Liputan6.com, Jakarta Setiap penyandang disabilitas memiliki potensi diri masing-masing yang perlu digali dan didukung. Hal ini disampaikan Faisal Rusdi, seorang pelukis mulut yang sukses menekuni bidang yang ia sukai.
Menurutnya, setiap orang termasuk penyandang disabilitas perlu menggali potensi diri sendiri untuk kemudian dikembangkan ke jenjang yang lebih serius. Ia sendiri mulai menekuni dunia lukis sejak usia 16 dan mengikuti pelatihan di sanggar agar mengetahui berbagai teknik.
Akibat cerebral palsy, ia tidak dapat berjalan, bahkan tak bisa menggerakkan tangannya dengan leluasa. Maka dari itu, ia melukis dengan menggunakan mulut karena mengaku lebih leluasa dan hasil karyanya lebih bagus ketimbang saat melukis menggunakan tangan.
Advertisement
Ia berpesan bagi penyandang disabilitas lainnya “tetap gali potensi diri sendiri,” ujarnya kepada Disabilitas-Liputan6.com, Jumat (17/2/2021).
Walau demikian, pria yang kini tinggal di Kiaracondong, Bandung ini mengakui bahwa menggali potensi diri saja tidak cukup. Peran dan dukungan keluarga juga sangat dibutuhkan agar penyandang disabilitas bisa mendalami keahliannya dengan baik.
“Yang paling penting juga dukungan keluarga, kalau keluarga tidak mendukung juga akan sulit bagi teman-teman disabilitas untuk bisa mandiri.”
Simak Video Berikut Ini
Stigma dan Keraguan dari Keluarga
Menurut pengalamannya, pria yang berhasil menggelar pameran tunggal pertamanya di Australia ini juga mengatakan bahwa ia sempat mendapatkan stigma atau keraguan bahkan dari keluarga sendiri.
“Mungkin ada (stigma), bukan dari keluarga inti tapi dari keluarga lain. Kalau di keluarga sendiri mungkin bukan stigma tapi lebih kepada keraguannya karena kurangnya edukasi.”
“Kalau zaman dulu mana ada media seperti teve atau media lainnya yang mengedukasi tentang kehidupan penyandang disabilitas, kemudian fasilitas juga belum mendukung,” tambahnya.
Orangtua Faisal sempat bingung mau mengarahkannya ke bidang keahlian apa dan menyekolahkannya di mana. Di masa kecil atau remaja, sekolah inklusi atau sekolah luar biasa (SLB) masih jarang.
“Beda halnya dengan sekarang, sudah banyak edukasi dan banyak pula sekolah inklusif,” tutupnya.
Advertisement