Citizen6, Banda Aceh – Jamaknya, kantin di sekolahan, terlebih lagi Sekolah Dasar, dikelola dan dijaga oleh pihak lain yang bekerja sama dengan sekolah tersebut dengan sistem bagi hasil. Atau, pihak lain tersebut membayar uang sewa, sedangkan keuntungan full sepenuhnya milik mereka.
Namun, tidak demikian dengan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 2 Neuheun, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Hal ini saya saksikan langsung saat melakukan kunjungan lapangan ke sekolah tersebut awal bulan ini (Rabu, 6/11/2013).
Pagi itu, Nabila (9 tahun, kelas 3 A) beserta 3 siswa lainnya sedang melayani setiap siswa yang datang membeli panganan ringan yang dihidangkan di atas meja. Panganan ringan itu terdiri dari Opak (kerupuk ubi), Bolu, Es Lilin, Es Sirup dan Mi Rebus. Harganya bervariasi antara Rp 500 hingga Rp 1.000.
Di atas dua meja digelar empat macam panganan. Sedangkan roti beserta susu coklat diletakkan di meja tersendiri yang berukuran lebih kecil berhadapan dengan dua meja utama tersebut.
“Setiap hari, lima orang menjaga kantin ini Pak. Masing-masing jaga satu macam kue. Hari ini saya yang ditunjuk menjadi ketua. Selesai jam istirahat, uangnya kami serahkan langsung kepada guru”, ujar Nabila menjelaskan.
Sebenarnya saya hendak mengeksplorasi lebih jauh tentang kantin swakelola yang menarik ini. Namun, saat itu sedang ada rapat dengan Tim Pengawas dari Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Besar.
Meski demikian, bagi saya, paling tidak ada enam manfaat positif dari keberadaan kantin swakelola tersebut. Pertama, melatih kerjasama (team work) antar siswa yang ditugaskan menjaga kantin. Kedua, menstimulus leadership skill sejak dini bagi yang dipilih menjadi ketua piket harian.
Ketiga, melatih kejujuran dalam hal menjaga uang hasil penjualan. Keempat, menanamkan kemandirian (self help) pada diri anak. Kelima, mewariskan rasa memiliki dan sikap bertanggung jawab. Keenam, menjauhkan anak-anak dari panganan yang membahayakan kesehatan mereka. (Ahmad Arif/kw)
Ahmad Arif adalah di pewarta warga
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Namun, tidak demikian dengan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 2 Neuheun, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Hal ini saya saksikan langsung saat melakukan kunjungan lapangan ke sekolah tersebut awal bulan ini (Rabu, 6/11/2013).
Pagi itu, Nabila (9 tahun, kelas 3 A) beserta 3 siswa lainnya sedang melayani setiap siswa yang datang membeli panganan ringan yang dihidangkan di atas meja. Panganan ringan itu terdiri dari Opak (kerupuk ubi), Bolu, Es Lilin, Es Sirup dan Mi Rebus. Harganya bervariasi antara Rp 500 hingga Rp 1.000.
Di atas dua meja digelar empat macam panganan. Sedangkan roti beserta susu coklat diletakkan di meja tersendiri yang berukuran lebih kecil berhadapan dengan dua meja utama tersebut.
“Setiap hari, lima orang menjaga kantin ini Pak. Masing-masing jaga satu macam kue. Hari ini saya yang ditunjuk menjadi ketua. Selesai jam istirahat, uangnya kami serahkan langsung kepada guru”, ujar Nabila menjelaskan.
Sebenarnya saya hendak mengeksplorasi lebih jauh tentang kantin swakelola yang menarik ini. Namun, saat itu sedang ada rapat dengan Tim Pengawas dari Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Besar.
Meski demikian, bagi saya, paling tidak ada enam manfaat positif dari keberadaan kantin swakelola tersebut. Pertama, melatih kerjasama (team work) antar siswa yang ditugaskan menjaga kantin. Kedua, menstimulus leadership skill sejak dini bagi yang dipilih menjadi ketua piket harian.
Ketiga, melatih kejujuran dalam hal menjaga uang hasil penjualan. Keempat, menanamkan kemandirian (self help) pada diri anak. Kelima, mewariskan rasa memiliki dan sikap bertanggung jawab. Keenam, menjauhkan anak-anak dari panganan yang membahayakan kesehatan mereka. (Ahmad Arif/kw)
Ahmad Arif adalah di pewarta warga
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.