Liputan6.com, Jakarta - Di tengah tekanan besar yang menghantam pasar saham Indonesia pada hari pertama perdagangan setelah libur Lebaran, pengamat pasar modal sekaligus Founder Stocknow.id, Hendra Wardhana, menyebut masih ada peluang yang dapat diperhatikan di balik gejolak tersebut.
Meskipun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka turun tajam hingga 9,19% ke level 5.912,06 pada Selasa, 8 April 2025 dan memicu penghentian sementara (trading halt), ia menekankan kondisi ini tidak semata-mata mencerminkan gangguan ekonomi, melainkan dominan dipicu reaksi emosional dan sentimen global.
Baca Juga
"Penurunan ini sangat dalam karena seluruh sentimen negatif global yang menumpuk selama libur langsung dicerminkan dalam satu sesi perdagangan,” jelas Hendra Wardhana dalam keterangan resmi, yang diterima Liputan6.com, Selasa (8/4/2025).
Advertisement
Momentum Akumulasi untuk Investor Jangka Panjang
Menurut Hendra, koreksi tajam seperti ini seringkali menghadirkan peluang akumulasi bagi investor jangka panjang. Banyak saham dengan fundamental kuat ikut tertekan karena aksi jual massal yang lebih dipicu kepanikan ketimbang alasan rasional.
"Untuk investor jangka panjang, ini justru menjadi momen penting untuk mencermati peluang akumulasi pada saham-saham dengan fundamental kuat yang terdampak berlebihan,” tegasnya.
Sementara bagi trader jangka pendek, Hendra menyebut perlu tetap mencermati volatilitas dan menunggu konfirmasi teknikal sebelum kembali masuk pasar. Perhatian ke arah kebijakan fiskal dan diplomatik pemerintah Indonesia dalam menyikapi gejolak global akan menjadi kunci arah pasar dalam beberapa hari ke depan.
Secara teknikal, Hendra menyebut IHSG saat ini berada dekat dengan area support kuat di level 5.800. Hendra melihat peluang terjadinya technical rebound dalam waktu dekat, terutama setelah fase awal kepanikan mereda.
Selain itu, pernyataan resmi dari Presiden Prabowo Subianto juga dinilai bisa menjadi katalis positif apabila disampaikan dengan tegas dan mampu mengembalikan kepercayaan pasar.
Peluang di Pasar Obligasi dan Stabilitas Rupiah
Di sisi lain, yield US Treasury yang melemah ikut mendorong arus modal kembali ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk memperkuat pasar obligasi domestik. Bersamaan dengan itu, melemahnya Dolar AS juga membuka peluang stabilisasi nilai tukar Rupiah yang sempat tertekan akibat ketidakpastian global.
“Yield US Treasury yang turun mendorong arus modal ke negara berkembang, membuka peluang bagi pasar obligasi Indonesia untuk menguat. Dolar AS yang melemah juga memberikan ruang stabilisasi bagi nilai tukar Rupiah,” ujar Hendra.
Diversifikasi Ekspor dan Penguatan Industri Dalam Negeri
Kebijakan AS juga bisa menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk memperluas jangkauan pasar ekspor. Hendra menilai Indonesia bisa memanfaatkan momen ini untuk mempercepat diversifikasi pasar ke negara-negara non-AS seperti India, ASEAN, Eropa, dan Afrika.
Di saat bersamaan, tekanan dari luar negeri dapat menjadi pemicu untuk memperkuat struktur industri dalam negeri melalui substitusi impor dan efisiensi produksi.
Advertisement
Penutupan IHSG pada 8 April 2025
Sebelumnya, koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berkurang pada sesi kedua perdagangan Selasa (8/4/2025) dibandingkan pada awal sesi perdagangan.
Mengutip data RTI, IHSG merosot 7,9 persen ke posisi 5.996,14. Indeks LQ45 terpangkas 9,09 persen ke posisi 667,77. Seluruh indeks saham acuan memerah.
Usai libur panjang Lebaran 2025, IHSG berada di level tertinggi 6.036,55 dan level terendah 5.882,60. Sebanyak 672 saham memerah dan 30 saham menguat. 96 saham diam di tempat. Total frekuensi perdagangan 1.428.404 kali dengan volume perdagangan 22,8 miliar saham. Nilai transaksi harian saham Rp 20,9 triliun. Posisi dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 16.860. Seluruh sektor saham kompak tertekan. Sektor saham basic terpangkas 10,54 persen, dan catat penurunan terbesar.
Sektor saham teknologi turun 10,23 persen, sektor saham consumer siklikal susut 8,82 persen. Sektor saham energi melemah 8,19 persen, sektor saham industri susut 8,44 persen, sektor saham consumer nonsiklikal terperosok 4,97 persen.
Lalu sektor saham kesehatan terpangkas 5,92 persen, sektor saham keuangan turun 5,73 persen, sektor saham properti turun 6,97 persen, sektor saham infrastruktur melemah 8,35 persen dan sektor saham transportasi melemah 7,89 persen.
