Satukan Cinta Sepasang Kekasih, Gadis Pakistan Tewas Dibakar

Gadis Pakistan tewas dalam kondisi mengenaskan setelah menyatukan cinta dua insan. Oleh tetua adat, ia dianggap membawa aib.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 06 Mei 2016, 23:04 WIB
Diterbitkan 06 Mei 2016, 23:04 WIB
Kasus pembunuhan atas nama kehormatan menggegerkan Pakistan
Kasus pembunuhan atas nama kehormatan menggegerkan Pakistan: para tersangka pembunuh Ambreen (Reuters)

Liputan6.com, Abbottabad - Ini kisah tragis seorang gadis Pakistan yang tewas dalam kondisi mengenaskan setelah menyatukan cinta dua insan. Ambreen, namanya, baru berusia 16 tahun. Ia masih duduk di kelas sembilan.

Suatu hari, ia diseret dari rumahnya, disuntik paksa dengan obat penenang, dicekik, diikat dan dimasukkan dalam van, lalu dibakar hidup-hidup.

Segala perlakuan yang tak manusiawi itu dialami Ambreen hanya karena membantu menyatukan cinta gadis tetangga dengan kekasihnya.

Belasan orang ditangkap atas kasus pembunuhan brutal dan barbar itu. Yang mengejutkan, salah satu tersangka adalah ibu korban, demikian informasi dari Kepolisian Abbottabad di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa, Pakistan.

Para tersangka berdalih, tega melakukan perbuatan biadab atas dasar honor killing -- 'pembunuhan atas nama kehormatan', yang diperintahkan dewan adat setempat.

"Perintah itu dikeluarkan setelah teman Ambreen, Saima, kawin lari dengan kekasihnya pada 22 April 2016," kata petugas Kepolisian Pakistan, Khurram Rasheed, seperti dikutip dari CNN, Jumat (6/5/2016).

Pembunuhan atas korban diputuskan dewan adat atau jirga yang beranggotakan 15 orang -- meski semua tetua tak sepakat dengan cara sadis itu -- setelah mereka berkumpul dan menginvestigasi peristiwa kawin lari tersebut.

Ambreen kemudian diculik, dicekik dengan tali dan diikat ke kursi belakang van -- yang kemudian dibakar. Kerangka gadis malang itu kemudian ditemukan pada 29 April 2016.

Ibu korban ikut ditangkap bersama 13 anggota jirga. Mengapa demikian?

Polisi menganggap, perempuan itu diduga tahu rencana pembunuhan atas putrinya, namun tak memberitahukannya pada aparat.

Menyusul insiden itu, polisi telah mencari dan mengamankan pasangan kawin lari yang dibantu korban. Sementara, mereka yang ditangkap akan disidangkan di pengadilan antiteroris.

Warga Pakistan mengecam keras pembunuhan tersebut, termasuk Perdana Menteri Nawaz Sharif.

PM Nawaz Sharif sebelumnya juga telah mencabut moratorium hukuman mati atas tersangka terorisme. Menyusul serangan sekolah Peshawar.

"Tindakan itu sungguh barbar, tak hanya tak Islami, tapi tak berperikemanusiaan," kata dia, dalam pernyataannya.

"Para pelaku harus diseret ke pengadilan secepatnya. Penerimaan atas tindakan seperti itu di dalam masyarakat sama sekali tak bisa diterima. Para kriminal harus dihukum segera. Itu sama sekali bukan tindakan atas nama kehormatan, melainkan pembunuhan semata."

Satu-satunya Petunjuk

Penuturan Saksi Mata

Pada Jumat 29 April 2016, sekitar pukul 03.00 waktu setempat, warga di lokasi kejadian mendengar suara ledakan keras.

Saat mendekati sumber suara, orang-orang melihat tiga van yang terbakar. Di bagian belakang salah satu kendaraan itu, ditemukan jasad manusia yang tak lagi bisa dikenali.

Gelang di tangan korban menjadi satu-satunya bukti, bahwa itu adalah jenazah perempuan.

Awalnya, semua kabur. Tak ada yang tahu siapa korban dan mengapa ia menemui ajal di belakang sebuah van yang terbakar.

Hingga akhirnya polisi mendapatkan informasi penting terkait perintah dewan adat untuk membunuh Ambreen.

Kematian gadis malang itu kembali menarik perhatian atas fenomena 'pembunuhan demi kehormatan' di Pakistan.

Tak ada pembenaran atas kasus pembunuhan sadis, atas nama kehormatan sekalipun (www.clarionproject.org)

Komisi HAM Pakistan menyebut, ada sekitar 1.100 perempuan yang menjadi korban pembunuhan oleh kerabatnya sendiri tahun lalu.

Kejahatan semacam itu bermula dari praktik adat setempat untuk menghukum perbuatan yang dipandang sebagai membawa aib untuk keluarga atau desa.

Tak hanya perempuan, pria pun jadi korban sesat pikir itu. Pada 2014, pasangan pengantin baru dibunuh keluarga mempelai perempuan yang tak merestui perkawinan mereka.

Kasus tersebut menjadi sorotan  dunia, meski dalam realitasnya, itu tak mempan menghentikan praktik barbar tersebut.

Fenomena pembunuhan atas nama kehormatan masih dilakukan di Pakistan (freedomoutpost.com)

Pada Februari 2016 lalu, sutradara Sharmeen Obaid-Chinoy diganjar Oscar atas karya film dokumenter berjudul A Girl in the River: The Price of Forgiveness.

Dokumenter itu berkisah tentang Sabha, gadis Pakistan 18 tahun yang secara ajaib selamat setelah ditembak, tubuhnya dimasukkan dalam tas, lalu dilempar ke sungai. Pelakunya adalah paman dan ayahnya sendiri.

Sabha menjadi korban gara-gara pernikahannya yang dianggap membawa aib bagi keluarganya.

"Bagi saya, pembunuhan atas nama kehormatan adalah kejahatan terencana, pembunuhan berdarah dingin, sebuah pembenaran yang digunakan orang-orang untuk membunuh seorang perempuan yang melakukan suatu hal yang tak direstui atau dianggap melanggar batas," kata Obaid-Chinoy.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya