Harapan Baru Rekonsiliasi Konflik Sampang

Pada 26 Agustus 2012 lalu, perkampungan pengikut aliran Islam Syiah diserang kelompok bersenjata.

oleh Liputan6 diperbarui 31 Agu 2013, 09:14 WIB
Diterbitkan 31 Agu 2013, 09:14 WIB
warga-syiah-130620c.jpg
Citizen6, Jakarta: Pada 26 Agustus 2012 lalu, perkampungan pengikut aliran Islam Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang diserang kelompok bersenjata. Bentrokan antara kedua kelompok menyebabkan satu orang tewas, serta enam orang lainnya luka-luka. Kejadian ini dipicu oleh aksi sekelompok warga bersepeda motor yang mendatangi rumah seorang tokoh Islam Syiah, ustadz Tajul Muluk. Warga lain yang selama ini tidak suka dengan aliran itu pun ikut berdatangaan ke lokasi dengan membawa senjata tajam, kemudian membakar sebagian rumah pengikut aliran itu.

Sebanyak 47 unit rumah milik penganut aliran Islam ini juga dibakar, termasuk madrasah dan mushalla penganut aliran Islam Syiah. Para penganut aliran tersebut diungsikan ke gedung olahraga (GOR) Wijaya Kusuma Sampang.

Penyerangan yang terjadi pada Agustus 2012 itu merupakan kali kedua. Sebelumnya pada Desember 2011, pengikut Tajul Muluk ini juga pernah diserang, dan sekitar 300 kepala keluarga terpaksa mengungsi.

Pengungsi tersebut dipindahkan dari GOR Wijaya Kusuma ke rusun Puspa Agro Sidoardjo. Pemerintah Kabupaten Sampang mengatakan pemindahan para pengungsi tersebut berdasarkan kesepakatan bersama antara Pemkab Sampang dengan Pemprov Jatim dan pimpinan DPRD.

Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menilai langkah pemerintah daerah Jawa Timur merelokasi warga Syiah Sampang ke Sidoardjo seharusnya ditinjau ulang (24/06/2013). Baginya hal utama yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan rekonsiliasi warga dengan kelompok Syiah di Sampang tersebut. Menurutnya peristiwa terusirnya masyarakat syiah Sampang dari tanah kelahirannya tidak boleh terjadi di Indonesia yang merupakan negara Pancasila. Meskipun tidak mendukung ajaran Syiah, Din menilai penyerangan terhadap penganut Syiah bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan kebangsaan. Ia yakin agama dan Islam menjunjung tinggi nilai tersebut dan harus mencari jalan keluar .

Tidak Mudah

Meskipun mendapatkan bantuan dari pemerintah setempat, Warga Syiah yang ditempatkan di rumah susun sederhana di Sidoarjo kerap menuntut agar dikembalikan ke kampungnya. Mereka sempat memprotes rencana pemindahan dengan mendatangi gedung DPR. Keinginan mereka untuk kembali ke kampung halamannya, selalu ditolak Pemda dan otoritas keamanan setempat, karena alasan keamanan. Presiden SBY bahkan harus turun tangan untuk merangkul kalangan ulama dan intelektual untuk mendiskusikan masalah tersebut.

Sama halnya dengan konflik Ambon, Poso dan Ahmadiyah, konflik Sampang sulit untuk diatasi karena bekaitan dengan pandangan agama yang sangat mendasar. Kedua belah pihak berbeda dalam keyakinan dan praktik keagamaan. Perbedaan itu seringkali diwarnai benturan dan kekerasan yang semakin mempertegas perbedaan tersebut.

Tindakan pemerintah untuk merelokasi penganut Syiah bisa memiliki efek ganda. Di satu sisi, relokasi dalam jangka panjang berpotensi untuk menciptakan segregasi antara pihak yang bertikai. Kedua pihak akan menjadi sulit untuk menerima keberadaan kelompok lain karena tidak terbiasa hidup berdampingan. Namun dalam jangka pendek, relokasi bisa menjadi solusi untuk menghindari terjadinya kekerasan dan meminimalisir jatuhnya korban. Kedamaian mustahil untuk tercipta apabila interaksi antara kedua kelompok terus diwarnai kekerasan.
Sementara itu, dalam sebuah diskusi dengan Menteri Agama Suryadharma Ali di Sampang, Madura, pada 25 Juli 2013, Para ulama di Sampang menyampaikan kesediaannya untuk menerima kembali warga Syiah kembali ke kampungnya asalkan mereka meninggalkan ajarannya dan bertobat.

Menurut mereka yang menginginkan umat Syiah “bertobat” disebabkan secara fiqiyah menilai bahwa ada 3 golongan Syi’ah di Indonesia yakni, pertama, Syi’ah ideologi, yaitu sekelompok orang yang tidak menampakkan dirinya sebagai Syi’ah secara terang terangan dan kelompok ini tidak menuntut ke-Syi’ahannya. Kedua, Syi’ah pemikiran, di mana kelompok ini sudah mulai terang-terangan menunjukkan ke-Syi’ahannya. Ketiga, Syi’ah pengikut atau hanya ikut-ikutan saja, seperti kaum Syi’ah di Sampang Madura dan Kec. Pasar Kliwon Kota Surakarta. Beberapa faktor yang menyebabkan sekte Syi’ah lebih berbahaya dibandingkan sekte sesat lainnya adalah aqidah Syi’ah yang menghancurkan tatanan Islam, di antaranya menghalalkan nikah kontrak (mutah) yang akan menghancurkan moral umat. Berdasarkan fakta tersebut, dirinya mengajak seluruh umat Islam untuk mewaspadai Syi’ah dan harus bersatu untuk menghadapinya. Saat ini kelompok Syi’ah sudah mulai menampakkan diri di berbagai wilayah dan mengadakan berbagai pelatihan militer di Indonesia termasuk Kota Surakarta. Aliran Syi’ah itu lebih berbahaya dari aliran apapun, karena Syi’ah itu ada di sekitar masyarakat dan akan sulit untuk membedakannya kalau mereka tidak mengakuinya. Oleh karena itu, masyarakat harus mempersiapkan diri dan merapatkan barisan untuk menghadapi bahaya masuknya Syi’ah terutama di Kota Surakarta dan wilayah lainnya.

Wacana mengenai ikrar “tobat” ini pun mendapatkan tanggapan beragam, salah satunya dari Anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Raihan Iskandar. Menurutnya para pengungsi Syiah dapat melakukan syarat tersebut jika mau hak-haknya dilindungi. Menurut Raihan, pengungsi Syiah juga seharusnya bisa menghormati kemapanan sosial yang sudah ada di Sampang, Jawa Timur, tempat asal mereka. Dengan adanya ikrar itu, Raihan menilai proses rekonsiliasi bisa berhasil dilakukan.

Menurutnya, jika para pengungsi tidak bersedia untuk pindah keyakinan, mereka dapat melapor ke Kementerian Agama agar Syiah dijadikan agama baru. Jika ternyata ada aliran baru di tengah masyarakat yang berlainan, maka hal ini kontraproduktif atas keharmonisan yang sudah terbentuk. Menurutnya, dalam membangun kebhinekaan di Indonesia juga harus dipahami bahwa perbedaan itu jangan menabrak kemapanan sosial yang sudah ada. (13/8/2013).

Berpindah keyakinan jelas bukanlah opsi yang mudah bagi para pengungsi Syiah. Otomatis, mereka tidak dapat dikembalikan begitu saja ke tempat asalnya. Nampaknya pemerintah telah mengambil langkah yang tepat dengan merelokasi warga Syiah untuk sementara waktu. Pemerintah tentu ingin menjauhkan mereka dari konflik hingga pihak-pihak yang bertikai sepakat untuk berdamai dan kembali hidup berdampingan.

Pemerintah juga berupaya untuk memenuhi hak-hak politik para pengungsi. Baru-baru ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim menyiapkan 1 Tempat Pemungutan Suara (TPS) khusus di area pengungsian agar mereka dapat ikut serta dalam Pemilukada Jatim.  Pilgub Jatim tersebut rencananya akan dilaksanakan pada 29 Agustus 2013 nanti. Langkah KPU Jatim tersebut memang tidak berdampak langsung bagi penyelesaian konflik di Sampang. Kendati demikian, langkah tersebut setidaknya menyiratkan komitmen pemerintah untuk memenuhi hak konstitusional para penganut syiah.

Masih Ada Harapan

Ada suatu konsep yang sangat terkenal dalam studi resolusi konflik yaitu mengenai lingkaran kekerasan. Menurut konsep ini, perbedaan menimbulkan kekerasan yang akan mempertebal perbedaan dan permusuhan, kemudian menimbulkan kekerasan yang lain. Dengan kata lain, perbedaan, kekerasan dan permusuhan akan terus terjadi bagaikan sebuah siklus yang tak berujung. Pada kenyataannya, konflik individu seringkali berkembang menjadi konflik berkepanjangan karena korban atau keluarga korban merasa sakit hati, dendam dan ingin membalas/menyakiti pihak lawan.

 Sikap tidak menanamkan rasa kebencian tentu saja modal yang sangat besar untuk proses rekonsiliasi di masa mendatang. Pertanyaannya, apakah kelompok yang berlabel “mayoritas” bersedia untuk merangkul kembali para pengungsi?

Sungguh sangat menyentuh ketika politisi dan pemeluk Islam di Indonesia mengutuk konflik yang menghilangkan nyawa ribuan umat Islam di Mesir. Sebelumnya umat Islam di berbagai penjuru negeri juga mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi etnis Muslim Rohingya yang teraniaya dan terusir dari tanah airnya. Jika bisa berbuat banyak hal untuk membantu saudara kita di belahan dunia lain, tentu ada ruang di hati umat Islam negeri ini bagi saudara kita pemeluk Syiah di Sampang.

Masyarakat Indonesia nampaknya perlu kembali merenungkan esensi ke-bhineka-an karena pada dasarnya setiap manusia terlahir berbeda. Perbedaan itu telah menjadi realita hidup masyarakat Indonesia jauh sebelum bangsa ini terbentuk. Konflik akibat perbedaan pandangan dan keyakinan pun mustahil untuk dihilangkan. Perbedaan agama, etnis, dan budaya ini pula yang menjadikan nama Indonesia agung di mata dunia.

Oleh karena itu, perbedaan yang sangat esensial dalam masyarakat Indonesia perlu dikelola dengan membuka ruang-ruang komunikasi antar kelompok serta meminimalisir penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik. Tindak nyatanya dapat berupa mediasi antara pihak-pihak yang bertikai, rehabilitasi atau pendampingan psikologis terhadap korban dan keluarga korban kekerasan serta membenahi regulasi dan memperkuat penegakan hukum untuk mencegah aksi kekerasan. ( Masdarsada dan Rio Wattimena/kw)

*Masdarsada, Alumnus Universitas Moestopo Beragama, Jakarta dan alumnus KSI Angkatanb 8 Universitas Indonesia. Tinggal di Jakarta.

*Rio Wattimena, Kandidat Doktor UGM Yogyakarta

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke citizen6@liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya