Liputan6.com, Washington, DC - Setelah sebuah uji coba yang berhasil, Amerika Serikat kini memiliki sistem pertahanan anti-misil jarak jauh antarbenua baru. Kabar tersebut disampaikan dalam sebuah memo dari seorang pejabat bidang uji coba persenjataan Kementerian Pertahanan AS.
Misil jarak jauh antar-benua lazim dikenal dengan sebutan Intercontinental Ballistic Missiles atau ICBM.
Baca Juga
Meski uji coba teknologi tersebut dinilai sukses, Pentagon yakin sistem pertahanan anti-ICBM tersebut masih harus terus dievaluasi agar mampu beroperasi efektif secara penuh. Harapannya, teknologi itu mampu digunakan untuk menangkal seluruh ancaman misil negara asing yang menyasar ke AS.
Advertisement
Informasi tersebut diperoleh CNN pada Kamis (8/6/2017), dari sebuah memo yang ditulis oleh Direktur Uji Coba dan Evaluasi Operasional Kementerian Pertahanan AS, David Duma, untuk Menteri Pertahanan Jim Mattis tertanggal 6 Juni 2017.
Dalam sebuah laporan 2012, Pentagon (sebutan lain Kemhan AS) menjelaskan bahwa sistem pertahanan misil balistik AS hanya memiliki kapabilitas yang terbatas untuk mempertahankan Negeri Paman Sam dari sejumlah ICBM milik Korea Utara atau Iran.
Hasil evaluasi terbaru yang ditulis dalam memo David Duma untuk Jim Mattis tertanggal 6 Juni 2017 menilai bahwa teknologi sistem pertahanan anti-ICBM terbaru tak lagi memiliki "keterbatasan".
"Ground-based Midcourse Defense (sistem pertahanan anti-ICBM AS) telah mampu mendemonstrasikan kapabilitas dan mekanisme pertahanan sederhana untuk mempertahankan tanah air AS dari sebagian kecil misil balistik jarak menengah dan antar benua," seperti yang tertulis dalam memo Direktur Uji Coba dan Evaluasi Operasional Pentagon dan dikutip oleh CNN.
Memo tersebut juga mengimbau agar Ground-based Midcourse Defense itu terus dievaluasi pada aspek analisis data, kapabilitas penghancur, dan infrastruktur sensor, kontrol, dan komando.
Dalam sebuah simulasi pada Mei 2017, Pentagon juga dikabarkan telah berhasil menembak jatuh sebuah ICBM menggunakan interseptor misil jarak jauh. Simulasi itu dinilai sebagai sebuah unjuk kemampuan AS untuk menangkal serangan misil Korea Utara.
Simulasi Mei 2017 lalu diinisiasi oleh Missile Defense Agency (MDA), sebuah sub-departemen di bawah naungan Pentagon. Menurut laporan Pentagon, agensi itu melakukan simulasi dengan mengaktivasi sebuah interseptor misil jarak jauh dari Vandenberg Air Force Base di California untuk menangkal ICBM replika milik AS yang menyasar ke sebuah target di Samudra Pasifik.
Direktur MDA Laksamana Madya Jim Syring menjelaskan bahwa interseptor tersebut berhasil melumpuhkan ICBM yang bahkan turut dilengkapi dengan sejumlah misil pengecoh, ribuan kilometer sebelum mencapai target.
Meski Pentagon telah melaporkan sejumlah kesuksesan uji coba misil dan sistem pertahanan anti-misil, pakar menilai bahwa proses penyempurnaan masih perlu memakan waktu yang cukup lama agar mampu beroperasi efektif.
"Dua kesuksesan berturut-turut, signifikan memang. Namun itu hanya dua keberhasilan dari total lima kali uji coba, atau hanya 40 persen tingkat keberhasilan, sejak 2010. Keberhasilan 40 persen bukan nilai yang baik dalam sebuah uji coba atau evaluasi," kata Philip E Coyle, mantan direktur Direktorat Uji Coba dan Evaluasi Operasional Kementerian Pertahanan AS periode lalu, yang kini menjadi peneliti di Center for Arms Control and Non-Proliferation.
Korea Utara Terus Lakukan Uji Coba Misil
Pada 29 Mei 2017, Korea Utara dilaporkan kembali melakukan uji coba misil. Dalam peluncuran rudal terbaru itu, Kim Jong-un menembakkan Scud yang terbang sekitar 450 km sebelum mendarat di perairan Jepang.
Menurut sebuah pernyataan dari Kepala Staf Gabungan Korea Selatan, rudal itu diluncurkan pukul 05.39 waktu setempat dari daerah dekat Wonsan, Provinsi Kangwon, menuju bagian timur Semenanjung Korea.
"Rudal itu terbang sekitar 450 kilometer," ujar pernyataan tersebut. "Korea Selatan dan Amerika Serikat saat ini menganalisis secara saksama untuk informasi tambahan. Militer kita memantau secara ketat militer Korea Utara dan menjaga kesiapan."
Menurut sebuah pernyataan yang dikeluarkan Komando Pasifik AS, North American Aerospace Defense Command, rudal tersebut tidak menimbulkan ancaman bagi kawasan Amerika Utara.
Sementara itu, dalam sebuah wawancara, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan sebuah protes keras diajukan ke Korea Utara.
"Untuk mencegah (tindakan) Korea Utara, kita akan melakukan tindakan nyata bersama dengan Amerika Serikat," kata Abe.
"Kami akan menjaga kewaspadaan tinggi dalam koordinasi dengan Korea Selatan dan masyarakat internasional, serta mengambil semua langkah yang mungkin untuk menjamin keamanan masyarakat Jepang."
"Kami akan menjaga kewaspadaan tinggi dalam koordinasi dengan Korea Selatan dan masyarakat internasional, serta mengambil semua langkah yang mungkin untuk menjamin keamanan masyarakat Jepang."
Advertisement