Merana Jadi Istri, 20 Ribu Perempuan India Bunuh Diri Tiap Tahun

Kasus bunuh diri yang dilakukan para istri di India mencapai angka yang memprihatinkan. Apa yang sesungguhnya terjadi?

oleh Citra Dewi diperbarui 13 Apr 2016, 07:30 WIB
Diterbitkan 13 Apr 2016, 07:30 WIB
Angka istri yang bunuh diri di India mengkhawatirkan (Foto: Reuters).
Angka istri yang bunuh diri di India mengkhawatirkan (Foto: Reuters).

Liputan6.com, New Delhi - Fenomena mengerikan terjadi di India sejak 1997. Lebih dari 20 ribu perempuan yang berstatus sebagai istri memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Mereka bunuh diri.

Puncaknya, pada 2009, angka bunuh diri mencapai 25.092 jiwa. Sungguh memprihatinkan.

Seperti yang dikutip dari BBC, Selasa (12/4/2016), jika menggunakan perbandingan, lebih dari 11 per 100 ribu ibu rumah tangga melakukan bunuh diri.

Angka tersebut turun menjadi 9,3 pada 2014, namun masih dua kali lebih banyak dari bunuh diri yang dilakukan petani pada tahun itu, yakni 5.650 orang.

Seorang dosen politik di University of Adelaide, Peter Mayer, telah mengkaji secara sosiologi tentang permasalahan tersebut. Ia berpikir mengapa angka istri di India yang bunuh diri sangat tinggi tapi tak mendapat perhatian media.

Padahal, sebuah studi menemukan bahwa angka bunuh diri orang yang telah menikah di Amerika dan Australia lebih rendah daripada yang belum menikah. Hal tersebut sangat berbeda dengan kenyataan yang terjadi di India.

Pada 2001, hampir 70 persen orang yang bunuh diri telah menikah, dengan rincian 70,6 persen pria dan 67 persen wanita.

Sebuah penelitian yang dipublikasi pada jurnal kedokteran, The Lancet, pada 2012 menemukan tingkat bunuh diri wanita yang berumur 15 tahun atau lebih di India, 2,5 kali lebih banyak dari mereka yang tinggal di negara dengan pendapatan tinggi.

Risiko bunuh diri tertinggi terjadi pada 10 hingga 20 tahun umur pernikahan (Foto: Reuters).

Mayer dan rekan penelitinya, Della Steen, yang membuat penelitian Suicide and Society in India, menemukan bahwa risiko bunuh diri tertinggi terjadi pada 10 atau 20 tahun pertama dalam pernikahan, yakni ketika wanita berusia 30 - 45 tahun.

"Kami menemukan bahwa tingkat melek huruf, akses ke media media, dan ukuran keluarga yang lebih kecil menjadi indikator berdayanya perempuan. Kami menghubungkan hal itu dengan tingkat bunuh diri dari kelompok wanita di kelompok usia tersebut," jelas Mayer.

Mereka juga mengatakan bahwa tingkat bunuh diri yang rendah ditemukan pada wilayah yang masih 'tradisional', di mana ukuran keluarga besar.

Tingkat bunuh diri yang tinggi justru terjadi pada rumah tangga yang lebih dekat dengan keluarga inti.

Lalu, Apa Penyebab Bunuh Diri?

Mayer mengatakan bahwa kasus bunuh diri dengan angka tinggi di India dikaitkan dengan transformasi sosial yang terjadi kalangan keluarga.

"Aku menduga bahwa faktor inti penyebab itu adalah berubahnya harapan tentang peran sosial, terutama dalam pernikahan," ujarnya.

Mayer menjelaskan bahwa konflik muncul karena interaksi pasangan dengan orangtua. Hubungan mertua berpendidikan rendah dengan menantu yang memiliki pendidikan lebih baik.

Anggapan bahwa menantu yang tak patuh, juga menyebabkan timbulnya ketegangan dalam rumah tangga.

Seorang psikiater, penulis pada The Lancet, dan profesor di London School of Hygiene and Tropical Medicine, Dr Vikram Patel, menjelaskan bahwa tingginya angka bunuh diri dapat dikaitkan dengan gender dan diskriminasi.

Banyak wanita di India yang menikah karena dipaksa (Foto: Reuters).

"Banyak wanita yang menikah karena dipaksa. Mereka memiliki cita-cita dan mimpi, namun tak mendapatkan dukungan dari pasangannya. Beberapa orangtua mereka pun tak mendukung. Mereka terperangkap dalam sistem yang sulit dan lingkungan sosial yang mengekang," jelas Patel.

"Kurangnya perhatian, rasa saling percaya, dan kasih sayang oleh pasangan dapat menyebabkan tragedi (bunuh diri) tersebut," tambahnya.

Kondisi tersebut diperparah dengan konselor dan fasilitas kedokteran untuk pasien yang mengalami depresi. Tak hanya itu, ada stigma sosial yang mengaitkan hal tersebut dengan sakit jiwa atau gila.

Mengapa Media Bungkam?

Ketika tragedi tersebut diangkat oleh media, mereka biasanya menyebut akar permasalahannya adalah penganiayaan oleh mertua atau penyiksaan berlatar mahar alias mas kawin. Namun sebenarnya, hal tersebut hanya sebagian dari cerita.

Peneliti dan jurnalis, Kalpana Sharma, mengatakan bahwa kurangnya ekspos terhadap tragedi itu karena tidak adanya kesetaraan gender di media India.

"Dalam beberapa hal, lebih buruk dari misogini--kebencian terhadap wanita. Kurangnya isu yang berkaitan dengan perempuan dan media bahkan tak menyadari masalah ini," ujar Sharma.

Ia juga mengatakan bahwa tragedi mengenai ibu rumah tangga India yang putus asa, perlu diselidiki dan disebarluaskan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya