Pilpres Prancis 2017: Le Pen Sebut Macron 'Tak Patriotis'

Calon Presiden Prancis 2017 Marine Le Pen sebut Macron seorang yang histerikal, radikal, dan tidak patriotis.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 25 Apr 2017, 19:00 WIB
Diterbitkan 25 Apr 2017, 19:00 WIB
Dua kandidat kuat Pilpres Prancis 2017, Emmanuel Macron dan Marine Le Pen (Christophe Ena & Bob Edne/AP)
Dua kandidat kuat Pilpres Prancis 2017, Emmanuel Macron dan Marine Le Pen (Christophe Ena & Bob Edne/AP)

Liputan6.com, Paris - Calon Presiden Prancis 2017 Marine Le Pen sebut saingannya seorang yang histerikal, radikal, dan tidak patriotis. Kritik itu ia lontarkan kepada pemenang pemilu putaran pertama, Emmanuel Macron.

Politikus dari poros ekstrem-kanan berideologi konservatis yang berada di urutan kedua setelah pemilu putaran pertama itu juga menyebut Macron akan mengambil langkah kebijakan yang lemah pada isu terorisme dan radikalisme agama. Peristiwa teror yang mengatasnamakan radikalisme agama kerap mengancam Prancis pada beberapa waktu sebelum pesta demokrasi itu dimulai.

"Macron sangat mendukung terbukanya perbatasan antar-negara. Ia juga mengatakan tidak ada budaya Prancis. Tak satu pun sikap (politik)-nya yang menunjukkan patriotisme...isu penting seperti terorisme juga dianggap remeh olehnya" ujar Le Pen, seperti yang dikutip The Guardian, Selasa, (25/4/2017).

Kritik politikus Partai Nasional Prancis (Front National) itu dinilai sejumlah pakar sebagai langkah untuk mendongkrak elektabilitas pemilih saat pemilu putaran kedua pada 7 Mei 2017. Pada putaran kedua tersebut, Le Pen akan berhadapan langsung dengan Macron untuk menentukan status presiden terpilih.

Sebelumnya, para pemilih Prancis diprediksi akan beralih ke kandidat non-partisan maupun kandidat yang tidak terafiliasi dengan poros ekstrem-kanan dan ekstrem-kiri. Selama ini, kedua poros tersebut menjadi haluan populer kancah perpolitikan di Negeri Mode.

Prediksi itu terbukti benar setelah Emmanuel Macron--dari poros sentris berideologi sosial-liberal--memenangi putaran pertama dengan perolehan suara sebesar 24 persen. Perolehan Macron lebih besar 3 persen dari total suara yang berhasil dikantongi Le Pen sebesar 21 persen.

Kini Le Pen turut menunjukkan gestur non-partisan serupa dengan Macron. Perempuan yang juga merangkap sebagai pengacara itu mengundurkan diri dari jabatan Ketua Partai Nasional dan kini berfokus untuk pemilu semata. Langkah ini ditujukan untuk menyerap suara pemilih dari kubu konservatif Francois Fillon dan poros kanan Nicolas Dupont-Aignan.

"Langkah ini ditujukan untuk menyatukan warga Prancis...Dan membebaskan dia (Le Pen) untuk mengubah sejumlah aspek dukungan calon pemilih," kata salah satu atase Partai Nasional Prancis kepada kantor berita lokal La Monde seperti yang dikutip The Guardian pada Selasa (25/4/2017)

Pengacara yang kini mencalonkan diri menjadi presiden itu juga menyerang kubu pendukung Macron dari kubu Sosialis dan Republik. Le Pen menyebut kedua kubu itu bersekongkol untuk menggoyah kekuasaan Partai Nasional.

Sejumlah dukungan terhadap Macron turut diutarakan sejumlah kelompok di Prancis, seperti politikus dari partai Sosialis (poros sentris-kiri) dan Republik (poros sentris-kanan). Presiden Prancis petahana Francois Hollande mengutarakan dukungan terhadap mantan Menteri Ekonomi kabinetnya itu dengan mengeluarkan pendapat yang menyatakan bahwa presiden dengan pandangan politik seperti Le Pen akan memecah Prancis.

"Ia (Le Pen) merepresentasikan sikap isolasi Prancis dan penarikan diri dari Uni Eropa...akan memecah belah Prancis...berisiko...dan tidak mentolerir isu pengungsi," ujar Hollande seperti yang dikutip The Guardian.

Kedua kandidat yang akan berhadap-hadapan pada putaran kedua 7 Mei 2017 nanti itu memiliki pandangan politik yang sangat kontras bertolak-belakang. Singkatnya, Macron berperspektif internasionalis, condong ke Uni Eropa, toleran, dan terbuka untuk isu migrasi. Sedangkan Le Pen berperspektif proteksionis, populis, anti-imigran, dan menarik diri dari Uni Eropa.

Pemilu Prancis: Sayap Kanan vs Independen di Putaran Pertama (Guardian)

Siapa pun pemenangnya pada putaran babak kedua nanti, kedua kandidat akan memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat. Ditambah keduanya memiliki posisi yang lemah di Parlemen Prancis.

Hanya dua orang yang mewakili Partai Nasional Prancis di parlemen. Sementara itu, Macron sama sekali tak memiliki pendukung karena berasal dari non-partai. Sang mantan Menteri Ekonomi itu akan menjanjikan sebanyak 50 kursi di parlemen untuk politisi sosialis dan kanan-sentris.

Sebuah jajak pra-pemilu putaran kedua menunjukkan bahwa Macron akan unggul dari Le Pen pada putaran kedua pada 7 Mei 2017 nanti dengan selisih hingga 25 persen.

 

 

 

 

 

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya