Citizen6, Jakarta Memainkan piano klasik bukanlah perkara mudah. Apalagi jika mesti memainkan satu piano bersama dua orang. Tentu kesulitannya pun berlipat ganda pula.
Layaknya pas de deux dalam balet yang dimainkan dua orang, bermain piano empat tangan pun butuh kepercayaan yang besar antara dua orang pemain. Keselarasan serta pengertian di antara dua orang pemainlah yang menjadi kunci suksesnya permainan piano empat tangan.
Pasangan suami-istri Patrick Zygmanowski dan Tamayo Ikeda, atau yang biasa populer dengan sebutan Duo Ykeda, mempertunjukkan kebolehan mereka dalam memainkan piano empat tangan semalam di Auditorium Institut Francais Indonesia. Patrick sendiri merupakan pengajar di Ecole Normale de Musique di Paris, serta guru tetap di Osaka Collage of Music.
Advertisement
Sedangkan istrinya, Ikeda, lebih dikenal di tanah kelahirannya Jepang. Mereka berdua telah begitu sering tampil, baik sebagai solois maupun dalam konser, di seluruh dunia. Tak heran, kemampuan mereka tak bisa diragukan lagi.
Auditorium yang biasanya lapang, terasa sesak oleh penonton. Bahkan banyak dari mereka yang rela berdiri untuk menyaksikan pertunjukan yang langka tersebut. Di paruh pertama, Duo Ykeda memainkan karya salah satu komposer terkenal Johannes Brahms, Hungarian Dances.
Komposisi yang sedari awal memang ditulis untuk piano empat tangan oleh Brahms, dilahap oleh Duo Ykeda. Jemari mereka menari di atas tuts piano. Meski terkadang tangan mereka mesti bersilangan, tak sedikit pun nada sumbang ataupun kesalahan nada terdengar dari permainan mereka. Pemanasan mereka dilanjutkan dengan memainkan Rhapsodie in Blue karya Georges Gershwin. Seperti sebelumnya, pada permainan yang ini pun Duo Ykeda meraih banyak tepukan penonton.
Â
Yang membuat seru justru pada repertoar andalan mereka untuk malam itu, Sacre du Printemps alias The Rite of Spring versi penuh karya komposer Rusia Igor Stravinsky. The Rite of Spring sendiri mengisahkan ritual primitif merayakan datangnya musim semi di mana seorang gadis muda yang terpilih menjadi korban, menari sampai mati.
Komposisi ini terdiri dari dua bagian, yakni Pemujaan pada Bumi serta Pengurbanan. Pada bagian pertama, nada-nada lembut dimainkan oleh Duo Ykeda. Bagian awal ini membuat penonton terlena dan membayangkan musim semi yang tiba di sebuah bukit. Bila pada dua komposisi sebelumnya Patrick yang mengambil bagian utama, maka di the Rite of Spring Ikedalah yang mengambil alih.
Nada menghentak dan mencekam terasa pada bagian kedua, Pengurbanan. Semakin ke bagian penghujung, nada semakin naik. Penonton terbawa suasana. Auditorium terasa begitu lengang, menonton permainan piano mereka berdua seperti menahan napas. Tak ada mata yang beralih dari dua sosok di atas panggung.
Selesai memainkan The Rite of Spring, yang setidaknya memakan waktu 30 menit lebih, tepukan membahana mengiringi penghormatan dari Duo Ykeda. Tepukan tangan penonton tak juga berhenti meski dua orang ini telah beranjak ke balik panggung. Terpaksa, mereka berdua kembali ke atas panggung memainkan satu komposisi singkat.
Selesai dengan komposisi singkat tersebut, penonton masih belum puas. Namun bagaimanapun, pertunjukan harus diakhiri. Meski wajah letih tampak di dua orang tersebut, kepuasan lebih dominan terpancar di muka mereka. (sul)
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6