Liputan6.com, Beijing - Pengadilan tertinggi China membuat keputusan luar biasa: membatalkan eksekusi Li Yan, perempuan 43 tahun yang divonis mati karena membunuh suami yang kerap menyiksanya.
Kabar baik itu datang dari keluarganya. Disambut gembira aktivis hak asasi manusia yang menilai, itu langkah besar Tiongkok melawan kekerasan dalam rumah tangga.
Kakak Li Yan, Li Dehuai, melaporkan Mahkamah Agung membatalkan hukuman mati setelah membaca surat terdakwa dari dalam penjara. Kasus tersebut akan disidang ulang.
Seperti Liputan6.com kutip dari BBC, Rabu (25/6/2014), Li Yan memukul suaminya Tan Yong hingga tewas pada 2010 lalu. Karena tak tahan dengan perlakuan kasar lelaki yang menikahinya itu.
Sejak menikah pada 2009, Tan kerap memukuli dan menendang Li. Pria itu juga menyundut wajah perempuan itu dengan rokok yang masih menyala, juga memotong bagian jarinya.
Li Yan sudah mengadukan kekerasan yang ia terima pada polisi setempat, juga pada pengurus warga. Namun, tak ada reaksi apapun.
Lantas, pada November 2010, perempuan asal Sichuan membunuh suaminya, saat keduanya bergumul dalam perkelahian. Saat Tan mengamcam akan menembaknya, Li memukulkan gagang senapan angin pada lelaki tersebut hingga tewas.
Mengetahui pasangannya tak lagi bernyawa, Li memotong-motong jasadnya. Ia akhirnya ditangkap setelah seorang teman melapor ke polisi.
Bukti-bukti bahwa ia menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga diungkap dalam persidangan. Namun, pengadilan berdalil, itu semua tak bisa membuktikan bahwa terdakwa adalah korban --lalu memutus hukuman mati pada tahun 2011. Li Yan mengajukan banding, tapi upayanya ditolak Pengadilan Tinggi Sichuan.
Kasus Li Yan menjadi perhatian publik di Tiongkok. Di satu sisi perempuan itu memang melakukan tindakan kejam, namun sebaliknya, ia adalah korban.
Amnesty International, pengacara, akademisi, dan organisasi non-pemerintah mengirim petisi meminta pengadilan untuk mempertimbangkan kembali putusan tersebut. Meminta dugaan kekerasan dalam rumah tangga diselidiki ulang. Mereka berpendapat, tak hanya fakta bahwa Tan Yong tewas dibunuh yang dijadikan pertimbangkan.
Amnesty memuji keputusan itu sebagai "tindakan yang tepat" dan mendesak China untuk tidak memaksakan hukuman mati di pengadilan ulang nanti.
"Kasus Li menyoroti pentingnya aparat Tiongkok mencegah kekerasan terhadap perempuan. Mereka wajib menginvestigasi semua klaim kekerasan dan mengadili mereka yang bertanggung jawab," kata peneliti Amnesty di China, William Nee. (Yus)