Liputan6.com, Naypyidaw - Selama bertahun-tahun, ia digadang-gadang sebagai epitome atau contoh ideal figur revolusi damai. Ia teguh mengabdi demi mengusung demokrasi di Myanmar melalui cara-cara tanpa kekerasan.
Ia adalah Aung San Suu Kyi, penerima Nobel Perdamaian.
Perempuan itu dipuji dunia, menolak untuk menyulut aksi kekerasan, ketika selama 15 tahun sejak 20 Juli 1988, dijadikan tahanan rumah oleh junta militer. Rezim yang berkuasa saat itu menolak kemenangan Suu Kyi pada pemilihan umum Myanmar yang sebelumnya dilaksanakan secara demokratis.
Advertisement
Baca Juga
Akan tetapi, kini demonstran di seluruh dunia justru membakar poster dan foto Suu Kyi sebagai bentuk protes.
Mereka mengecam sang ikon perdamaian yang dianggap gagal mencegah militer Myanmar dan kelompok ekstremis agama mayoritas (Buddha) melakukan persekusi, tindak kekerasan, hingga pembunuhan terhadap kelompok minoritas di Negara Bagian Rakhine--yang didominasi oleh etnis Muslim Rohingya.
Menurut PBB pada 2013, Rohingya digambarkan sebagai salah satu kelompok etnis yang paling teraniaya di dunia. Status kewarganegaraan mereka ditolak oleh pemerintah Burma (Myanmar) sejak 1982, menjadikan mereka kelompok individu tanpa negara (stateless ethnic group).
"Banyak pembunuhan massal dan itu semua terjadi saat ini. Pemerintahan Suu Kyi tidak berbuat apa-apa untuk mencegah hal itu. Bahkan pada beberapa kesempatan, mereka tampak menyiram bensin pada bara api," ujar Matthew Smith, pendiri kelompok pegiat HAM pemerhati isu Rohingya, Fortify Rights.
Menurut komunitas internasional, meski militer yang melakukan aksi persekusi terhadap Rohingya, bungkam dan diamnya Suu Kyi--pemimpin de facto Myanmar--semakin memperkeruh keadaan.
Â
Suu Kyi, Wajah bagi Moralitas Myanmar
Sang State Counsellor dianggap oleh komunitas internasional sebagai wajah bagi moralitas Myanmar. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan Suu Kyi menyandang status tersebut.
Pertama, Suu Kyi memiliki ayah, Jenderal Aung San yang digadang-gadang sebagai pendiri negara Burma, setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 1948. Dan kedua, pada 1991, putri sang pendiri negeri memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian atas kancah politik revolusi damainya medio 1980-an.
Perempuan itu juga mendedikasikan sepak terjang politiknya untuk memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi di Myamar.
Rekam jejak Suu Kyi yang mentereng itulah yang justru membuat komunitas internasional dan para pendukungnya mengerutkan alis atas diam dan bungkamnya putri sang pendiri negeri terhadap isu Rohingya.
Namun, menurut penelusuran CNN, sikap diam dan bungkam Suu Kyi atas kelompok etnis Rohingya telah ditunjukkan sejak lama melalui sejumlah wawancara dengan media.
Dalam sebuah wawancara televisi dengan BBC News pada 2013, Suu Kyi tak mengakui dan justru memperdebatkan karakterisasi kekerasan yang diterima oleh etnis Rohingya. Saat itu, pewawancara, Mishal Husain, turut menyampaikan kritik kepada sang State Counsellor yang dianggap tidak membela kelompok minoritas di Rakhine.
Kala itu, etnis Rohingya mendapat persekusi oleh kelompok nasionalis-ekstremis Buddha. Kelompok ekstremis itu turut menyebarkan sentimen anti-Muslim di seluruh Burma.
"Inilah yang dunia perlu pahami," kata Suu Kyi saat diwawancarai oleh BBC. "Bahwa ketakutan itu (sentimen agama dan persekusi) tidak hanya dirasakan oleh umat Islam, tapi juga pemeluk Buddha," lanjutnya.
Ketika wartawan Mishal Husain berargumen bahwa kekerasan mengerikan tersebut menyebabkan puluhan ribu orang melarikan diri, Suu Kyi sama sekali tidak menyebut kata Muslim untuk membahas eksodus warga sipil.
"Saya pikir ada banyak umat Buddha yang juga meninggalkan negara ini karena berbagai alasan dan ada banyak umat Buddha yang berada di kamp-kamp pengungsian. Ini adalah hasil dari penderitaan kami. Saya pikir jika Anda hidup di bawah kediktatoran selama bertahun-tahun, orang-orang tidak jadi tidak saling percaya dengan satu sama lain," ujar putri Jenderal Aung San itu.
Menurut sebuah buku yang diterbitkan kemudian, Suu Kyi mengomentari proses wawancara tersebut dengan berkata, "Tidak ada yang mengatakan kepada saya bahwa saya akan diwawancarai oleh seorang Muslim (Mishal Husain)."
Advertisement
Pendukung Suu Kyi: Ia Hanya Seorang Politisi
Mereka yang hingga kini masih mendukung Suu Kyi berargumen, meski sang State Counsellor memegang jabatan krusial di pemerintahan, sang pemenang Nobel Perdamaian itu tak memiliki kapasitas untuk mengintervensi operasi militer Myanmar, termasuk di antaranya, konflik bersenjata di Rakhine.
