Liputan6.com, London - Kamis, 23 Juni lalu, Inggris telah melaksanakan referendum yang hasil akhirnya adalah Britania Raya keluar dari Uni Eropa (UE). Belakangan, mereka yang pro Brexit justru merasa dibohongi dengan janji-janji manis para pemimpin kampanye "Leave".
Hal tersebut bahkan diakui oleh mantan pemimpin Partai Konservatif, Ian Duncan Smith. Menurut dia, kecil kemungkinan janji-janji manis itu dapat diwujudkan.
Baca Juga
Seperti dilansir dari USAToday, Kamis (30/6/2016) berikut tiga janji pemimpin kampanye Pro Brexit yang sulit diwujudkan:
Advertisement
1. Tambahan Dana US$ 465 Juta bagi Layanan Kesehatan Nasional (NHS)
Pemimpin kampanye pro Brexit Boris Johnson dan Michael Gove menghabiskan waktu berminggu-minggu keliling Inggris dengan menggunakan bus bertuliskan slogan, "Kita mengirimkan 350 juta euro ke UE per minggu, mari kita mendanai layanan kesehatan nasional sendiri. Pilih 'Leave'."
NHS adalah layanan kesehatan yang dijalankan dengan dana publik. Kubu pro Brexit mengklaim besarnya dana yang harus disetorkan ke UE adalah alasan kenapa Inggris harus hengkang dari organisasi itu. Sementara mayoritas ahli statistik berpendapat dana itu tidak seberapa dengan keuntungan yang didapat Inggris dari UE.
Selang beberapa jam setelah hasil pemungutan suara diumumkan, pemimpin Partai Independen Nigel Farage yang pro Brexit mengatakan pihaknya tidak bisa menjanjikan bahwa NHS akan mendapat tambahan dana sebesar 350 juta Euro.
"Tidak, aku tidak bisa (menjanjikan uang akan dihabiskan untuk NHS) dan aku tidak pernah membuat klaim itu," ujar Farage.
Kurangi Jumlah Migran hingga Isu Turki Jadi Anggota UE
2. Mengendalikan Jumlah Migran
Kubu "Leave" mengatakan ingin menghentikan masuknya imigran dari UE ke Inggris sebagaimana hukum aliansi memungkinkan warga Eropa bergerak bebas ke seluruh negara-negara anggota UE. Jumlah imigran di UE saat ini dilaporkan mencapai 10 kali lipat dibanding 20 tahun lalu.
Menurut pro Brexit, Inggris tidak akan mungkin mampu mengendalikan jumlah imigran selama masih bernaung di UE. "Politikus berulang kali menjanjikan akan memangkas jumlah imigran menjadi puluhan ribu dan kemudian angkat tangan serta mengatakan tidak ada yang bisa mereka lakukan karena Brussels, kantor pusat UE, telah mengambil alih isu ini," ujar Johnson pada Mei lalu.
Sehari setelah referendum Brexit dilakukan, politikus Partai Konservatif yang juga anggota parlemen Eropa, Daniel Hannan, mengatakan Inggris harus tetap berada dalam area ekonomi UE. Pasar tunggal memungkinkan anggota UE untuk melakukan perdagangan dengan satu sama lain tanpa tarif. Imbalannya, pergerakan bebas tenaga kerja," kata Hannan.
"Jika rakyat pro-Brexit berpikir karena telah memberikan suaranya, maka jumlah migran berkurang, mereka akan kecewa," kata Hannan.
3. Isu Keanggotaan Turki di UE
Selama kampanye pro-Brexit, Gove pernah mengatakan bahwa bergabungnya Turki dan sejumlah negara perimeter Eropa Tenggara seperti Albania dan Makedonia akan membuat Inggris "banjir" pelaku kriminal.
"Kebanyakan negara-negara ini memiliki tingkat kriminal tinggi, isu gang dan dan sel teror, serta kemiskinan," ujar Menteri Angkatan Bersenjata, Penny Mordaunt, yang mendukung kubu "Leave".
Hingga saat ini belum ada kepastian terkait bergabungnya Turki dengan UE. Pembicaraan tentang hal itu telah berlangsung sejak 1987, tapi sempat mangkrak dan baru dimulai kembali pada 2005.
Indikasi kuat bergabungnya Turki dengan UE mencuat belum lama ini setelah adanya perjanjian di mana Turki akan menampung para migran. Perjanjian ini disebut sangat membantu negara-negara UE.
Namun jika pro Brexit tidak ingin Turki masuk ke UE, maka seharusnya mereka dapat memveto karena setiap anggota UE memiliki hak tersebut. Kini tidak ada jalan bagi Inggris untuk kembali ke UE pasca-Brexit.
Pasar keuangan terguncang dan krisis konstitusional yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Britania Raya adalah sedikit dari sejumlah efek domino setelah Inggris memutuskan bercerai dari UE.
**Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.
Advertisement