berkembang.

Mengenai PABS, yang menunjukkan kesiapsiagaan dan respons terhadap pandemi, Pemerintah Indonesia mendorong agar setiap data sharing, khususnya yang melibatkan patogen dan informasi sekuens genetik (genetic sequence information), disertai pembagian manfaat (benefit-sharing) yang setimpal.

Selain itu, pemerintah juga mendorong adanya upaya untuk memastikan adanya pengaturan internasional mengenai standar data dan interoperabilitas, di mana Indonesia telah menginisiasi Material Transfer Agreement (MTA) untuk spesimen virus avian influenza (flu burung).

Selanjutnya, Pemerintah Indonesia mendorong pembentukan instrumen One Health untuk mengatur kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan secara komprehensif yang dapat dilaksanakan negara berkembang dengan dukungan negara maju.

Kemudian, Pemerintah Indonesia mendorong transfer teknologi yang berkeadilan untuk kebutuhan kesehatan masyarakat. Transfer teknologi ini dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia dan negara berkembang untuk menjadi hub dalam membangun kapasitas manufaktur lokal guna menciptakan kemandirian dalam produksi vaksin, terapi, dan diagnostik (VTD).

Mengenai perizinan, Indonesia mendorong perizinan yang bersifat transparan dan non-eksklusif, khususnya saat pandemi. Selain itu, Indonesia mendorong upaya untuk memastikan agar teknologi dan inovasi dapat diakses oleh negara yang membutuhkan, termasuk negara berkembang.

Mengenai pendanaan, Pemerintah Indonesia mendukung pentingnya pendanaan yang setara dan dapat diakses oleh seluruh negara yang membutuhkan, termasuk negara berkembang, untuk implementasi Pandemic Treaty. Pendanaan ini dapat dilakukan melalui mekanisme pembiayaan yang telah ada seperti Pandemic Fund dengan sedikit penyesuaian sesuai dengan konteks Pandemic Treaty.

Indonesia akan mengupayakan agar negosiasi Pandemic Treaty selesai secepatnya. Indonesia juga akan terus memperjuangkan kesetaraan akses untuk mendorong transfer pengetahuan dan teknologi antar negara sehingga dapat membangun kapasitas industri farmasi dengan prinsip dasar yang menjamin kesetaraan (equity) antara negara maju dan berkembang.

“Pada saat bersamaan, Pemerintah RI akan terus memperkuat legislasi di tingkat nasional agar siap menghadapi ancaman pandemi lainnya,” kata Syahril.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Apa saja poin pemerintah dalam Pandemic Treaty?

Secara spesifik, ada empat poin yang menjadi perhatian Pemerintah Indonesia dalam komponen Pandemic Treaty, yakni Pathogen Access and Benefit-Sharing (PABS), instrumen One Health, transfer teknologi, dan pendanaan. Empat poin ini terkait dengan kesenjangan antara negara maju dan berkembang.

Mengenai PABS, yang menunjukkan kesiapsiagaan dan respons terhadap pandemi, Pemerintah Indonesia mendorong agar setiap data sharing, khususnya yang melibatkan patogen dan informasi sekuens genetik (genetic sequence information), disertai pembagian manfaat (benefit-sharing) yang setimpal.

Selain itu, pemerintah juga mendorong adanya upaya untuk memastikan adanya pengaturan internasional mengenai standar data dan interoperabilitas, di mana Indonesia telah menginisiasi Material Transfer Agreement (MTA) untuk spesimen virus avian influenza (flu burung).

Selanjutnya, Pemerintah Indonesia mendorong pembentukan instrumen One Health untuk mengatur kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan secara komprehensif yang dapat dilaksanakan negara berkembang dengan dukungan negara maju.

Kemudian, Pemerintah Indonesia mendorong transfer teknologi yang berkeadilan untuk kebutuhan kesehatan masyarakat. Transfer teknologi ini dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia dan negara berkembang untuk menjadi hub dalam membangun kapasitas manufaktur lokal guna menciptakan kemandirian dalam produksi vaksin, terapi, dan diagnostik (VTD).

Mengenai perizinan, Indonesia mendorong perizinan yang bersifat transparan dan non-eksklusif, khususnya saat pandemi. Selain itu, Indonesia mendorong upaya untuk memastikan agar teknologi dan inovasi dapat diakses oleh negara yang membutuhkan, termasuk negara berkembang.

Mengenai pendanaan, Pemerintah Indonesia mendukung pentingnya pendanaan yang setara dan dapat diakses oleh seluruh negara yang membutuhkan, termasuk negara berkembang, untuk implementasi Pandemic Treaty. Pendanaan ini dapat dilakukan melalui mekanisme pembiayaan yang telah ada seperti Pandemic Fund dengan sedikit penyesuaian sesuai dengan konteks Pandemic Treaty.

Indonesia akan mengupayakan agar negosiasi Pandemic Treaty selesai secepatnya. Indonesia juga akan terus memperjuangkan kesetaraan akses untuk mendorong transfer pengetahuan dan teknologi antar negara sehingga dapat membangun kapasitas industri farmasi dengan prinsip dasar yang menjamin kesetaraan (equity) antara negara maju dan berkembang.

“Pada saat bersamaan, Pemerintah RI akan terus memperkuat legislasi di tingkat nasional agar siap menghadapi ancaman pandemi lainnya,” kata Syahril.


Apa Peran WHO saat Pandemi Covid-19?

Syahril menjelaskan kesalahpahaman tentang peran WHO yang beredar selama pandemi Covid-19, yakni WHO memiliki kewenangan untuk mengatur negara dan penduduk di dunia selama pandemi.

Dia menegaskan, anggapan tersebut tidak benar. WHO tidak memiliki wewenang untuk mendikte negara atau penduduk. WHO tidak dapat mengendalikan pergerakan penduduk melalui paspor digital, pemaksaan vaksinasi, dan lockdown, dan pengerahan militer.

Menurut Syahril, kedaulatan negara tetap dihormati dan dijunjung tinggi. Keputusan terkait penanganan pandemi di setiap negara menjadi tanggung jawab pemerintah negara masing-masing.

“Cukup sudah jutaan nyawa melayang, kehilangan pekerjaan, penyandang gangguan mental, kerugian ekonomi yang masif selama pandemi Covid-19. Jangan kita ulangi kesalahan yang sama. Kita harus mewariskan dunia yang lebih aman dan lebih baik bagi anak cucu kita,” tutup Syahril.


Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.

Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi partner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun , tak akan mempengaruhi independensi kami.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya