1 Tahun Kebijakan Luar Negeri Jokowi di Mata Pengamat

Karena belum sempurna, seharusnya tim diplomasi yang dimotori Kemenlu harus lebih berperan aktif lagi.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 16 Nov 2015, 19:39 WIB
Diterbitkan 16 Nov 2015, 19:39 WIB
20151116-FPCI-Foreign-Policy-Comunity-of-Indonesia
Foreign Policy Comunity of Indonesia ((Liputan6.com/Fery Pradolo)

Liputan6.com, Jakarta Satu tahun kinerja presiden terpilih Joko WidodoĀ dalam bidang kebijakan luar negeri tak luput dari kritik. Hal ini diungkapkan Dr. Dinna Wisnu, Co-founder and Director of Paramadina Graduate School of Diplomacy di Seminar "One Year Indonesia Foreign Policy under Presiden Joko Widodo' di SCTV Tower, Jakarta, Senin (16/11/2015). Menurut Dinna, kebijakan Jokowi masih jauh dari nilai baik.

Dalam hubungan internasional serta kebijakan luar negeri, menurut Dinna, Jokowi memimpin dengan gaya 'personal touch'-nya. Hal itu terlihat dari cara dia berbicara, pemilihan topik, dan menggarisbawahi kepentingan internasional.

Dinna juga tidak setuju dengan para pengamat yang menilai bahwa orang nomor satu Indonesia itu berhasil membawa 'inward looking' dalam melihat Indonesia di dunia internasional.

"Kepemimpinan Jokowi masih terus tidak berkoordinasi, terlalu terfragmentasi. Personal factor dirinya begitu dominan," ujar Dinni Wisnu.

Selain itu, Dinna juga menilai bahwa Jokowi tidak punya pengalaman global yang cukup banyak.

"Kebijakan luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi tidak diplomatis, tidak kontekstual dan sangat terus terang. Hal itu bertentangan dengan kebijakan kita selama ini," tutur Dinna yang di awal seminar sudah mewanti-wanti para undangan agar tidak terlalu kecewa mengenai hasil pengamatannya terhadap Jokowi.

Senada dengan Dinna, Penggagas Foreign Policy COmmunity of Indonesia, Dino Djalal, menyatakan masih banyak hal yang harus dibenahi dari Jokowi untuk kebijakan di luar negerinya. Dubes Dino maklum bahwa anggaran diplomasi masih jauh dari yang seharusnya.

Dino juga 'memperingatkan' bahwa negara Indonesia adalah negara 'middle power'. Pemerintah hanya mengalokasikan dana untuk kebijakan luar negerinya sekitar Rp 6.2 triliun untuk 98 kedutaan besar di seluruh dunia dengan 2.000 diplomat.

"Bisa jadi bertambah kuat, bisa jadi kita termarjinalkan," kata Dino.

Ia mencontohkan bahwa banyak diplomat luar mengeluhkan susahnya akses ke Istana atau ke kantor presiden.

"Karena tidak ada orang di lingkaran presiden yang tahu bagaimana berdiplomasi keluar," ujarnya.

Karena itu, ia menyarankan bahwa seharusnya, dengan gaya Jokowi seperti itu, diperlukan menteri luar negeri yang mumpuni dan dipercaya.

"Tidak, saya tidak sedang mengkritik Ibu Retno. Dia diplomat yang baik, namun perlu ditekankan bahwa Kemlu seharusnya mengambil panggung diplomasi," kata Dino lagi.

Kepentingan Nasional di Atas Kepentingan InternasionalĀ 

Kendati banyak dikritik, terutama sebagai negara 'middle power', Duta Besar AS untuk Indonesia Robert O Blake Jr dalam sesi tanya jawab mengatakan bahwa Indonesia tidak akan termarjinalkan. "Selama kita mau dan mampu, saya pikir Indonesia tidak bakal menjadi negara middle power hanya kerena kelamahan diplomasi Jokowi semata," ujar Blake.

Senada dengan dubes AS, Pimpinan Redaksi The Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat, yang hadir sebagai salah satu pembicara seminar mengatakan bahwa diplomasi Jokowi adalah justru memperkuat di dalam (negeri) untuk kebaikan di luar.

"Diakaui pengalaman Jokowi ke luar negeri itu hanya berjualan furniture, jelas dia tidak punya kelas diplomat," kata pria yang dipanggil Dimas tersebut.

"Jokowi itu praktikal, dia memilih untuk konsolidasi di dalam. Baru ke luar. Buat apa di luar manis, kalau di dalam berantakan. Dia tahu apa yang dia mau," ujarnya lagi. Dimas juga menekankan bahwa sebagai pribadi yang praktis tentu tidak bisa diubah dalam satu malam, satu tahun, bahkan 5 tahun lagi kalau ia terpilih.

Hal yang sama diungkapkan oleh Dubes Soemadi Brotodiningrat, penasehat khusus untuk Kementerian Pertahanan. Menurut mantan dubes Indonesia untuk Jepang, kepentingan nasionalĀ berada di atas internasional. Jadi, kericuhan politik domestik harus diselesaikan terlebih dahulu.

"Kepentingan nasional berada di atas kepentingan internasional. Kebijakan luar negeri kita adalah membumi, fokus pada orang dan negara. Itu yang ditawarkan oleh menteri Retno," ujar Dubes Soemadi. (Rie/Yus)

Ā 

Ā 

Ā 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya