Liputan6.com, Ankara - Upaya kudeta Turki pengambilalihan kekuasaan yang dimulai Jumat malam, 15 Juli 2016, memaksa Presiden Recep Tayip Erdogn yang dikabarkan sedang berlibur, terbang kembali ke Istanbul.
Dikelilingi para pendukungnya, Erdogan menyebut, upaya penggulingan kekuasaan oleh pihak militer sebagai 'pengkhianatan'. Pernyataan tersebut disiarkan secara langsung di televisi.
Baca Juga
"Mereka yang berada di dalam tank harus kembali ke tempat asal mereka," kata Erdogan, seperti dikutip dari BBC, Sabtu (16/7/2016).
Advertisement
Ia juga menyebut para dalang kudeta sebagai 'teroris'.
Berlangsung kurang dari 24 jam, kudeta telah merenggut 42 nyawa dalam bentrok yang terjadi di Istanbul dan Ankara.
Pihak Kejaksaan menyebut, korban jiwa mayoritas adalah rakyat sipil.
PM Turki Binali Yildirim mengatakan, situasi terkini sudah terkendali secara garis besar. Sebanyak 130 orang yang diduga terlibat kudeta ditangkap.
Ia juga telah memerintahkan militer yang setia pada pemerintah untuk menembak jatuh pesawat yang digunakan para pelaku kudeta.
Sejauh ini Erdogan mengklaim upaya kudeta di Turki itu sudah bisa dikontrol. Wakil Perdana Menteri, Mehmet Simsek kepada CNN juga mengatakan bahwa kudeta itu bisa dikontrol dan gagal.
"Pemerintah bisa kembali mengontrol situasi. Salah satu jenderal pemberontak berhasil kami tewas dalam operasi bersama polisi,” demikian seperti dilansir Liputan6.com dari CNN.
Adapun petinggi militer yang masih mendukung pemerintah mengatakan, lawan-lawannya itu berhasil dilumpuhkan. Mereka kini meminta para pemberontak untuk menyerahkan diri dan menghentikan aksi kudeta agar tidak memperburuk situasi.
AS, Inggris dan NATO kini tengah secara intensif memantau situasi di Turki. Negeri itu adalah salah satu koalisi NATO di mana menjadi pusat pangkalan militer Barat dalam melawan ISIS di Irak dan negara tetangga Suriah.