Liputan6.com, Jakarta - Kelahiran suatu negara merupakan saat yang menarik. Melihat keadaan sekarang tentang penguasaan lahan yang bisa dimanfaatkan, maka kelahiran negara-negara baru hanya bisa terjadi karena beberapa alasan.
Termasuk jika adanya penggabungan atau runtuhnya negara-negara lama.
Dengan demikian, setiap peristiwa penggabungan dan keruntuhan negara membawa muatan emosional. Misalnya kelahiran Sudan Selatan pada 2011, pembentukan Kosovo pada 2008, ataupun penyatuan Jerman pada 1990.
Advertisement
Baca Juga
Walaupun semakin jarang, penggabungan ataupun pecahnya negara memang masih mungkin terjadi. Dalam satu dekade ke depan, cukup banyak kawasan yang mungkin mendapat kesempatan bergabung menjadi negara-negra baru.
Dikutip dari toptenz.net pada Sabtu (19/8/2017), berikut ini adalah dugaan lahirnya beberapa negara baru di masa depan:
1. London Merdeka
Dalam beberapa tahun belakangan, Skotlandia berupaya melepaskan diri dari Inggris Raya. Tapi, beberapa pengamat menduga, London pun berkemungkinan lepas dari Inggris.
Kota paling dinamis sedunia itu memiliki populasi sebanyak 8 juta jiwa, lebih banyak daripada populasi Norwegia atau Denmark. Ukuran kota itu sedikit lebih besar daripada negara-kota Singapura.
Secara budaya dan ekonomi, kota itu seakan terpisah dari wilayah lain di luarnya. London menyumbang 40 persen GDP kepada negara, dan hampir 40 persen penduduknya adalah imigran.
Hambatan yang ada bukan pada kemampuan London menjadi negara mungil, tapi pada kesediaan Inggris membiarkan London lepas.
Beberapa politisi dari partai-partai utama Inggris memang sudah menggadang-gadang London merdeka dengan alasan yang kuat.
Negara-kota London mendapat manfaat karena tidak usah lagi mengirim dana kepada seluruh Inggris. Sebaliknya, wilayah Inggris di luar London tidak lagi berada di bawah bayang-bayang dominasi politik London.
Jika memang merdeka, London akan menjadi pusat keuangan yang didgaya di bawah dominasi politik sayap kiri.
Advertisement
2. Kurdistan
Dunia setelah usainya Perang Dunia I menghasilkan para pemenang dan pecundang. Salah satu yang paling dipecundangi adalah bangsa Kurdi.
Setelah PD I, wilayah etnis itu terpecah-pecah menjadi bagian dari Irak, Suriah, dan Turki.
Bangsa Kurdi terus memperjuangkan negara merdeka sehingga memicu perang saudara di Turki dan upaya-upaya genosida terhadap bangsa Kurdi di Irak.
Perjuangan itu seakan tidak berujung hingga meletusnya perang sipil di Suriah dan bangkitnya ISIS.
Bangsa Kurdi menjadi sekutu terdekat Amerika Serikat di kawasan itu dan mereka sekarang secara terbuka bicara soal negara bagi Kurdi.
Pasukan Kurdi telah menguasai wilayah yang direbut ISIS dari Irak, namun menolak mengembalikannya kepada Irak. Sebagian besar wilayah Suriah juga berada di bawah kendali Kurdi.
Pemimpin Kurdi Irak telah menyerukan kepada para pemimpin dunia untuk menerima kenyataan bahwa bangsanya sedang memdirikan negara.
Dalam situasi kekosongan kekuasaan di Suriah bagian timur laut dan Irak bagian utara, bangsa Kurdi sebenarnya sudah merdeka secara de facto.
Tantangan terbesarnya adalah karena Kurdi Irak bersekutu dengan Turki. Padahal, Kurdi Suriah telah menyatakan Turki sebagai musuh.
Jika kekacauan mereda di Timur Tengah setelah kekalahan ISIS, Assad yang kelelahan, dan Irak yang tercabik-cabik, maka pembentukan negara Kurdi seakan tidak terelakkan.
3. Eropa Serikat (United State of Europe, USE)
Perjanjian yang menjadi landasan pendirian Uni Eropa (UE) modern menyerukan 'kesatuan yang semakin dekat.'
Dalam pandangan banyak pihak, hal ini dimengerti sebagai pendirian 'Eropa Serikat' dengan pemerintahan, militer, dan mata uang bersama.
Krisis finansial, resesi di Yunani, dan krisis pengungsi sempat meredam rencana tersebut, tapi upaya-upaya masih terus berjalan. Banyak pihak menanggap pendiriannya akan memecahkan masalah-masalah UE sekarang ini.
Seruan pembentukan 'United States of Europe' pertama kalinya dilontarkan oleh Winston Chuchill pada 1946.
Menurut Churchill, tidak ada cara lain untuk menghentikan runtuhnya Eropa seandainya terjadi perang habis-habisan lagi. Sejak saat itu, banyak pihak yang menyerukan hal serupa.
Baru-baru ini, wakil presiden Komisi Eropa (European Commission, EC) menyerukan berhimpunannya 18 negara pengguna Euro. Sementara itu, 10 negara lain dalam UE (temasuk Inggris) menjadi sekutu dekat.
Dalam suasana bangkitnya nasionalisme di seluruh Eropa, gagasan negara besar EU menghangat lagi.
Tapi para pakar telah memperingatkan bahwa UE tidak bisa terus berfungsi dalam bentuknya yang sekarang. Perlu integrasi yang lebih dekat atau kembali lagi ke masa ketika UE hanya sekadar blok perdagangan.
Melihat betapa rekatnya ekonomi negara-negara Eropa daratan sekarang ini, secara keuangan lebih masuk akal kalau UE meningkat menjadi negara sebelum 2030.
Advertisement
4. Korea Bersatu
Semenanjung Korea menawarkan kontras yang jelas sehingga mimpi menyatukan dua Korea seakan khayalan belaka.
Korea Selatan adalah hiper-kapitalis penggemar teknologi dengan standar kehidupan yang termasuk tertinggi di Asia.
Di sisi tetangga, terletak negeri melarat yang diperintah oleh seorang diktator paranoid yang gemar mencoba-coba mencari cara meledakkan bom nuklir.
Walaupun demikian, reunifikasi merupakan kebijakan resmi dua pemerintahan, baik di Utara maupun Selatan.
Tentu saja biaya penyatuan kembali memang mahal. Misalnya, pada 1990, Jerman Barat tersengal-sengal ketika menyerap Jerman Timur dan masih terus membayar biaya reunifikasi hingga sekarang.
Biaya reunifikasi dua Jerman berkisar US$ 2,5 triliun selama 25 tahun. Padahal, Jerman Timur saat itu bisa dibilang sebagai suatu negara yang masih berfungsi walau kenyataannya Jerman Timur ada dalam keadaan melarat.
Berbeda dengan Korea Utara yang seperti terkungkung dalam abad kegelapan. Jadi, Korea Selatan harus segera menggelontorkan US$ 1 triliun agar Korea Bersatu tidak langsung runtuh.
Walaupun demikian, manfaatnya ada di depan mata. Menurut perhitungan The Economist, mineral langka Korea Utara bisa memberikan imbal jangka panjang senilai US$ 12 triliun dalam jangka panjang.
Apalagi dengan manfaat yang ternilai dengan uang, yaitu ketika tidak ada lagi tetangga pemarah pemilik senjata nuklir.
Menilik keadaannya sekarang, jika Korea Utara runtuh akibat revolusi atau kudeta, maka kebijakan resminya adalah dua Korea akan bersatu.
Hanya saja, dengan negara yang amat tidak stabil seperti Korea Utara, hal itu bisa terjadi entah menjelang 2050 atau esok pagi.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
5. Libya Timur dan Libya Barat
Libya berada dalam keadaan kacau balau. Sejak Khadaffi digulingkan, negeri limbung memilih di antara beberapa visi untuk masa depannya.
Kaum milisi menguasai kawasan yang luas dan ISIS mencaplok wilayah di tengah negeri itu.
Di mana-mana muncul pemerintah-pemerintah yang dinyatakan sendiri-sendiri. Masing-masing mengaku sebagai pemerintah yang sah.
Di tengah kekacauan itu, wilayah Timur dan Barat semakin menjauh sehingga sangat mungkin terjadi perpisahan menjadi dua negara terpisah.
Di Tripoli, pemerintah dukungan PBB berhasil menguasai kendali sebagian besar wilayah Barat.
Sementara itu, di Tobruk, pemerintah yang setia kepada pembangkang Jenderal Khalifa Haftar menguasai sebaian besar wilayah Timur.
Dua pihak sama-sama mengaku mewakili Libya. Keduanya memiliki infrastruktur dan Bank Sentral masing-masing. Dua-duanya baru saja menerbitkan mata uang sendiri ke seluruh negeri.
Saat ini, pupuslah semua harapan agar negara itu tetap bersama. Jika pemerintah yang didukung PBB tidak mendapatkan batuan serius pendanaan dari negara-negara Barat untuk mencegah keruntuhan konomi, maka Libya akan mudah tergelincir ke dalam perpecahan.
Jika demikian, hal tersebut mengarah kepada pembentukan dua negara baru yang sama-sama harus berjuang melawan terorisme dan ketidakstabilan keuangan.
Dalam kasus demikian, lahirnya sebuah negara baru bukanlah yang selalu disambut gembira dan malam menjadi mimpi buruk secara geopolitik.
Advertisement