Pada 2011, ketika ia dikecam karena enggan untuk mengkritik militer dalam menyikapi Rohingya di Rakhine, pendukung Suu Kyi di negara Barat mengemukakan argumen. Menurut mereka, Suu Kyi memiliki kapasitas terbatas untuk mengkonfrontasi, mengingat posisi politik sang pemenang Nobel pada saat itu merupakan oposisi dari junta militer.
Sehingga, sikap konfrontasi akan menggagalkan upaya politiknya untuk mendulang kekuatan guna mendemokratisasi Myanmar, sesuatu yang hendak dicapai oleh Suu Kyi dan partainya pada saat itu. Menyikapi militer dengan cara apa pun akan menjadi kemunduran bagi misi politik sang State Counsellor.
Akan tetapi, menurut Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson, "Ia (Suu Kyi) dan semua (pejabat) di Burma mendukung semua itu (krisis Rohingya)."
Johnson beralasan, kancah perpolitikan Suu Kyi di Myanmar tidak terpisah dari pengaruh militer yang turut terlibat dalam sejumlah kebijakan pemerintahan, termasuk salah satunya, isu stabilitas, keamanan, dan perdamaian.
"Adalah sebuah hal yang krusial, militer membantunya dalam memerintah. Sehingga seharusnya, upaya Suu Kyi untuk mengupayakan perdamaian tidaklah sulit," jelas Menlu Johnson.
Sementara itu, pada 1 September lalu, dewan editorial surat kabar politik ternama asal AS, The Washington Post, beretorika. Dalam tulisannya, The WP menulis, "Apakah terlalu sulit baginya untuk menjadi inspirasi bagi Burma untuk menghentikan konflik dan kekerasan terkait Rohingya yang kini semakin pahit?"
"Ia mungkin ingin kembali merenungkan teks pidato Nobelnya," tambah editorial The WP, merujuk teks yang dinarasikan Suu Kyi saat meraih penghargaan prestise itu.
"(Suu Kyi memiliki misi) untuk menciptakan dunia yang bebas dari orang-orang telantar, tunawisma, dan yang tidak berdaya. Sebuah dunia di mana setiap sudut adalah tempat perlindungan, di mana para penghuninya akan memiliki kebebasan dan kemampuan untuk hidup dalam damai."
Jika direfleksikan pada situasi Rohingya di Rakhine saat ini, pidato sang pemenang Nobel yang menggugah itu tampak berubah menjadi kata-kata hampa tak bermakna.
Belum Merilis Pernyataan Resmi
Suu Kyi masih belum memberikan pernyataan resmi di hadapan publik sejak 25 Agustus lalu. Meski begitu, sejumlah laporan terbaru menyebut bahwa sang State Counsellor telah berkomunikasi dengan sejumlah pemimpin negara dunia terkait isu Rohingya.
Kepada Presiden Turki Recep Erdogan, perempuan 72 tahun itu mengatakan bahwa pemerintahannya bekerja untuk melindungi seluruh hak warga warga Myanmar. Hal tersebut disampaikan Suu Kyi dalam pembicaraannya melalui sambungan telepon dengan Erdogan.
"Kami tahu betul, lebih tahu dari kebanyakan orang, apa artinya pencabutan HAM dan perlindungan demokrasi," ujar Suu Kyi melalui transkrip telepon yang beredar, seperti dikutip dari CNN pada Rabu 6 September 2017.
"Jadi kami memastikan bahwa semua orang di negara kami berhak mendapat perlindungan atas hak-hak mereka, bukan hanya politik, tapi juga sosial dan kemanusiaan," imbuhnya.
Dalam pembicaraannya dengan Presiden Erdogan, Suu Kyi juga menyampaikan bahwa banyak informasi keliru yang tersebar dan menguntungkan pihak teroris--merujuk pada kelompok militan Rohingya.
Putri dari mendiang Jenderal Aung San itu menegaskan bahwa pemerintahannya bekerja keras untuk memastikan bahwa "terorisme" tidak menyebar ke seluruh Rakhine.
Begitulah cara Suu Kyi, berdasarkan transkrip itu, mengkategorisasi situasi di Rakhine. Yakni sebuah peristiwa terorisme--yang oleh pemerintah Myanmar ditengarai oleh kelompok bersenjata Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), yang juga disebut sebagai teroris oleh Naypydaw.
Pekan ini, Suu Kyi juga menerima kunjungan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi. Kunjungan perwakilan Tanah Air itu turut diduga membahas sejumlah isu penting terkait situasi dan kondisi di Rakhine.
Meski begitu, sikap bungkamnya yang tidak membahas isu Rohingya dan Rakhine secara resmi di hadapan publik menunjukkan perbedaan sikapnya yang sangat santer jika dibandingkan dengan pidato publik menggugahnya pada 1988.
Pada saat itu ia berkata ingin mengharmonisasikan bangsa, terutama "persatuan bangsa Burma yang beragam".
Sementara itu, pada sebuah wawancara khusus dengan BBCÂ awal 2017, Fergal Keane--reporter--bertanya, "Apakah menurut Anda orang-orang di Barat telah salah menilai karakter Anda, mengganggap Anda sebagai kombinasi Margaret Thatcher, Bunda Theresa, dan Mahatma Gandhi?"
Suu Kyi berkata, "Tidak." Ia kemudian melanjutkan, "Saya hanyalah seorang politikus. Saya tidak seperti Margaret Thatcher, tidak, tapi di sisi lain, saya juga bukan Ibu Theresa. Saya tidak pernah mengatakan seperti itu. Tetapi Mahatma Gandhi, adalah seorang politikus yang sangat cerdik."
Â
Simak pula video berikut ini
Advertisement