Ahli dari Mesir: Pluralisme Ampuh Cegah Terorisme

Sebuah forum yang digelar Lemhannas membahas serba-serbi pencegahan terorisme di suatu negara.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 20 Mei 2017, 14:10 WIB
Diterbitkan 20 Mei 2017, 14:10 WIB
(Kiri) Mohammed Aboelfadl dan (kanan) Rüdiger Lohlker dalam acara Jakarta Geopolitical Forum 2017. (Liputan6.com/Rizki Akbar Hasan)
(Kiri) Mohammed Aboelfadl dan (kanan) Rüdiger Lohlker dalam acara Jakarta Geopolitical Forum 2017. (Liputan6.com/Rizki Akbar Hasan)

Liputan6.com, Jacksonville - Seorang pakar menyebut bahwa sikap toleransi tinggi terhadap pluralisme mampu menjadi salah satu faktor yang dapat mencegah mencuatnya ekstremisme dan radikalisme yang rentan mengarah pada terorisme di suatu negara.

Pernyataan itu diungkapkan oleh pemerhati isu terorisme asal Mesir, Mohamed Aboelfadl, dalam Jakarta Geopolitics Forum Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, yang dilaksanakan di Hotel Borobudur Jakarta, Sabtu pagi.

Forum yang membahas sejumlah isu geopolitik itu diselenggarakan dalam rangka perayaan HUT Lemhannas RI ke-52.

Menurut Aboelfadl, ada tiga cara jitu yang dapat dilakukan pemerintah suatu negara untuk menekan pertumbuhan gerakan ekstremisme dan radikalisme yang berpotensi mengarah pada tindakan terorisme.

"Pertama, lewat kekuatan penegakan hukum dan militer. Cara itu telah populer dilakukan oleh banyak negara. Mesir, misalnya, melakukan operasi penumpasan terorisme menggunakan metode militer dan penegakan hukum untuk menekan gerakan separatisme berbasis radikalisme-ekstremisme di Dataran Sinai," ujar Aboelfadl dalam konferensi pers Jakarta Geopolitical Forum 2017, Sabtu (20/5/2017).

Sedangkan cara kedua dapat dilakukan dengan upaya menetralisir paham radikalisme-ekstremisme yang tertanam dalam perspektif aktor terorisme.

"Metode kedua dapat dilakukan dengan deradikalisasi. Akan tetapi, masalahnya adalah metode ini tampak tak lagi efektif untuk menekan pertumbuhaan terorisme," ujar sang pengamat isu terorisme asal Mesir itu.

Metode deradikalisasi merupakan cara yang dilakukaan pemerintah untuk menetralisir perspektif ekstremisme-radikalisme "aktor" teroris.

Di Indonesia, cara yang bersifat reaktif itu dilakukan oleh pemerintah kepada aktor teroris setelah mereka ditangkap, diproses hukum, dan dimasukkan dalam Lembaga Pemasyarakatan. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya sumber daya manusia di Indonesia kurang mumpuni untuk melakukan deradikalisasi secara efektif.

Karena, setelah keluar dari penjara, beberapa aktor terorisme kambuh dan kembali melakukan aktivitas teror. Menurut temuan BNPT 2015, dari sekitar 600 narapidana kasus terorisme yang telah selesai menjalani hukuman, 15 persen di antaranya kembali melakukan aksi teror.

"Oleh karena itu, pemerintah perlu merancang sebuah proyek kurikulum pendidikan yang mempromosikan nilai toleransi tinggi terhadap pluralisme kepada generasi muda suatu negara," ujar Aboelfadl.

 

Generasi Muda Rentan Terorisme

Pada kesempatan yang sama, seorang pakar lain menjelaskan bahwa generasi muda sangat rentan untuk terjerumus masuk ke dalam lingkaran kelompok ekstremisme-radikalisme yang berpotensi mengarah pada terorisme.

"Kebanyakan di antara mereka terlahir di dalam keluarga yang kental dengan paham ekstremisme dan radikalisme. Contoh kasus, misalnya adalah anak-anak pengungsi Suriah," ujar Sidney Jones dari Institute for Policy Analysis of Conflict, sebuah firma kajian isu konflik dan terorisme.

"Beberapa di Indonesia pun ada yang seperti itu. Kita harus memikirkan sejak awal cara untuk melakukan deradikalisasi dan reintegrasi kepada komunitas seperti itu," ujar Jones. 

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang aktif melakukan tindakan penanggulangan dan kontraterorisme. Namun, hingga 2017 masih ada beberapa warga negara asal Tanah Air yang terlibat dalam jaringan terorisme domestik hingga internasional.

Sebelumnya, dunia mengenal Bahrumsyah--salah satu petinggi ISIS yang memimpin jaringan teror di kawasan Asia Tenggara. Ia adalah pemimpin dari Mujahidin Barat Indonesia sebelum berangkat ke Suriah pada Mei 2014.

Para ahli mengatakan, Bahrumsyah merupakan jaringan ISIS di Indonesia yang meliputi Bahrun Naim, Abu Jandal, dan jaringan teroris Jemaah Ansharut Daulah yang dipimpin Aman Abdurrahman.

Bahrun dan Abu Jandal juga telah melakukan perjalanan untuk bergabung ISIS di Suriah, sementara Aman menjalani hukuman di penjara Indonesia karena mendanai kamp pelatihan paramiliter di Aceh pada 2010. Amerika Serikat bahkan telah menempatkan Aman dan Bahrumsyah dalam daftar teroris pada Januari.

Istri ketiga Bahrumsyah, Nia Kurniawati, termasuk dalam 75 orang Indonesia yang dideportasi dari Turki pada Januari 2016 lalu setelah diduga mencoba masuk Suriah. Sejak itu, perempuan tersebut ditempatkan dalam program deradikalisasi di sebuah penampungan di Jakarta.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya