Barista dengan Down Syndrome ubah Kafe Sepi Jadi Ramai Pembeli

Seorang barista dengan Down Syndrome bekerja keras melawan stigma sosial di kafe kecil pinggir jalan di Bangkok. Ia menunjukkan bahwa orang dengan disabilitas intelektual juga dapat melakukan sesuatu.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 10 Mar 2020, 15:00 WIB
Diterbitkan 10 Mar 2020, 15:00 WIB
Ilustrasi kafe
Ilustrasi kafe (Sumber Pexels)

Liputan6.com, Jakarta Seorang barista dengan Down Syndrome bekerja keras melawan stigma sosial di kafe kecil pinggir jalan di Bangkok. Ia menunjukkan bahwa orang dengan disabilitas intelektual juga dapat melakukan sesuatu.

Thakolrat ‘Jin’ Prongsuwan, 28, adalah barista dengan down syndrome di Panya Café, Bangkok, Thailand. Ibu Jin sempat bermimpi memiliki sebuah kafe sebelum dia meninggal karena kanker dua tahun lalu.

Jika dia masih hidup, ia akan berseri-seri dengan bangga mengetahui bahwa putranya sedang membangun mimpi dengan cinta dan ketelitian. Kisah barista down syndrome ini mulai menyebar di media sosial. Kini, ia banyak dikenal orang.

Popularitasnya yang semakin meningkat telah mengubah kafe yang sebelumnya kosong menjadi tempat yang ramai. Banyak pelanggan mampir untuk mendapatkan minuman favorit mereka dan mengambil foto bersamanya.

"Satu. Dua. Tiga. Empat." Jin menghitung ketika dia menambahkan gula ke dalam gelas ukur di Panya Cafe. Banyak pesanan yang harus diselesaikan dan antrian terus bertambah.

Ia terus bergerak mengisi gelas demi gelas dengan racikan kopi. Sebelumnya, pria ini telah melakukan pelatihan barista selama bertahun-tahun.

"Aku membuat kopi sampai jam 4.30 sore. Aku suka minum cappuccino dan espresso, dengan es," kata Jin pada channelnewsasia.com.

Dibantu Yayasan

Jin mendapat pekerjaan di Panya Cafe saat pertama dibuka Mei 2018 lalu. Dia bekerja dengan rekan lain yang menyandang autisme untuk membuat kopi dan teh dari Senin hingga Jumat.

Bisnis ini dioperasikan oleh yayasan nirlaba untuk kesejahteraan difabel. Organisasi tersebut cukup terkemuka di Thailand dengan mendukung sekitar 500 orang penyandang disabilitas intelektual untuk menjalani kehidupan mandiri di masyarakat.

Jin bergabung dengan yayasan ketika dia berusia tujuh tahun, kala itu ia tidak dapat berbicara sepatah kata pun. Sebagai seseorang dengan Down Syndrome, perkembangan fisik dan intelektualnya tertunda. Kondisi ini merupakan salah satu gangguan perkembangan intelektual yang paling umum di Thailand.

Perhatian Lebih untuk Penyandang Disabilitas Intelektual

Menurut Departemen Kesehatan Mental Thailand, sekitar 650.000 orang hidup dengan disabilitas intelektual di seluruh negeri. Tetapi hanya 10 persen dari mereka memiliki akses ke perawatan dan rehabilitasi yang tepat.

Pada 2018, departemen melaporkan 75 persen anak-anak dengan disabilitas intelektual berusia 5 hingga 15 tahun tidak menerima pendidikan formal.

“Selain masalah neurologis, hanya ada 30 sekolah atau lebih di seluruh negeri yang melayani siswa dengan kebutuhan khusus. Tenaga kependidikan juga kurang, ”kata ketua yayasan Cherd Theerakiatikun.

Menurutnya, banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak mereka menyandang disabilitas perkembangan hingga mereka bersekolah dan bergulat dengan pendidikan. “Beberapa anak terlihat normal tetapi sebetulnya mereka tidak bisa belajar dan gurunya tidak peduli. Jadi setelah meninggalkan sekolah, mereka tidak punya tempat untuk pergi dan tinggal di rumah,” katanya.

Menurut Cherd, orang-orang dengan disabilitas intelektual memerlukan penanganan yang tepat. Dengan demikian, mereka akan berkembang dengan baik dan dapat bekerja secara mandiri.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya