Liputan6.com, Riyadh - Timur Tengah sedang terjerumus ke dalam salah satu krisis diplomatik terbesar sepanjang sejarah. Krisis itu ditandai setelah Arab Saudi, Bahrain, Mesir, Uni Arab Emirat, Yaman, Libya, dan Maladewa memutus hubungan diplomasi dengan Qatar.
Qatar dikucilkan atas tuduhan negara itu mendukung ekstremisme.
Krisis diplomasi itu kemungkinan besar akan menimbulkan konsekuensi yang sangat besar, bukan hanya bagi Qatar, tapi juga bagi seluruh kepentingan politik negara-negara di Timur Tengah dan Barat.
Advertisement
Saat ini, Qatar menampung salah satu pangkalan udara Amerika Serikat terbesar di Teluk Arab. Pangkalan udara tersebut dinilai vital untuk memerangi kelompok teroris berbasis radikalisme atau ekstremisme agama.
Selain itu, pada 2022, negara yang dipimpin oleh Emir Tamim bin Hamad al-Thani itu akan menjadi tuan rumah ajang sepak bola akbar, Piala Dunia.
Uniknya, krisis diplomasi itu terjadi kurang dari sebulan setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump melakukan kunjungan kenegaraan ke Arab Saudi.
Padahal, dalam pidato kenegaraannya di Arab Saudi, Presiden Trump menyerukan agar negara front muslim bersatu untuk melawan terorisme berbasis radikalisme dan ekstremisme agama.
Beberapa minggu setelah kunjungan Presiden ke-45 AS itu, tensi di Teluk Arab mengalami ketegangan. Seperti, tuduhan atas sejumlah kampanye negatif yang dilakukan sejumlah media terhadap Qatar dan dugaan peretasan kantor media resmi pemerintah negara yang dipimpin oleh Emir Tamim bin Hamad al-Thani.
Sejumlah pihak menilai langkah ketujuh negara tersebut --yang juga didukung oleh Iran-- dilakukan dengan tujuan untuk mengacaukan stabilisasi politik di Timur Tengah.
Berikut, lima alasan yang membuat Arab Saudi dan enam negara lain memutuskan hubungan diplomasi dengan Qatar, seperti yang dirangkum oleh Liputan6.com dari News.com.au pada Rabu (7/6/2017).
1. Qatar Dituduh Dukung Ekstremisme
Tuduhan ini telah lama dituduhkan kepada Qatar oleh sejumlah negara Teluk Arab. Mereka menilai Qatar mendukung kelompok ekstremisme seperti Ikhwanul Muslimin (dikenal di negara Barat dengan nama Muslim Brotherhood), hingga kelompok terorisme seperti Al-Qaeda dan ISIS.
Qatar pun membantah tuduhan tersebut.
Profesor James Piscatori, Wakil Direktur Pusat Studi Arab dan Islam Australian National University, menjelaskan, tuduhan tersebut bukanlah hal baru yang terjadi di Teluk dan Timur Tengah.
Sejumlah negara di kawasan tersebut telah lama dan rutin menuduh Qatar mendukung dan mendanai organisasi ekstremisme seperti Front Al-Nusra, Hamas, dan Muslim Brotherhood, serta organisasi terorisme seperti Taliban, Al Qaeda, dan Lashkar Taiba.
Dalam sebuah dokumen rahasia yang menjadi bagian pembocoran data WikiLeaks pada 2009, Menteri Luar Negeri Hillary Clinton menyebut bahwa Qatar merupakan sumber dana terbesar bagi kelompok teroris.
"Kita perlu menggunakan aset intelijen dan diplomatik untuk memberi tekanan pada pemerintah Qatar dan Arab Saudi, yang memberikan dukungan finansial dan logistik secara klandestin kepada ISIS dan kelompok radikal lainnya di wilayah ini," begitu isi dokumen yang ditulis oleh Hillary Clinton dan dibocorkan melalui WikiLeaks pada 2009.
Profesor Piscatori justru menilai bahwa tindakan "memusuhi" Qatar itu disebabkan oleh perkembangan yang mumpuni dari negara yang dipimpin oleh Emir Tamim bin Hamad al-Thani.
Advertisement
2. Arab Saudi Tidak Suka pada Qatar
Meski memiliki luas wilayah yang kecil, Qatar merupakan negara kaya penghasil gas alam cair terbesar di dunia, membuatnya memiliki pendapatan per kapita tertinggi di dunia.
"Qatar merupakan negara kecil yang sangat kaya, memiliki banyak uang, dan perhatian akan banyak tertuju kepadanya saat Piala Dunia 2022 nanti," jelas Profesor Piscatori.
Kekuatan media Qatar dengan ujung tombaknya, Al Jazeera, merupakan salah satu aspek yang menambah kedigdayaannya di Timur Tengah.
Selain itu, kebijakan luar negeri Qatar yang tidak hanya bertumpu pada koalisi negara Barat, namun juga menjalin relasi dengan negara non-Barat, semakin menguntungkan negara dengan ibu kota Doha tersebut.
Hal tersebut dinilai menjengkelkan Arab Saudi. Negara yang dipimpin oleh Raja Salman itu tidak suka terhadap diplomasi luar negeri Qatar yang tidak sesuai dengan haluan Arab Saudi.
"Qatar tampak tidak ingin 'bermain' dengan negara lain. Bahkan negara itu tidak tergabung dalam koalisi Gulf Cooperation Council yang dipimpin oleh Arab Saudi," jelas Piscatori.
Sang profesor menjelaskan bahwa sikap "memusuhi" Qatar dilakukan untuk menegaskan hegemoni Arab Saudi di Timur Tengah. Namun cara tersebut, menurut Piscatori, merupakan langkah yang berat untuk ditempuh oleh Arab Saudi.
3. Pengaruh Donald Trump
Tindakan untuk memusuhi Qatar mungkin juga dapat disebabkan oleh pengaruh "positif" Presiden Amerika Serikat Donald Trump di kawasan Timur Tengah.
Sebelumnya, Presiden Barack Obama justru dinilai cenderung "negatif" untuk urusan diplomasi di kawasan Timur Tengah, khususnya untuk isu nuklir Iran 2015 dan perang saudara di Yaman yang didukung oleh Arab Saudi.
Namun, sejak kunjungannya pada Mei 2017, Presiden Trump telah melakukan kalibrasi ulang hubungan AS dengan Arab Saudi.
Cara yang dilakukan AS adalah dengan tidak terlalu menekan Arab Saudi untuk isu HAM dan menyambut hangat kedatangan pejabat tinggi Kerajaan Arab Saudi ke Washington DC pada awal 2017.
Hubungan "positif"Â itu diikuti dengan penandatanganan kontrak senjata dan pertahanan antara AS dengan Arab Saudi senilai US$ 147 miliar. Penandatanganan itu dilakukan kala kunjungan Trump ke Arab Saudi pada Mei 2017 lalu.
"Ini adalah dorongan finansial yang besar dan kedua negara sekarang semakin dekat jika dibandingkan dengan sebelumnya," kata Profesor Piscatori.
Sikap pemerintahan Presiden Trump yang tampaknya anti-Iran juga menyenangkan negara-negara Teluk Arab.
"Semua hal itu membuat mereka (koalisi Arab Saudi) menjadi merasa lebih berani untuk bertindak," tambahnya.
Â
Advertisement
4. Timur Tengah Sedang Berubah
Menurut Profesor Piscatori, pemutusan hubungan terhadap Qatar disebabkan oleh komentar positif negara tersebut terhadap Iran.
Melalui media pemerintah, sang Emir Tamim bin Hamad al-Thani mengatakan bahwa Iran merupakan kekuatan Islam regional yang tidak dapat diabaikan dan tidak bijaksana bagi negara lain untuk terus-menerus menentang Teheran.
Di saat yang bersamaan, kantor berita resmi Qatar mengatakan bahwa situsnya telah diretas sehingga membuat sang Emir menyatakan komentar positif terhadap Iran. Pernyataan tersebut mendorong Riyadh, Abu Dhabi dan Kairo untuk memblokir kantor berita Qatar, Al Jazeera dan beberapa situs web Qatar lainnya.
"Entah itu benar atau tidak, bukan itu intinya," kata Piscatori. "Ini semua adalah bagian dari berita palsu ini".
Piscatori mengatakan, hubungan di Timur Tengah berubah, sebagian karena apa yang terjadi di Suriah dan isu ISIS. Ditambah lagi dengan pembocoran WikiLeaks yang menyebut Qatar mendanai organisasi teroris, semakin membuat kesal koalisi Arab Saudi.
"Saya yakin ada agenda terorganisasi untuk melemahkan Qatar dari kawasan tersebut," ucap Profesor Piscatori.
5. Sunni versus Syiah
Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap krisis diplomasi tersebut adalah hubungan Qatar yang tampaknya ramah dengan Iran, sehingga menjengkelkan Arab Saudi. Karena di sisi lain, Arab Saudi melihat Iran sebagai saingan berat.
"Iran adalah kekuatan dominan di kawasan ini, bahkan di masa lalu memang begitu. Mereka memiliki populasi besar dan sangat kuat pada beberapa aspek," kata Piscatori.
Sang profesor mengatakan bahwa Arab Saudi membenci kekuatan geopolitik Iran. Di masa lalu, Iran sempat pula mencoba untuk mengklaim beberapa bagian dari negara-negara Teluk termasuk, seluruh negara Bahrain.
Arab Saudi juga mencurigai Iran berusaha untuk "mengekspor revolusi" ke sejumlah negara Teluk Arab, agar menyerupai Revolusi Iran seperti pada 1978-1979.
Secara geografis, Iran bahkan tidak termasuk dalam kawasan Teluk Arab, sehingga Arab Saudi merasa negara dengan Ibu Kota Tehran itu ingin melakukan campur tangan di kawasan tersebut.
Sementara itu, isu Sunni - Syiah turut berkontribusi. Menurut Profesor Piscatori, "Syiah umumnya minoritas di negara-negara Teluk Arab dan tidak terintegrasi dengan baik. Dan Arab Saudi berpikir bahwa Iran memanipulasi populasi Syiah di negara mereka sendiri untuk bersikap menentang rezim Sunni di negara Teluk Arab."
Di sisi lain, meskipun Qatar didominasi oleh Sunni, namun negara dengan Ibu Kota Doha tersebut cenderung liberal jika dibandingkan dengan negara Sunni lain di Teluk Arab.
"Arab Saudi menganggap Qatar sebagai saudara tirinya dan Arab Saudi memiliki pengaruh kepemilikan atas Qatar," kata Prof Piscatori. "Fakta bahwa Qatar melakukan apa yang ingin dilakukannya, salah satunya melawan kepentingan Arab Saudi, sangat mengganggu Raja Salman, cs."
Perkembangan menarik lain adalah Iran bersedia memberikan pasokan bahan makanan ke Qatar setelah Arab Saudi memutus hubungan diplomasi dengan Doha. Karena, sebelum krisis diplomasi terjadi, 40 persen bahan pangan Qatar diimpor dari Arab Saudi.
"Sekali lagi Iran kembali berdiri dan menyaksikan orang-orang Arab berantakan," jelas Piscatori.
Advertisement