Liputan6.com, Washington - Pemilihan umum Amerika Serikat (AS) pada tahun 2016 menandai dimulainya sebuah era baru bagi Negeri Paman Sam khususnya Partai Republik. Delapan tahun berlalu, kini Grand Old Party (GOP) berhasil 'merebut' kembali Gedung Putih.
Terakhir kali Gedung Putih dikuasai Republik pada masa pemerintahan George W. Bush yang menjabat sebagai presiden ke-43 AS. Ia terpilih dua kali, yakni pada 2001-2004 dan 2005-2009.
Masa pemerintahan Bush 'diwarnai' dengan peperangan. Tercatat setidaknya dua perang besar yang dimulai pada era ini, invasi terhadap Afghanistan pada 2001 dan penggulingan rezim Saddam Hussein pada 2003.
Advertisement
Peristiwa penting lain yang juga menjadi sorotan di bawah kepemimpinan Bush adalah Badai Katrina. Ia dinilai lambat menangani bencana yang memakan ribuan korban jiwa tersebut.
Empat hari pasca-musibah tersebut terjadi, Bush baru menandatangani paket bantuan senilai US$ 10,4 miliar dan memerintahkan 7.200 pasukan Garda Nasional ke wilayah itu. Dan selang beberapa hari kemudian ia mendesak Kongres menyetujui tambahan bantuan senilai US$ 51,8 miliar.
Pemerintahan Bush dinilai mewarisi banyak kegagalan. Beberapa di antaranya ia gagal untuk tidak melibatkan AS dalam peperangan, gagal memberikan jaminan kesehatan bagi puluhan juta rakyat AS dan gagal mengatasi defisit. Ini membuat popularitas GOP ikut merosot sementara di lain sisi Demokrat menawarkan harapan baru, Barack Obama.
Menghuni Gedung Putih selama delapan tahun dengan status sebagai presiden kulit hitam pertama AS, pemerintahan Obama mencatat sejumlah poin signifikan. Beberapa di antaranya, berkurangnya jumlah pengangguran sementara lapangan kerja bertambah 13,7 juta, lebih banyak warga AS yang mendapat jaminan kesehatan melalui Obamacare, pemulihan hubungan dengan Kuba, tercapainya kesepakatan nuklir Iran, kepemimpinan AS dalam mengatasi perubahan iklim dan banyak lagi.
Selama dua periode menjabat, baik Obama mau pun keluarganya bersih dari skandal. Pada akhir-akhir masa kepemimpinannya, popularitas Obama tetap terjaga bahkan survei yang dilakukan Gallup pada Senin lalu menunjukkan ia memperoleh 56 persen. Seperti dikutip dari Politico, sangat jarang seorang presiden yang terpilih dua kali berhasil mempertahankan popularitasnya.
Survei lain yang dilakukan selama beberapa bulan terakhir juga menunjukkan popularitas Obama masih tinggi. Namun sayang, hal tersebut ternyata tak banyak membantu rekan separtainya, Hillary Clinton untuk memenangkan pilpres 2016. Mantan Ibu Negara itu terpaksa harus mengakui kemenangan rivalnya, Donald Trump.
Banyak orang tentu bertanya-tanya alasan di balik kekalahan telak yang diderita Hillary di mana ini sangat mengejutkan dunia. The Guardian memuat sejumlah analisis dalam laporannya.
Pertama, Trump dinilai menawarkan jalan alternatif yang lebih baik dalam bidang ekonomi sementara Hillary dinilai gagal mengartikulasikan secara meyakinkan tentang kapitalisme modern Amerika.
Kedua, soal kepercayaan. Menjelang pilpres, Hillary tersangkut sejumlah skandal, yakni penggunaan server email pribadi selama menjabat sebagai menteri luar negeri dan adanya dugaan penyalahgunaan dana The Clinton Foundation, sebuah yayasan yang dikelola keluarganya.
Meski namanya sudah 'dibersihkan' oleh FBI dalam skandal email, namun penyelidikan tentang kasus tersebut dinilai buntu sekaligus menimbulkan asumsi bahwa ia 'kebal' hukum.
Ketiga, Hillary dianggap tidak mampu 'menjual' dirinya dengan baik. Slogan pada masa kampanyenya, 'Stronger Together' memang mengirimkan pesat kuat bahwa ia merupakan sosok yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden jika dibanding dengan slogan kampanye Trump 'Make America Great Again'.
Namun slogan tersebut dinilai tidak dibarengi dengan gagasan yang besar bahkan dianggap cenderung 'kosong' karena hanya ditujukan untuk menyatukan pendukungnya dalam melawan Trump. Bukan untuk merangkul seluruh kalangan. Slogan kampanye Obama, 'Hope and Change' disebut-sebut jauh lebih baik.
Dan yang keempat, kesalahan jajak pendapat. Selama dalam sejumlah lembaga survei, Hillary selalu menang beberapa poin di atas Trump. Sedikit sekali yang memenangkan Trump.
Namun fakta bahwa kemenangan pemilu ada di pihak Trump dianggap mencerminkan kegagalan 'industri survei'. Mereka disebut tak lagi menjangkau pemilih dengan menggunakan sambungan telepon atau ponsel sehingga menghasilkan data statistik yang menyesatkan pada detik-detik jelang pemungutan suara.
AS Mendadak Jadi 'Red State'
Partai Republik mungkin saat ini tengah merayakan pesta besar. Bukan hanya karena kemenangan Trump, namun karena partai berlambang gajah dan didominasi warna merah itu juga berhasil menguasai kursi Senat dan DPR.
Di Senat, mereka berhasil meraih 51 kursi sementara Demokrat 48 kursi. Di DPR, kaum Republikan menguasai 239 kursi dan 192 lainnya diisi oleh Demokrat. Inilah yang menyebabkan AS dinilai mendadak berubah menjadi 'red state'.
Namun pertanyaan mendasar mengemuka. Meski didominasi oleh kalangan Republikan akankah Trump didukung penuh oleh partai tersebut mengingat hubungannya dengan Partai Republik diwarna friksi.
Ketua DPR AS, Paul Ryan yang juga seorang Republikan menegaskan, bahwa presiden terpilih AS itu akan memiliki pemerintahan yang solid. Sebelumnya, Ryan sempat menarik dukungannya terhadap Trump menyusul klaim pelecehan seksual yang dituduhkan sejumlah wanita.
"Donald Trump mendengar suara yang tidak didengar orang lain," demikian pernyataan Ryan seperti dikutip dari CNN.
Dan seperti dilansir The Wall Street Journal, Ryan menegaskan pula bahwa dirinya akan bekerja sama dengan Trump untuk 'membuat Amerika berjaya kembali'--sesuai dengan slogan kampanye Trump.
Senator Rob Portman dari Ohio yang terpilih kembali mengatakan bahwa Republikan di Senat akan mampu meleburkan apa yang menjadi prioritas kebijakan Trump dengan agenda yang mereka 'kejar'.
"Saya pikir ada cara untuk menggabungkan apa yang disampaikan dalam masa kampanye dengan upaya reformasi yang lebih luas," ujar Portman.
Seorang Senator Republik dari Ohio, Frank LaRose yang juga dikenal sosok moderat tak pernah mendukung kampanye Trump. Namun di hari pemungutan suara ia mencoblos Trump.
"Kita harus mengambil pelajaran yang diberikan rakyat AS. Mereka menginginkan perubahan. Apakah hasil pemilu mengubah gaya politik saya? Tidak, namun itu memberikan banyak hal untuk saya renungkan," imbuhnya.
Meski demikian kekhawatiran juga menghinggapi sejumlah Republikan. Salah satunya pemimpin GOP di Boone County, Iowa, Gary Nystrom. Menurutnya pada tingkat lokal, kekuatan Trump akan mengkonversi kekhawatiran Republikan terkait dengan agenda kebijakan presiden terpilih AS tersebut.
"Donald Trump membuka mata beberapa Republikan dan saya pikir akan ada beberapa pergeseran sejumlah isu," kata Nystrom.
Sementara itu di South Carolina, mantan petinggi Republik, Katon Dawson mengatakan kemenangan Trump juga disertai dengan risiko besar, baik bagi Trump secara pribadi mau pun GOP.
"Dia telah menjanjikan perubahan besar, dan pemilih adalah orang yang tidak sabaran untuk menyaksikan itu," ujar Dawson.
"Partai ini harus memetakan cara baru ke depannya. Trump memang memiliki definisi baru, tapi kita tidak tahu apa artinya itu bagi Republikan. Dalam politik, Anda harus mengatur cara Anda berkampanye," imbuhnya.
Masa transisi disebut akan menjadi tantangan untuk memadukan agenda Trump dengan agenda yang dianut oleh Partai Republik yang lebih konvensional.
"Bagaimana Anda menjembatani atau mengintegrasikan konservatisme konstitusi tradisional dengan aliran populisme ekonomi nasional yang dia anut?," jelas Ken Blackwell, seorang petinggi Partai Republik.
Seorang pembawa acara konservatif di Wisconsin, Charlie Sykes yang kerap mencaci Trump melalui program radionya kini menunjukkan sikap menerima.
"Donald Trump, akan menjadi wajah dari Partai Republik dan konservatisme selama empat tahun ke depan, baik kita suka atau pun tidak," tegas Sykes.
Advertisement