Citizen6, Surabaya: Sore itu, 25 november 2013, pada jam kelima waktu pelajaran bahasa Indonesia. Kami sudah menduga bahwa jam akan kosong karena hujan yang begitu deras. Di kantor madrasah juga hanya ada satu guru piket yang berjaga. Di luar kelas, air menggenangi lantai di pinggiran tangga keramik yang berwarna putih. Pohon mangga yang biasanya kokoh berdiri di pekarangan bersuara gaduh karena tumbang di sambar angin.
Kilat menandakan akan adanya petir dan sejenak kemudian suara yang menggelegar itu membarengi bel pergantian jam ke 4 menginjak jam ke 5. Pak sami'un melenggang keluar. Kami ketakutan dan memutuskan untuk menutup pintu rapat-rapat. Tapi sesaat kemudian, sosok yang tiba-tiba datang membuka pintu itu. Ia pelan mengucapkan salam. Belum lagi kami menjawab dia sudah memberi sunggingan senyum penuh makna.
"Selamat sore anak-anak," serunya. "Selamat sore Pak Bahrul," begitulah kami menjawab seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya.
Ini adalah Bapak Bahrul Ulum, figur guru bahasa Indonesia favoritku. Di benak saya, darimana para guru-guru seperti Pak Bahrul mendapatkan asupan kekuatan semangat untuk terus mengajar? Apakah karena gaji? Atau karena berhasrat ingin jadi pegawai negeri? Mungkinkah mengajar untuk memenuhi syarat sertifikasi guru? Tapi saya pikir tidak.
Hipotesa sementara adalah beliau mengajar karena keihklasan berbakti pada negara dan cita-cita untuk melahirkan tunas-tunas bangsa yang terdidik. Jawaban sementara itu saya dapatkan ketika beliau bercerita tentang cita-citanya untuk membangun panti asuhan bagi anak jalanan dan gelandangan. Memberikan mereka pendidikan yang layak dan bagimana merubah cara pandang pemuda saat ini dengan mandiri dan wirausaha. Namun mimpi itu harus terpotong karena biaya, walaupun di rumahnya setidaknya ada sekitar 10 anak yatim.
Saat ini yang saya dapat resapi, ia mengajarkan kami bukan dari gertakan dan nasehat, tapi menjadikan kami menjadi anak yang rajin dan disiplin. Dengan cara masuk kelas tepat waktu dan memberikan metode-metode cerita menarik sehingga kesadaran kami tersentuh untuk melakukan tanpa di suruh.
Pemahamannya tentang aspek bahasa Indonesia dan hal-hal yang berkenaan dengan ilmu lain di deskripsikan dengan begitu sederhana sehingga sesulit apapun materi dapat kami resapi dan melahirkan rasa interesting. Setelahnya beliau akan tersenyum merendahkan hati untuk bertanya,"Adakah yang masih sulit untuk dimengert ianak-anak?”.
Sikapnya yang baik di dalam maupun di luar kelas memberikan motivasi untuk belajar dan selalu melakukan perubahan dan mengaplikasikan ilmu. Pak Bahrul Ulum pahlawan madrasahku! (Jawaharo Nisa Salsabila/mar)
Jawaharo Nisa Salsabila adalah pewarta warga.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Kilat menandakan akan adanya petir dan sejenak kemudian suara yang menggelegar itu membarengi bel pergantian jam ke 4 menginjak jam ke 5. Pak sami'un melenggang keluar. Kami ketakutan dan memutuskan untuk menutup pintu rapat-rapat. Tapi sesaat kemudian, sosok yang tiba-tiba datang membuka pintu itu. Ia pelan mengucapkan salam. Belum lagi kami menjawab dia sudah memberi sunggingan senyum penuh makna.
"Selamat sore anak-anak," serunya. "Selamat sore Pak Bahrul," begitulah kami menjawab seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya.
Ini adalah Bapak Bahrul Ulum, figur guru bahasa Indonesia favoritku. Di benak saya, darimana para guru-guru seperti Pak Bahrul mendapatkan asupan kekuatan semangat untuk terus mengajar? Apakah karena gaji? Atau karena berhasrat ingin jadi pegawai negeri? Mungkinkah mengajar untuk memenuhi syarat sertifikasi guru? Tapi saya pikir tidak.
Hipotesa sementara adalah beliau mengajar karena keihklasan berbakti pada negara dan cita-cita untuk melahirkan tunas-tunas bangsa yang terdidik. Jawaban sementara itu saya dapatkan ketika beliau bercerita tentang cita-citanya untuk membangun panti asuhan bagi anak jalanan dan gelandangan. Memberikan mereka pendidikan yang layak dan bagimana merubah cara pandang pemuda saat ini dengan mandiri dan wirausaha. Namun mimpi itu harus terpotong karena biaya, walaupun di rumahnya setidaknya ada sekitar 10 anak yatim.
Saat ini yang saya dapat resapi, ia mengajarkan kami bukan dari gertakan dan nasehat, tapi menjadikan kami menjadi anak yang rajin dan disiplin. Dengan cara masuk kelas tepat waktu dan memberikan metode-metode cerita menarik sehingga kesadaran kami tersentuh untuk melakukan tanpa di suruh.
Pemahamannya tentang aspek bahasa Indonesia dan hal-hal yang berkenaan dengan ilmu lain di deskripsikan dengan begitu sederhana sehingga sesulit apapun materi dapat kami resapi dan melahirkan rasa interesting. Setelahnya beliau akan tersenyum merendahkan hati untuk bertanya,"Adakah yang masih sulit untuk dimengert ianak-anak?”.
Sikapnya yang baik di dalam maupun di luar kelas memberikan motivasi untuk belajar dan selalu melakukan perubahan dan mengaplikasikan ilmu. Pak Bahrul Ulum pahlawan madrasahku! (Jawaharo Nisa Salsabila/mar)
Jawaharo Nisa Salsabila adalah pewarta warga.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.