Bekerja Sampai Lelah, Ini Bahaya Hustle Culture yang Harus Diwaspadai

Hustle culture atau budaya hiruk-pikuk merupakan istilah yang populer bagi kalangan pekerja keras yang menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk bekerja. Apakah kamu termasuk salah satunya?

oleh Wanda Andita Putri diperbarui 03 Jan 2024, 09:04 WIB
Diterbitkan 03 Jan 2024, 09:04 WIB
Ilustrasi wanita karier (Foto:Magnet.me /Unsplash)
Ilustrasi wanita karier (Foto:Magnet.me /Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Kamu pasti tidak asing lagi dengan istilah hustle culture atau budaya hiruk-pikuk yang merupakan istilah yang umum digunakan ketika membahas tempat kerja. Di samping istilah quiet quitting and firing, istilah hustle culture menggambarkan betapa cepat dan melelahkannya kehidupan kerja zaman sekarang.

Namun, sebagian individu yang juga mendefinisikan hustle culture sebagai sesuatu yang positif dan diinginkan. Mereka mengatakan bahwa hustle culture merupakan hal yang baik dan telah membantu mereka sukses dalam hidup dan pekerjaan. Oleh karena itu, mereka menganjurkan orang lain untuk melakukan hal yang sama. 

Lantas, apa sebenarnya hustle culture itu dan kenapa hal itu bisa terjadi? Berikut ulasannya, seperti yang dilansir dari halaman Remote Staff pada Senin (18/12/23).

Apa Itu Hustle Culture?

Hustle culture mengacu pada mentalitas bahwa kamu harus selalu bekerja untuk mencapai kesuksesan. Pekerjaan harus menjadi tujuanmu. Istilah lain yang digunakan untuk menyeut mentalitas ini adalah grind atau burnout culture. Mungkin, pola pikir seperti ini berarti mencurahkan sebagian besar waktumu untuk bekerja sambil menghabiskan sedikit atau tidak sama sekali waktu untuk istirahat, relaksasi, dan mengerjakan hobi. Bagaimanapun hal ini tidak memberikan konstribusi terhadap perolehan pendapatan atau peningkatan karier.

Bagi beberapa negara seperti Amerika, hustle culture dianggap sebagai sesuatu yang harus diikuti. Ide dan mimpi orang Amerika mendukung hal ini karena mereka menjunjung tinggi bahwa siapa pun dapat mencapai impiannya bila mereka bekerja keras dan tekun dalam pekerjaannya.

Tidak heran bila hustle culture di Indonesia sangat mirip dengan budaya di Amerika. Masyarakat Indonesia percaya bahwa kerja keras dan tekad adalah kunci kesuksesan. Tidak masalah bila pekerjaan itu tidak dibayar dengan baik, asalkan kamu punya pekerjaan bukan?

 

Dari Mana Istilah Hustle Culture itu Berasal?

Mengalami Stres dan Kelelahan
Ilustrasi Mengalami Stres dan Kelelahan Credit: pexels.com/Ron

Meskipun merupakan istilah yang baru terkenal, ternyata hustle culture telah hadir di tempat kerja sejak lama. Pada awal tahun 1970-an, tanda-tanda pola pikir ini mulai terlihat dalam bentuk kecanduan kerja. Hal ini disebabkan oleh pesatnya perkembangan insudtri yang menyebabkan karyawan dituntut untuk bekerja lebih cepat dan tidak mengenal batas waktu.

Kecanduan kerja semakin meningkat pada tahun 1990-an dengan bangkitnya perusahaan teknologi. Dengan begitu, jenis pekerjaan akan lebih banyak dan lebih menuntut karyawannya. Hingga saat ini, banyak miliader berpengaruh di mesia sosial, seperti Elon Musk dan Gary Vanynerchuck atau Gary Vee yang telah mulai mempromosikan perihal hustle culture.

Di sebuah postingan yang dibuatnya di twitter, Elon Musk menceritakan bahwa ia menggunakan 80--120 jam per minggu untuk bekerja. Ia kemudian menyarankan agar para pemimpin bisnis lainnya mengikuti hal yang sama dengannya.

Mengapa Hustle Culture Populer?

Banyak orang menganggap hustle culture itu menarik meskipun pola pikir ini menimbulkan masalah. Berikut beberapa alasan mengapa istilah tersebut populer saat ini.

1. Beberapa Orang Suka Bekerja Keras

Hanya ada beberapa orang yang sangat senang dan bangga dalam bekerja. Ingat, orang-orang tersebut belum tentu terlalu kompetitif atau ambisius. Mereka merasa pekerjaan memberi mereka tujuan dan arah, bahkan mereka menemukan kepuasan dalam menyelesaikan tugas mereka.

2. Ada yang Terpikat oleh Kisah Para Influencer yang "Rags to Riches"

Alasan lain orang tertarik pada hustle culture ini terutama karena banyaknya cerita dari kisah orang yang miskin menjadi kaya dari berbagai influencer di media sosial. Kisah-kisah ini seringkali menyatakan bagaimana para influencer ini memulai karier mereka dari nol dan mencapai kesuksesan hanya dengan bekerja keras. Bila mereka bisa melakukannya, mengapa kamu tidak?

Masalah dengan jenis cerita seperti ini seringkali sangat menyesatkan. Para influencer ini tidak menyebutkan bahwa mereka mendapat dukungan dari berbagai pihak, seperti orang tua yang sudah kaya, memiliki kekayaan dalam bentuk warisan atau dana perwalian, bahkan jejaring finansial lainnya.

 

 

3. Situasi Perekonomian Saat Ini

Ilustrasi stres, sedang dihadapi berbagai masalah hidup
Ilustrasi stres, sedang dihadapi berbagai masalah hidup. (Photo created by @wavebreakmedia_micro on www.freepik.com)

Situasi perekonomian saat ini membuat masyarakat harus bekerja lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan mereka. meskipun lambatnya pemulihan perekonomian negara, banyak warga negara yang masih mengalami kesulitan finansial hingga saat ini. Banyaknya perusahaan yang masih dalam masa pemulihan dari pandemi, pekerjaa yang stabil juga cukup sulit ditemukan.

Oleh karena itu, banyak pekerja yang mengambil beberapa pekerjaan untuk menghidupi keluarganya. Hal ini tentu mengarah pada gagasan bahwa lebih baik memiliki banyak pekerjaan sehingga bila kamu kehilangan satu pekerjaan, kamu masih memiliki cadangan.

4. Bekerja Keras Sepanjang Waktu

Baik kamu bekerja di kantor atau secara daring, pekerjaanmu telah menjadi bagian integral dari kehidupanmu sehari-hari. Selain sebagai sumber pendapatan utamamu, ini juga memberi kamu tujuan dan pencapaian.

Oleh karena itu, beberapa orang membangun sleuruh hidupnya dengan bekerja. Dari saat mereka bangun hingga sebelum tidur, mereka pasti melakukan sesuatu yang menghasilkan pendapatan. Pola pikir ini disebut sebagai hustle culture.

Terlepas dari popularitasnya, disarankan bagi kamu yang ingin menganut pola pikir ini, hustle culture dapat menyebabkan penurunan produktivitas karena kelelahan hanyalah beberapa masalah yang ditimbulkan oleh pola pikir ini.

Infografis Journal
Infografis Journal: Kenapa Banyak Pekerja di Jakarta Tinggal di Kota Penyangga (Liputan6.com/Trie Yasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya