Liputan6.com, Jakarta - Yerusalem adalah tanah tiga agama. Namun, konflik dan sengketa yang melibatkan kota suci itu sejatinya bukan perkara keyakinan.
Namun, Menteri Luar Negeri Palestina, Riyad Al-Maliki memperingatkan, "Israel ingin mengalihkan konflik, dari politik ke agama," kata dia dalam acara 'International Conference on the Question of Jerusalem', yang digelar Senin 14 Desember 2015.
"Ketika masalah dilarikan ke agama, niscaya tak akan ada solusi yang bisa diraih."
Menlu Al-Maliki menjelaskan, pihaknya menentang niat negeri zionis menjadikan Yerusalem sebagai 'tanah kaum Yahudi'.
"Kita tak akan membiarkan Israel mengubah status quo (Yerusalem) dan mendominasi di sana," kata dia.
Menlu Al-Maliki menambahkan, rakyat Palestina terus memperjuangkan kemerdekaannya. Juga untuk mendapat pengakuan dari dunia internasional.
"Kemerdekaan kami adalah harga mati," kata dia. Pun dengan niat untuk menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibukota.
Baca Juga
Bagaimana dengan Israel yang secara sepihak juga mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota?
Menlu Al-Maliki mengatakan, kedua negara bisa saling berbagi. Sama-sama menjadikan Yerusalem sebagai ibukota. Dan ke depan bisa hidup berdampingan secara damai.
Sementara, Wakil Menteri Luar Negeri Bidang Multilateral RI, Hasan Kleib mengatakan bahwa rakyat Palestina punya hak yang sama dengan bangsa lain. Untuk merdeka dari penjajahan.
"Rakyat Palestina tak kenal lelah melawan penjajahan, melawan pemukiman ilegal. Di sisi lain, kita juga harus pantang menyerah mengawal isu hingga bangsa Palestina merdeka," kata dia.
Ditemui terpisah, tokoh Katolik, Franz Magnis Suseno menegaskan, solusi dua negara atau two-state solution menjadi jalan penyelesaian konflik Palestina-Israel. Atau dengan kata lain, "Palestina yang merdeka."
Saksikan cuplikan video tentang Palestina dan Yerusalem berikut ini:
Advertisement