Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Komisi Nasional Disabilitas (KND) Dante Rigmalia menceritakan bahwa ia memiliki disabilitas ganda.
“Selamat siang semuanya, mohon maaf jika saya tidak dapat menyebutkan satu per satu karena saya memiliki hambatan untuk mengingat, kalau dikatakan nama si A si B, saya tidak bisa mengulangnya karena disabilitas saya ganda, saya disleksia,” ujar Dante dalam W20 di Manokwari, Papua Barat Rabu (8/6/2022).
Baca Juga
Menurut Asosiasi Disleksia Indonesia, disleksia merupakan salah satu bentuk kesulitan belajar spesifik. Yaitu suatu kondisi yang ditandai dengan adanya kesulitan belajar yang terjadi pada individu dengan potensi kecerdasan yang sedikitnya normal atau berada pada taraf kecerdasan rata-rata.
Advertisement
Kesulitan belajar yang terjadi meliputi kesulitan di area berbahasa, termasuk bahasa lisan (yang terutama ditandai dengan adanya gangguan kesadaran fonem), bahasa tulisan, dan bahasa sosial.
Kesulitan memaknai bahasa tubuh, sikap dan postur lawan bicara serta kesulitan menampilkan bahasa tubuh, sikap, serta postur tubuh yang tepat dalam merespons suatu situasi sosial, disertai adanya gangguan di area fungsi eksekutif (executive function).
Dante berkisah, akibat disleksia yang disandangnya, ia acap kali lupa dengan orang yang sebelumnya sempat bertemu.
Suatu ketika, ia duduk bersebelahan dengan kenalannya, tapi ia tidak menyapa. Kemudian seorang rekan memintanya untuk menyapa kenalan tersebut.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Hard of Hearing
“Lalu saya siapa beliau dan beliau katakan ‘Ibu kita pernah bertemu waktu acara Kementerian Luar Negeri’ dan itu saya tidak bisa ingat, saya tidak bisa mengingat dengan siapa saja saya bertemu dan namanya siapa.”
Hal ini menjadi penghambat Dante untuk berinteraksi dengan lingkungan. Akibatnya, ia pun menerima stigma bahwa ia pribadi yang tidak mau kenal, sombong, dan tidak bisa berinteraksi.
“Itu karena disleksia saya, sulit untuk mengingat banyak hal dan sulit untuk memulai komunikasi dengan yang lain. Jadi bagaimana dukungan yang bisa diberikan kepada saya? Jangan baper ya kalau dicuekin, panggil saja lagi.”
Hal seperti inilah yang membuat penyandang disabilitas sepertinya mendapatkan stigma. Dan, terkadang hal terberat bukanlah disabilitasnya melainkan tanggapan masyarakat terkait penyandangnya.
Selain disleksia, Dante juga menyandang Hard of Hearing (HoH) atau kesulitan mendengar. Akibatnya, ia perlu mengenakan Alat Bantu Dengar (ABD) di kedua telinganya.
Menurutnya, HoH juga membawa hambatan tersendiri dalam beberapa situasi.
Advertisement
Saat-Saat Menantang
Salah satu situasi yang cukup sulit untuk diikuti oleh Dante adalah ketika seminar. Berbagai perangkat bantu khusus telah digunakan seperti pengubah suara menjadi teks.
Namun, suara dari sound system tidak dapat terbaca baik oleh aplikasi sehingga interpretasinya pun sulit. Di sisi lain, gerak bibir terkadang tidak terlihat atau tidak sesuai dengan datangnya suara dari sound system.
“Dan saya tidak begitu pandai menggunakan bahasa isyarat. Saya mencari cara agar dapat memahami isi seminar. Saya sebetulnya tidak bisa menangkap semuanya saat seminar, tapi saya pelajari lagi setelah seminarnya selesai.”
Dari dua jenis disabilitas yang dimiliki, Dante melihat bahwa stigma pada penyandang disabilitas memang masih ada. Terutama bagi perempuan penyandang disabilitas.
Perempuan penyandang disabilitas kerap mengalami diskriminasi berlapis. Hal ini dikarenakan adanya stigma terkait gender dan terkait kondisi disabilitas itu sendiri.
“Sehingga perempuan disabilitas mengalami berbagai kerentanan terkait dengan kemiskinan, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, kesehatan, dan hubungan keluarga,” ujar Dante dalam W20 4th Plenary Event Inclusive Economic Growth to Build Resilience: Focus on Rural Women and Women with Disabilities Rabu (8/6/2022).
Jadi Masalah Terbesar
Ia menambahkan, stigma merupakan masalah terbesar yang dialami oleh perempuan dengan disabilitas. Bahkan, perempuan dengan disabilitas dianggap aseksual, tidak dapat menikah, tidak mampu melahirkan anak, tidak mampu mengurus keluarga. Mereka juga dianggap belum bisa mengenyam pendidikan formal dan tidak bisa mendapat pekerjaan.
Stigma ini banyak dialami oleh perempuan penyandang disabilitas baik yang tinggal di kota maupun yang bermukim di desa.
“Perempuan penyandang disabilitas yang bermukim di pedesaan ikut mengalami tantangan yang sangat besar.”
Maka dari itu, pemenuhan hak penyandang disabilitas tidak hanya bisa dipandang sebagai kebutuhan atau bagian pembangunan yang terpisah.
“Ketika kita berbicara terkait pemenuhan hak perempuan disabilitas, maka disabilitas harus dilihat sebagai bagian integral dari pembangunan yang adil, setara, dan tidak diskriminatif.”
Jadi, lanjut Dante, pembangunan yang tidak diskriminatif adalah pembangunan yang didasari kesadaran bahwa perempuan penyandang disabilitas adalah perempuan yang setara. Sama dengan perempuan lainnya, perempuan disabilitas perlu dipandang sebagai warga negara.
Pembangun yang tidak diskriminatif juga perlu didorong nilai inklusi yang mengamanatkan kesadaran, aksesibilitas, keterlibatan, dan dukungan bagi penyandang disabilitas baik di wilayah perkotaan sampai di wilayah pedesaan. Bahkan, sampai ke wilayah terluar, terpencil, dan tertinggal.
Advertisement