Liputan6.com, Manila - Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan, dirinya sedang mempertimbangkan membeli senjata dari negara luar Amerika Serikat. Sebelumnya pada Senin 12 September, ia sudah meminta pasukan AS untuk hengkang dari Filipina selatan.
Duterte mengatakan, dua negara telah sepakat untuk memberikan Filipina pinjaman lunak untuk membeli peralatan militer.
Walaupun Duterte tak mengidentifikasi kedua negara itu, namun ia mengatakan bahwa Menteri Pertahanan Delfin Lorenzana dan 'orang-orang teknis' di angkatan bersenjata akan mengunjungi China dan Rusia untuk melihat apa yang terbaik yang bisa ditawarkan.
Advertisement
"Duterte tampaknya mencoba menerapkan kebijakan luar negeri yang independen," ujar dosen Asian Studies di University of Philippines seperti dikutip dari Bloomberg, Rabu (14/9/2016).
"Masalahnya adalah quid pro quo? Apa yang yang akan China dapatkan dalam pertukaran itu? imbuhnya.
Pada Selasa 13 September 2016, Duterte mengatakan Filipina membutuhkan pesawat yang dapat digunakan untuk melawan pemberontak dan teroris di Mindanao. Mantan wali kota Davao itu juga menyebut bahwa dirinya ingin membeli senjata dengan harga murah, tanpa pamrih, dan transparan.
"Aku tak membutuhkan jet F-16. Kami tak membutuhkan untuk memerangi negara manapun," ujarnya.
Menurut Stockholm International Peace Research Institute, tercatat bahwa Filipina telah mengimpor sekitar 75 persen senjatanya dari AS sejak 1950. Dalam data tersebut juga diketahui pada saat itu Rusia dan China tak memasok senjata apapun.
Menurut seorang analis industri pertahanan IHS Jane di Bangkok, Jon Grevatt, AS mungkin akan bergerak secara diplomatis untuk mencegah Filipina memperoleh pengadaan alat utama sistem pertahanan utama dari China.
"China dan Rusia akan menggosok tangan mereka dengan gembira atas kesempatan memasuki pasar," ujar Grevatt.
Duterte juga mengatakan, Filipina tak akan berpartisipasi dalam patroli Laut China Selatan untuk menghindari perseteruan. "Aku hanya ingin berpatroli di wilayah perairan kami," ujarnya.
Sebelumnya AS mulai mengadakan patroli bersama dengan Filipina sejak awal tahun hingga Duterte memenangkan pemilu pada Mei lalu. AS berusaha meningkatkan kerja sama militer untuk melawan klaim China atas sebagian wilayah Laut China Selatan.
Menanggapi seruan Duterte kepada AS untuk menarik pasukannya dari Filipina, juru bicara Ernesto Abella mengatakan bahwa pernyataan presiden itu belum menjadi kebijakan, namun menjadi dasar dilakukannya tindakan seanjutnya.
"Pernyataan itu belum tetap menjadi kebijakan," ujar Abella.