Liputan6.com, Sydney - Hanya ada satu pekerjaan bagi Susan--bukan nama sebenarnya. Pekerjaan itu terdiri dari berbagai macam 'kegiatan'. Sepanjang hari, usianya dihabiskan dengan mencuci, membersihkan rumah, menjaga anak, dan membuang sampah.
Sepanjang hari, ia tak bisa keluar rumah. Majikan pembantu rumah tangga (PRT) dari Afrika Timur itu tak ingin Susan terlihat orang lain. Oleh sebab itu, mereka menyembunyikan tempat sampah di balik pagar.
Baca Juga
Mereka baru mengeluarkan tempat sampah tiap minggunya, saat jadwal pengambilan berlangsung.
Advertisement
Perbudakaan sebenarnya nyaris tak ada di benak Susan. Namun, ia baru menyadarinya dua bulan sebelum akhir 2009, atau dua tahun setelah ia mendarat di Australia. PRT yang saat itu masih berusia awal 30-an sadar ia telah diperlakukan layaknya budak oleh majikan yang ia percaya dan keluarga yang ia kenal.
Baca Juga
"Aku boleh berkata itu adalah pengalaman buruk," jelas Susan di rumah barunya di barat daya Sydney seperti dilansir dari Sydney Morning Herald, Senin (11/4/2016).
"Aku selalu dikunci di dalam rumah tiap kali mereka keluar. Pertama kali aku berpikir 'oh, mungkin mereka lupa dan mengunci pintu'", ujarnya.
Tak ada salahnya mempekerjakan Susan. Namun, mereka secara sadar mengeksploitasi perempuan malang itu.
Susan mengatakan, ia dibawa oleh majikan Australia-nya dari Afrika. Saat itu keluarga bosnya dipindahkan ke Sydney. Ia ingat mereka tiba di rumah berkamar dua yang sederhana, bahkan nyaris tanpa perabotan.
"Majikanku langsung berubah drastis ketika pindah ke sini. Cara majikan perempuan mengajarkan anak-anaknya memandang aku seolah aku ini bukan orang. Tiap pagi, mereka membuka pintu kamarnya dan menendangku dengan berkata, 'bangun'," kenang Susan.
Dipaksa bekerja 18 jam sehari dan tanpa dibayar sepeserpun, Susan harus tidur di kolong meja bersama 3 anjing. Ia berkata majikannya memberikan 1 kantong beras untuk makan dan paspornya dirampas serta ditahan.
Tak hanya itu, majikannya kerap menghina secara verbal dan tak pernah dikasih tahu di mana mereka tinggal sekarang.
Janji majikannya, ia akan digaji $15,65 dolar Australia tiap bulannya. Angka itu, menjadikan Susan sebagai budak modern di Australia.
Kasus Perbudakan di Negeri Kanguru
Yang paling mengejutkan, Susan tak sendiri. Ada 3.000 kasus perbudakan di Australia menurut yayasan Walk Free dalam laporannya di Global Slavery Index pada 2014.
Ketakutan akan keselamatan dirinya serta masa depan 3 anaknya di Afrika, membuat Susan kabur. Saat itu, ia menemukan pintu pagar belakang tak terkunci. Ia ingat, ia kabur ke rumah tetangga mencari pertolongan. Tak mudah untuk kabur, karena teman majikannya melihatnya ia lari. Ia juga sempat dipukuli dan ditendang. Untungnya polisi segera datang
Trauma, terluka dan bingung, ia dipindahkan ke safe house untuk rumah bagi korban perdagangan manusia dan perbudakan. Rumah aman itu dikelola organisasi The Salvation Army.
"Aku tak bisa diperlakukan seperti ini, akut aku tak minta untuk seperti ini. Aku tak percaya seseorang yang aku kenal, seseorang tempat aku bergantung, seseorang yang aku hormati berubah mengambil kesempatan atas aku dan membuat aku lemah. Ini sesuatu yang bukan aku harapkan," ujarnya.
"Aku kadang menolak ini terjadi padaku. Aku ada di negara baru, apa yang harus aku lalukan? Orang yang membawaku ke sini tidak ada lagi. Aku ada di tangan orang asing. Aku harus bangun dari mimpi buruk ini," terang Susan.
Fasilitas yang disediakan The Salvation Army itu dibuka tahun 2008. Mereka memiliki 10 shelter dan didukung oleh 400 sukarelawan. Kurang dari 20 persen melaporkan kasus perbudakan kepada polisi. Hal itu dilontarkan oleh Laura Vidal, pekerja sosial di Salvation Army.
Karena ancaman untuk keluarganya dan sedikitnya celah hukum buat Susan, perempuan itu tak bisa melapor kepada pihak berwenang. Kasus kerja paksanya sendiri dilaporkan pada 2013 tapi pengaduannya butuh diuji dalam persidangan.
Kasus Susan sampai ke tangah Refugee Review Tribunal di mana ia mengklaim sebagai korban dari penyelundupan manusia. Akhirnya ia diberikan visa Perlindungan Suaka dan kini tengah menanti proses panjang membawa anak-anaknya dari Afrika ke Australia.
"Susan tidak hanya dihitung secara statistik korban penyelundupan manusia," kata Vidal.
"Yang dibutuhkan Susan adalah menyadari kasusnya dan mendukung korban serta membantu di peradilan," tambah Vidal.
Namun, menurut juru bicara kepolisan federal Australia (AFP), ketakutan korban bisa menjadi masalah sendiri bagi korban untuk mencari pertolongan.
Antara tahun 2004 hingga akhir tahun 2015, AFP mendapat 619 kasus untuk penyelundupan manusia, dan perbudakan seperti pekerja dan pernikahan paksa.
Namun semenjak 2004, baru ada 17 pengadilan sehubungan dengan kasus itu. Ada indikasi peningkatan kasus penyelundupan pekerja dan kawin paksa tahun ini
"Perbudakan terjadi di Australia, mungkin di tiap halaman belakang rumah," kata Susan.
Susan juga mengklaim sesama korban di komunitasnya enggan berkisah tentang diri mereka.
"Seperti stigma, terutama kami dari Afrika. Kami sudah jadi label dan mungkin selamanya," lanjutnua lagi.
Mulai minggu ini, Susan akan berkampanye untuk mengubah stigma itu.
"Ya, aku sembuh. Meski dulu, aku nyaris tak bisa berbicara, namun kini lihatlah aku. Aku tahi ini akan jadi jalan yang panjang namun sangat penting untuk berbagi," ujar Susan.
Kini Susan telah mendapatkan diploma khusus pelayanan komunitas dan menjadi asisten pekerja kesehatan. Ia menyanyo di gereja dan kadang rindu dengan keluarganya.
"Hari pertama di safe house, aku diberi sebotol susu dan roti. Tapi aku memilih teh," kenang Susan.
"Buat sebagian orang bebas dan independen itu sederhana, bagiku tidak...," tutup Susan.
Advertisement