Liputan6.com, Jakarta Setiap anak memiliki keunikan dan superior di bidangnya masing-masing. Begitu pun dengan anak autisme dan ADHD. Mereka juga memiliki kesempatan yang sama dalam bekerja.
Dokter spesialis perkembangan anak dan sensory integration Rudianto Sofwan SpKFR, CASI mengatakan, setiap anak pasti memiliki potensinya masing-masing. Hanya saja orang tua perlu peka pada minat dan bakatnya.
“Bagaimana melihat potensinya? Ya dengan bermain. Saya selalu ngomong anak-anak enggak usah belajar. Nggak usah takut anak belum bisa baca. Anak itu tugasnya bermain. Siapa pun anaknya, apakah dia autisme, neurotypical, bermain bisa mengembangkan problem solving,” katanya dalam acara Embracing Autism & ADHD How to Break the Stigma, ditulis Jumat (1/7/2022).
Advertisement
Dengan bermain juga, kata dr Rudi, bisa terlihat kesukaan anak pada bidang apa. Dan ada banyak sebenarnya pekerjaan yang sesuai dengan kondisi anak autisme dan ADHD.
“Kalau dilihat, autisme itu sering mengandalkan visual, sehingga mereka kuar di art dan musik. Memorinya juga baik. Dia cocok dengan pekerjaan yang membutuhkan memori,” katanya
Selain itu, pada beberapa orang autisme, bisa sangat detail dan rapi sehingga cocok untuk pekerjaan yang berkaitan dengan ketelitian dan kerapihan. “Ada banyak contoh seperti programmer. Ada banyak contoh programmer di Microsoft yang autisme.”
Begitu juga dengan ADHD, kata dr Rudi. Ada banyak pekerjaan yang cocok karena orang dengan ADHD memiliki powerfull dan ide yang luar biasa. “Dia kreatif, problem solvingdan out of the box”
Biasanya anak dengan ADHD membutuhkan pekerjaan yang berkaitan dengan kreativitas. Mereka juga biasanya lebih suka pekerjaan di luar ruang agar tidak membosankan. “Anak dengan ADHD superior di bidang kreativitas,” kata dr Rudi.
Pesan dr Rudi, biarkan anak memilih kesukaannya ke mana. “Let them develop dengan jalan dan caranya sendiri. Kita–orang tua, hanya fasilitator untuk membuat anak berkembang lebih baik.”
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Patahkan stigma autisme dan ADHD dengan penerimaan diri
Bagi orangtua, mungkin bukan hal mudah menerima kondisi anak dengan spektrum autisme (ASD), maupun Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Namun untuk mematahkan stigma yang muncul di masyarakat, orang tua sebaiknya menjalani 4 tahapan penerimaan diri terlebih dahulu.
"Seperti denial. Saya bercerita, ada lho neurodivergent people di dunia ini. Jadi kalau kita mau masyarakat mengenal kita, orang tua juga perlu membuka diri mengenai kondisi anak,” katanya dalam acara Embracing Autism & ADHD How to Break the Stigma, ditulis Senin (27/6/2022).
Meski begitu, dr Rudi paham bahwa penerimaan diri orang tua pada kondisi anak butuh proses panjang. “Kalau secara psikologi, ada tahapan penerimaan.”
“Tahap pertama, denial. Ada orang tua yang menyangkal bahwa anak saya bukan autisme kok. Padahal kita bisa mengenalkan bahwa dia memang anak autisme. Hanya banyak orang tua yang menutupi, dan tidak menerima,” jelasnya.
“Lalu, muncul stage kedua, marah. Kenapa anak saya bisa autisme, kenapa anak saya bisa begitu,” katanya lagi.
“Fase ketiga mulai bergaining, tawar menawar. ‘Kayaknya anak saya bukan autisme deh'. Dan fase keempat, Depresi. Kenapa saya punya anak autisme, misalnya. Lalu terakhir fase penerimaan. Ini wajar dilewati semua orang,” katanya.
Advertisement
Butuh proses
Menurut dr Rudi, bagi sebagian orang butuh waktu lama hingga proses penerimaan itu akhirnya dicapai. Namun ada juga yang melaluinya dengan cepat.
“Tolong lewatin fase tersebut dengan cepat sehingga membantu anak berkembang lebih baik,” ujarnya.
Proses penerimaan diri ini juga, kata Rudi, dapat membantu masyarakat bisa mengenal kondisi anak sehingga bisa mengurangi stigma yang muncul.
“Bagaimana kita bisa break stigma kalau kita enggak mau membuka diri. Kuncinya, menerima anak apa adanya. ASD dan ADHD just the label. Makin lama nolak, makin susah bagi orangtua untuk menangani anak," katanya.
Tanda-tanda autisme
Dikutip Forbes, sesuai kriteria diagnostik DSM-5 untuk autisme, seorang anak harus menunjukkan defisit dalam bidang komunikasi dan interaksi sosial berikut:
• Timbal balik sosial-emosional, seperti tidak menanggapi atau bereaksi terhadap interaksi sosial atau kegagalan untuk terlibat dalam percakapan bolak-balik yang khas
• Perilaku komunikatif nonverbal yang digunakan untuk interaksi sosial, seperti perbedaan kontak mata atau bahasa tubuh atau kurangnya ekspresi wajah
• Pengembangan, pemeliharaan, dan pemahaman hubungan, seperti tantangan dalam terlibat dalam permainan imajinatif atau kurangnya minat pada teman sebaya
Selain itu, anak juga harus menunjukkan setidaknya dua dari empat jenis perilaku terbatas dan berulang berikut untuk menerima diagnosis autisme:
• Gerakan motorik stereotip atau berulang, penggunaan objek atau ucapan, seperti menyusun mainan atau pengulangan kata-kata orang lain yang tidak berarti
• Desakan pada kesamaan dan kepatuhan yang kaku pada rutinitas, atau pola perilaku ritual yang verbal atau nonverbal, seperti makan makanan yang sama setiap hari atau melakukan ritual di sekitar salam
• Minat yang sangat terbatas dan terpaku yang luar biasa intens atau terfokus, seperti keasyikan dengan objek tertentu
• Kurang atau terlalu responsif terhadap input sensorik atau minat yang tidak biasa pada aspek sensorik lingkungan mereka, seperti sentuhan berlebihan pada objek atau reaksi yang merugikan terhadap suara tertentu.
Lebih lanjut, mungkin saja anak-anak yang tidak autisme menunjukkan beberapa dari tanda-tanda ini juga, itulah sebabnya evaluasi oleh seorang profesional medis sangat penting.
Advertisement